Generasi milenial bakal dipastikan menjadi sumber daya krusial dalam Pemilihan Presiden pada tanggal 17 April 2019 ini. Generasi yang lahir antara tahun 1981-2000 memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda dari generasi lainnya, seperti generasi baby boomer atau Generasi X.
Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI, Sarah Nuraini Siregar menyatakan, berdasarkan hasil survei lembaganya, ada sekitar 35 persen sampai 40 persen pemilih dalam Pemilu 2019 didominasi generasi milenial. Mewakili generasi yang cerdas teknologi, kaum milenial sangat dipengaruhi oleh kebangkitan telepon pintar (smartphone), penyebaran internet, dan kebangkitan media sosial.
Jumlah pemilih milenial tidak bisa dipandang sebelah mata, hampir menyentuh angka 80 juta dari 192 juta pemilih. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan saat Pemilihan Presiden 2014 yang hanya mencapai 40 juta orang. Pemilih dari kelompok usia generasi milenial menjadi target potensial karena jumlah populasi mereka yang signifikan dan merebaknya penggunaan media sosial mereka.
Potensi ini harus berjalan beriringan dengan karakter mereka yang cenderung abai terhadap politik. Calon presiden harus mempunyai kemampuan untuk dapat mengumpulkan kelompok ini, karena merupakan sumber pemilih segar yang relatif bebas dari kecenderungan cuci otak. Jika diabaikan, maka sama saja dengan kehilangan peluang suara dari kalangan pendukung yang masih lurus dan awam.
Sebagai cara menggaet kaum milenial, para Calon Presiden dan timnya perlu menyadari bahwa mereka punya karakteristik yang berbeda serta membutuhkan apa yang disebut “politik instagram”. Istilah ini disuarakan oleh banyaknya netizen yang memberikan #politikinstagram. Sebagai media sosial yang sedang ramai dipergunakan dan jauh lebih berkembang, modern, dan berkelas. Instagram saat ini menjadi alat yang paling disukai untuk menarik perhatian masyarakat milenial dan pemilih baru.
Kekuatan Media Sosial
Beberapa tahun belakangan ini, semakin banyak politisi yang menyadari pentingnya peran media sosial sebagai cara untuk memperoleh suara pada pemilu nanti. Instagram sendiri mempunyai karakteristik visual yang kuat, politik instagram menekankan pentingnya visualisasi kandidat.
Kandidat presiden dan wakil presiden perlu unggul dalam hal mempromosikan diri mereka sendiri sevisual mungkin. Hal itu dikarenakan mendekati generasi milenial melalui pidato konvensional atau perjalanan panjang pengenalan diri dalam bentuk tulisan di situs web adalah masa lalu.
Gaya hidup generasi milenial ini hanya ingin yang instant serta didukung oleh jaringan internet yang cepat. Kebanyakan generasi milenial menghabiskan banyak waktu untuk mencari informasi secara cepat dengan waktu yang terbatas. Yang sangat disukai oleh generasi milenial adalah hal-hal yang berbau fotografi. Politik instagram memberikan aksentuasi pada gambar foto serta video.
Tidak dapat dipungkiri bahwa informasi lewat Instagram lebih personal karena menggambarkan kandidat secara lebih langsung. Seperti kata pepatah satu foto atau gambar dapat mempunyai 1000 makna. Dalam pemikiran generasi milenial ini, gambar, foto, dan video memberikan dampak yang lebih emosional dan otentik kepada orang-orang.
Meskipun gambar atau video juga dapat diedit, pemilih dapat dengan mudah dan cepat untuk menilai dan bereaksi terhadapnya. Ini berbeda sekali dengan membaca pesan-pesan kampanye atau mendengarkan pidato yang membutuhkan keterampilan analitis dan pemikiran kritis.
Pembaharuan foto dan video terutama oleh para calon presiden bakal memberi kesan kepada kaum milenial bahwa mereka melakukan layanan dan dedikasi yang berkelanjutan. Namun sebaliknya, ketidakmampuan para politisi untuk memperbarui aktivitas mereka kepada pemilih milenial tersebut hanya akan menegaskan kekecewaan jangka panjang kepada publik bahwa pendekatan secara langsung mereka terhadap pemilih lebih merupakan manuver seremonial daripada pengabdian yang terus-menerus terhadap masyarakat pemilih.
Memposting citra dengan gambar atau video di media sosial memang sedikit terkesan berlebihan. Namun, itu menunjukkan betapa serius dan berpengetahuannya para capres/cawapres tentang tuntutan politik unik kaum milenial.
Sebagai generasi yang praktis, kaum milenial tidak hanya suka berkomunikasi secara ringkas seperti kecenderungan atau kebiasaan untuk membuat pilihan kata-kata lebih singkat dalam mengirimkan pesan WA atau SMS tetapi juga cenderung menerapkan pola jalan pintas dalam melakukan banyak hal. Sudah bukan waktunya lagi bagi kaum milenial untuk membaca halaman opini atau profil di sebuah surat kabar atau majalah sekadar untuk mencari tahu atau melakukan penelitian tentang profil calon presiden dan wakil presiden.
Tahun 2019 merupakan momentum politik yang membutuhkan peran generasi milenial yang cakap media, tanggap, kreatif, dan advokatif. Di samping itu, pendidikan politik kepada generasi milenial adalah penting. Sebab, bukan tidak mungkin dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, generasi milenial tidak memberikan suaranya karena merasa program partai tidak menyentuh atau terlalu banyak janji yang sulit terpenuhi. Bisa jadi mereka tidak berpartisipasi dalam perhelatan politik ketika mereka tidak mendapatkan pencerahan politik.
Literasi politik dapat diberikan baik melalui media sosial maupun internet yang bersinggungan langsung dengan kaum milenial. Mereka adalah pengawal perubahan. Mencerdaskan mereka dalam berpolitik merupakan investasi yang berharga untuk perubahan di masa depan.