Tanpa basis moral, maka sebuah aturan tak pantas meraih predikat hukum. Inilah keresahan yang disampaikan oleh Lon L. Fuller dalam karyanya The Morality of Law (1964). Hukum bergantung atas moralitas dan moralitas berkelindan dengan kerangka pikir di masanya. Tak banyak pertentangan saat ratusan orang dibakar pada masa teologis di Kota Salem atas tuduhan mereka sebagai penyihir, karena moralitas publik tunduk bahwa hukuman adalah bagian dari pemurnian dosa. Bila Tuhan memiliki neraka untuk menyiksa, maka pembakaran adalah solusi terbaik bagi mereka yang melawan Tuhan. Begitulah sekilas moralitas masa teologis yang mendasari keabsahan penyiksaan di masa lampau.
Sekian abad berselang, masa berubah. Akselerasi ilmu pengetahuan begitu dinamis hingga mencapai era positivisme yang digambarkan Immanuel Kant sebagai “masa pencapaian tertinggi” umat manusia. Setiap fenomena ditelisik secara ilmiah, setiap solusi lahir dari kajian saintifik. Tak hanya ilmu alam, ilmu sosial juga turut menjadi objek telaahan. Kejahatan bukan lagi dipandang sekadar perilaku dosa yang butuh akan siksa namun ketidakmampuan individu dalam adaptasi dengan lingkungan sosial.
Persepsi berubah, reaksi berpindah. Kongres PBB ke-7 tahun 1985 di Milan dengan tajuk Crime Prevention in the Context of Development menegaskan bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang mendasar (the basic crime prevention strategies). Pada Guiding Principle kongres terkait, juga dijelaskan agar kebijakan mengenai pencegahan kejaharan dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, karena seringkali kejahatan hanya merupakan gejala / symptom.
Resolusi di atas mengindikasikan tatanan politik kriminal tak hanya menetapkan atensi atas penerapan hukum pidana (criminal law application), namun sebagaimana pemikiran G. Peter Hoefnagels dalam The Other Side of Criminology (1969) juga mengaitkan pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment), dan memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan (influencing views of society on crime and punishment).
Intervensi kebijakan sosial dalam ranah penanggulangan kejahatan semacam ini secara eksplisit telah diterapkan oleh Republik Ceko. Negara tersebut menetapkan Menteri Dalam Negeri (The Minister of Interior) sebagai ketua Komisi Pemerintah untuk Pencegahan Kejahatan dengan anggota merupakan perwakilan dari 13 kementerian dan lembaga, termasuk Kementerian Hukum, Kejaksaan Agung, Kementerian Tenaga Kerja dan Industri, Kementerian Pembangunan Daerah, serta Kementerian Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga.
Esensi Keadilan Restoratif
Meleburnya dikotomi kebijakan penal dan kebijakan non-penal semakin intensif tatkala narasi Keadilan Restoratif digaungkan sebagai anti thesa dari keadilan rehabilitatif. Integrasi tersebut tak terlepas dari marwah Restorative Justice yang menurut John Braithwate terdiri dari dua karakteristik khas, yakni Partisipasi dan Pemulihan.
Bila dikontekstualisasikan dengan politik hukum penanggulangan kejahatan internasional, maka daya jangkau pemulihan bukan hanya perihal peristiwa pidana melainkan juga faktor-faktor kriminogenik pelaku kejahatan. Dari sinilah dibutuhkan partisipasi berbagai unsur demi mengatasi persoalan pemulihan yang cukup kompleks.
Kemampuan pemerintah Republik Ceko dalam menerjemahkan kerangka pikir, bermuara pada penetapan Menteri Dalam Negeri sebagai pionir penanggulangan kejahatan. Bukan berarti bangsa ini dituntut untuk mengadopsi konsep serupa, sebab Indonesian way juga wajib untuk selalu diperjuangkan ujar Muladi. Konstruksi negara kesatuan sejatinya menguatkan peran pemerintah daerah dalam penanggulangan kejahatan. Premisnya sederhana. Pemerintah daerah mengemban tanggung jawab atas percepatan terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial mendefinisikan kesejahteraan sosial merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Tuntutan atas tiga kluster kebutuhan tersebut diuraikan melalui urusan pemerintah daerah yang terdiri dari urusan pemerintahan wajib berkaitan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan pelayanan dasar. Optimalisasi penyelenggaraan kedua urusan tentu bermuara pada peningkatan kesejahteraan dan resiprokal dengan penurunan tingkat kriminalitas.
Peran Pemerintah Daerah (Sebuah Gagasan)
Mengoptimalkan peran pemerintah daerah memiliki sejumlah nilai kemanfaatan. Selain atensi dari berbagai lintas instansi kedinasan, pemanfaatan ruang-ruang publik sebagai sarana pelaksanaan pidana maupun tindakan dalam konteks keadilan restoratif juga semakin variatif.
Pelaku Anak yang memungkinkan untuk dijatuhi pidana pembinaan di luar lembaga maupun pelayanan masyarakat dapat diarahkan pada pengabdian di sejumlah sarana fasilitas umum seperti rumah ibadah maupun sejumlah panti sosial. Sehingga putusan pidana tidak hanya bergelut pada Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Begitu pula putusan tindakan. Pemerintah dapat menindaklanjuti dengan bertanggung jawab atas kewajiban pemenuhan pendidikan formal terhadap anak bersangkutan.
Selain sebagai sarana alternatif pemidanaan, gerakan kolektif yang dikomando oleh Pemerintah Daerah juga dapat mengukur potensi kejahatan di sejumlah wilayah khususnya kawasan perkotaan. Keberagaman populasi etnis, subkultur, pembagian kerja, dan faktor penghasilan memiliki tendensi menghasilkan kawasan kumuh (slum area) di lingkup perkotaan.
Blumer dalam risetnya Institutionalization, Diversity, and Rise of Sociological Research sejak 1984 telah mengultimatum bahwa kawasan kumuh sangat potensial menghasilkan kejahatan karena ada benturan antara ekspektasi dan upaya dalam memenuhi harapan. Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian Rio Tutrianto dalam jurnalnya bertajuk Munculnya Wilayah Kejahatan di Perkotaan (Studi pada Kota Pekanbaru) (2018). Bahkan dalam penelitian Tutrianto, kedekatan dengan pasar tradisional juga menjadi variabel yang mempengaruhi tingkat kriminalitas.
Keterlibatan pemerintah daerah dalam penanggulangan kejahatan, setidaknya mampu memberikan deteksi dini sebelum subkultur delinkuen semakin berkembang. Informasi dapat diperoleh melalui koordinasi secara berkala dengan Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagai pranata yang melaksanakan fungsi Penelitian Kemasyaarakatan (Litmas) dan didukung informasi dari institusi penegak hukum yang lain.
Langkah penanganan pun dapat ditindaklanjuti melalui peran camat yang dikonsolidasikan dengan Bhabinkamtibmas dan juga Babinsa. Akan tetapi, motor penggerak harus tetap berada di pundak pengurus rumah ibadah atas tanggung jawab perbaikan moral umat lingkungan sekitar. Bila semua menjalankan fungsi masing-masing secara harmoni, maka tak ada lagi narasi Kampung Texas maupun Kampung Narkoba yang membudaya secara akut.