Rabu, April 24, 2024

Pemilu 2019: Bukti Kegagalan Kaderisasi Partai Politik

Deki.R. Abdillah
Deki.R. Abdillah
Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama

Tulisan ini berawal dari kegelisahan penulis menyikapi fenomena “absurd” perpolitikan  dan pemerintahan yang sedang kita alami sekarang, menjelang pemilhan umum tahun 2019 yang akan datang kita disuguhi oleh pertunjukan kegagalan kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik.

Setidaknya ada 3 alasan mengapa penulis mengambil tema pemilu 2019 sebagai bukti kegagalan kaderisasi oleh partai politik. Pertama, poros politik yang ada sekarang hampir sama dengan apa yang terjadi pada pilpres 2014, lalu yang kedua banyaknya partai politik yang mencalonkan publik figure (artis)  sebagai calon legislatif serta yang ketiga penolakan partai politik terhadap kebijakan PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi calon legislator.

Poros Jokowi VS Prabowo (lagi)

Pemilihan umum 2019 hampir pasti akan menjadi partai ulangan pertarungan antara Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto yang terjadi pada pemilu 2014 yang lalu, saat ini koalisi pro pemerintah telah beranggotakan 9 partai yaitu PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PKB, PPP serta 3 partai non parlemen Perindo, PSI dan PKPI.

Sementara  pihak oposisi telah diisi oleh Gerindra, PKS, Demokrat serta PAN yang belum memutuskan arah koalisi namun lebih condong untuk bergabung bersama pihak oposisi. Poros politik yang terjadi sekarang menggambarkan ketidakberhasilan memunculkan tokoh yang mampu bersaing dengan Presiden Jokowi dan Prabowo, sempat ada wacana untuk memunculkan poros ketiga antara Demokrat, PAN dan PKB namun ternyata poros ketiga hanya menjadi wacana forever diantara ketiganya.

Partai politik tradisional seperti Golkar dan PKB cenderung “bermain” aman untuk mendukung Presiden Jokowi, paling banter mereka hanya berharap posisi cawapres untuk ketua umum mereka Airlangga Hartato dan Muhaimin Iskandar.

Sebenarnya, terjadinya 2 poros politik besar ini sudah dapat diperkirakan semenjak disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang didalamnya memuat peraturan Presidensial Threshold 20 persen suara parpol di DPR sebagai syarat pencalonan calon Presiden dan wakil Presiden.

Syarat Presidensial Threshold 20 persen ini tentunya menyulitkan partai politik untuk memunculkan calon Presiden alternatif selain Jokowi dan Prabowo, tetapi bukankah yang mengesahkan peraturan tersebut adalah anggota DPR yang terhormat? Sekali lagi ini merupakan bukti kegagalan kaderisasi yang baik oleh partai politik.

Poros yang berhadapan langsung membuat friksi dan polarisasi hari ini terjadi begitu jelas di tengah masyarakat, masyarakat seakan terbelah menjadi dua pihak yang bertentangan. Pertentangan yang terjadi hari ini tidak jarang berbentuk hal-hal negatif seperti intimidasi, sentimen SARA, saling menghina satu sama lain bahkan tindakan kekerasan.

Fenomena Artis Menjadi Caleg

Pendaftaran bakal calon anggota legislatif untuk pemilu legislatif tahun depan telah ditutup pada selasa, 17 Juli yang lalu sebanyak 16 parpol peserta pemilu legislatif 2019 telah menyetor nama-nama bakal calon anggota legislatif kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang akan berebut kursi panas DPR tahun depan.

Di antara nama-nama yang diajukan oleh parpol sebagai bacaleg, muncul nama-nama artis pesohor yang sering menghiasi layar TV di rumah kita, dari 54 orang bacaleg dari kalangan artis  partai Nasdem yang paling banyak menjadi “kendaraan” bagi bacaleg tersebut dengan mengusung 27 kader dari kalangan artis.

Proses menjadi caleg para artis ini juga sempat memunculkan spekulasi tentang beredarnya politik uang dibalik pengusungan mereka menjadi caleg, hal ini disebabkan karena banyaknya artis yang berpindah haluan parpol untuk menjadi calon legislator disertai mahar didalamnya.

Spekulasi dari penulis fenomena seperti ini terjadi karena pragmatisme dari parpol untuk mendulang suara pada pemilu yang akan datang, popularitas yang dimiliki oleh para artis ini tentu menjadi sebuah modal elektoral besar untuk mendulang suara ditengah masih rendahnya kesadaran preferensi masyarakat dalam memilih wakil mereka.

Idealnya, yang menjadi calon legislator adalah mereka yang mempunyai latar belakang serta mengerti tentang proses politik dan legislasi, untuk mencetak mereka yang seperti itu tentunya menjadi tugas dan kewajiban partai politik namun, mengapa melakukan proses yang sulit jika bisa mendulang suara lewat cara yang instan?

Hal ini seperti menjadi semacam sindrom ketidak percayaan diri partai politik atas kualitas kadernya sendiri  sehingga tidak heran jika kemudian kaderisasi yang berkualitas sepertinya semakin mejadi mitos bagi partai politik.

Caleg dari Mantan Koruptor

Melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan Kota, KPU melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftarkan diri menjadi anggota legislatif baik tingkat Kota/Kabupaten, Provinsi atau Pusat dalam tahapan pemilu 2019.

PKPU ini dengan cepat menjadi kontroversi khusunya di tengah kalangan parpol, banyak parpol yang kemudian menyuarakan ketidaksepakatannya terhadap PKPU ini dengan berbagai alasan dan pembelaan mereka masing-masing.

Jika kita melhat idealnya peran dan fungsi partai politik, maka PKPU ini tentunya bukan menjadi masalah besar bagi mereka karena jika proses rekrutmen dan kaderisasi politik parpol berjalan dengan baik mereka akan mempunyai banyak tokoh dan kader bersih serta berkualitas yang dapat ditawarkan kepada masyarakat, sekali lagi JIKA proses kaderisasi politik parpol berjalan dengan baik.

Kenyataannya adalah hampir semua parpol masih mendafarkan mantan koruptor sebagai calong legislatif ditingkat pusat maupun di daerah, bahkan jumlahnya tidak main-main, partai Gerindra tercapat menjadi parpol yang paling banyak mengajukan bacaleg mantan koruptor dengan 27 caleg diikuti oleh Golkar dengan 25 caleg. Sepertinya PKPU ini hanya dilihat seperti angin lalu oleh partai politik, lebih jauh dari itu fenomena ini menggambarkan bagaimana tidak berjalannya proses kaderisasi parpol.

Semua uraian diatas penulis anggap dapat menjadi gambaran bagaimana kinerja partai politik kita yang ada sekarang, hadirnya partai-partai baru pada pemilu tahun depan menjadi sedikit opsi akan hadirnya tokoh yang memang melalui kaderisasi dan seleksi yang baik oleh parpol.

Parta politik harus segera memperbaiki proses rekrutmen dan kaderisasi politik mereka karena legislatif merupakan lembaga yang mempunyai peran sangat vital dalam sistem demokrasi dan sudah seharusnya lembaga ini dijalankan oleh wakil rakyat yang tidak hanya memiliki kemampuan intelektual dan integritas yang tinggi tetapi juga memiliki rekam jejak yang jelas dan teruji.

Masyarakat harus memiliki preferensi memilih pemimpin yang baik, karena jujur saja “menyerahkan” lembaga negara sepenting DPR kepada individu-individu yang tidak faham persoalan bangsa dan kemampuan politik yang baik sama saja dengan mempertaruhkan keberlangsungan negara ini kedepannya.

Deki.R. Abdillah
Deki.R. Abdillah
Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan Universitas Jambi, Intelektual Muda Nahdlatul Ulama
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.