Seringkali kita mendengar kata kekerasan dan kekuasaan, yang menjadi asumsi perbuatan buruk dalam hidup manusia. Namun, bukankah kekerasan dan kekuasaan diperlukan untuk mencapai kesetaraan dan kebebasan dari manusia agar tetap hidup? Tocqueville dengan lantang menjelaskan bahwa, manusia tidak pernah lahir dengan kondisi setara dengan manusia lainnya. Menurutnya, konsep kebebasan dan kesetaraan dapat dirusak dengan tindakan suatu pemerintahan. Konteks Kesetaraan sendiri merupakan sebuah solusi alternatif dari bentuk pertahanan diri masyarakat yang tidak dapat mewujudkan emansipatoris.
Tiap-tiap individu di dalam suatu negara mempunyai modal untuk hidup yang terpolarisasi dalam bentuk kekerasan, kekuasaan, kesetaraan, dan kebebasan. Kompleksitas poin tersebut dapat dijelaskan dalam kerangka konseptual Pierre Bordieu. Ada 3 konsep yang dijelaskan Bordieu dalam siklus kehidupan dari manusia. Habitus, Modal, dan Arena.
Habitus merupakan sebuah fenomena kolektif yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia. Terjadinya Habitus ini dibentuk oleh subjek secara tidak sadar. Subjek dapat membentuk penguasaan dalam kehidupannya dengan habitus yang dilakukannya. Alhasil, dari habitus ini seorang subjek mendapat keuntungan dalam bentuk kelas sosial.
Keuntungan ini disebut Modal. Modal tersebut digunakan sebagai alat metafisis seorang subjek, agar dapat mendominasi kelas lainnya. Modal dapat berupa selera, pengetahuan, pengalaman, dan aspek-aspek lainnya. Konstelasi antara Modal dan Habitus dari seorang subjek terealisasi di dalam Arena (Field). Di dalam Arena tersebut terjadilah pertarungan subjek dengan subjek lainnya, dalam kondisi sadar/tidak sadar. Ada beberapa Arena yang dapat kita telaah lebih realistis, seperti arena kesenian, arena politik, dan kebudayaan. Antara subjek dan subjek lainnya saling mendominasi tanpa disadari, melalui kekerasan simbolis.
Negara merupakan wadah nyata dari pertautan kompleksitas konsep-konsep yang dicetuskan Bordieu tadi. Suatu Pemerintahan mempunyai Modal lebih untuk dapat mengatur rakyatnya dengan berbagai kekerasan. Kekerasan tidak serta merta melalui fisik dan verbal. Kekerasan kultural dan Kekerasan struktural merupakan 2 bentuk lain yang dijelaskan oleh Johan Galtung. Para pemerintah dapat menggunakan suatu hukum (modal) untuk merepresi tindakan rakyat-nya. Suatu struktur pemerintahan dapat mengeluarkan regulasi untuk mempertahankan tempo keuntungan dalam bentuk kebudayaan.
Beberapa stasiun pertelevisian Indonesia merupakan bentuk nyata dari kekerasan struktural dan kultural yang telah bertransformasi. Mayoritas kepemilikan stasiun oleh aktor politik, dapat digunakan untuk menyalurkan konten politis kepada para penonton. Pembentukan opini dan unsur ideologis dapat mempengaruhi para penonton. Represi ini berhasil, apabila argumen dalam proses komunikasi langsung para kelas yang di dominasi ini (penonton) sesuai dengan yang diharapkan oleh pemilik stasiun pertelevisian tersebut.
Kekerasan sesungguhnya dapat “dibenarkan” melalui produk-produk kebudayaan yang berfungsi terutama untuk mentransformasi nilai-nilai moral dan ideologis agar masyarakat dapat melihat praktik kekerasan tersebut sebagai kejadian yang normal atau alamiah.[1] Alhasil, konteks kekerasan tersebut menjadi klise dari masyarakat dalam melegitimasi.
Legitimasi dalam Arena tersebut, melahirkan sebuah produk-produk kebudayaan yang sifatnya simbolis. Hegemoni yang diproduksi semakin bertransformasi, sehingga masyarakat pun tidak lagi hidup dengan kondisi kesadaran kognitif dan afektifnya sendiri. Melainkan kesadaran yang diperoleh dari perilaku konsumtif, melalui instrumen-instrumen redistribusi politik sebuah pemerintahan. Publik dapat sadar apabila mereka mempunyai suatu bentuk counter hegemony. Dalam konteks konsumsi publik terhadap media massa, publik dapat mencari media alternatif lain yang mengedukasi.
[1] Wijaya Herlambang, Kekerasan Budaya Pasca 1965 (Tangerang : Marjin Kiri, 2013) 333. 37