Pada Kamis tanggal 30 Juni 2022 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan 3 Undang-Undang Daerah Otonomi Baru (DOB) Papua. Pengesahan tersebut sekaligus menetapkan 3 provinsi baru Papua yaitu Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan dan Provinsi Papua Selatan. Hal ini membuat Indonesia Sekarang memiliki punya 37 provinsi. Pembahasan dari pembentukan tiga provinsi baru Papua ini dilakukan dalam waktu yang singkat oleh DPR RI yaitu selama 2,5 bulan. Hal ini terhitung sejak tiga rancangan undang-undang (RUU) tentang provinsi baru ini disahkan sebagai RUU inisiatif DPR dalam forum Badan Legislatif (Baleg) pada 12 April 2022.
Pemekaran provinsi Papua sendiri telah menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat. Beberapa pihak menyambut baik atas kebijakan ini. Hal ini misalnya disampaikan oleh Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodawardhani yang optimis bahwa gagasan pemekaran provinsi di Papua diharapkan dapat memberikan kesejahteraan di wilayah tersebut. Optimisme ini didukung dari pernyataan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang mengatakan, kebijakan pemekaran provinsi di Papua sudah melibatkan aspirasi elemen masyarakat setempat seperti tokoh adat dan pejabat daerah.
Di sisi lain, tidak semua pihak setuju dengan gagasan pemekaran provinsi Papua. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh para aktivis HAM. Mereka menganggap kebijakan pemekaran Papua tidak dapat menyelesaikan permasalahan kemanusiaan yang selama ini terjadi di Papua. Hal ini seperti yang disampaikan oleh peneliti Imparsial, Hussein Ahmad. Menurutnya, kebijakan pemekaran wilayah Papua akan berdampak pada penambahan militer di Papua yang berpotensi meningkatkan kekerasan dan pelanggaran HAM.
Militer Sebagai “Agen Pembangunan” di Papua
Papua merupakan daerah rawan konflik yang seringkali timbul permasalahan kemanusiaan dan pelanggaran HAM. Dalam laporan Amnesty International Indonesia sendiri, tercatat sejak Februari 2018 sampai Maret 2021 setidaknya ada 49 kasus dugaan pembunuhan di luar hukum oleh aparat keamanan dengan total 83 korban. Potensi meningkatnya korban kekerasan di Papua ini juga tidak bisa dilepaskan setelah ditetapkannya Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai kelompok teroris. Kebijakan penetapan TPNPB-OPM sebagai kelompok teroris juga memungkinkan keterlibatan Detasemen Khusus 88 atau Densus 88 yang bertugas untuk menindak kelompok teroris di Indonesia.
Dalam sejarahnya, pihak militer seringkali dilibatkan untuk menjamin terlaksananya program pembangunan ekonomi di Papua. Selama masa Orde Baru tidak ada upaya untuk berdialog dengan para simpatisan OPM. Pemerintah Orde Baru cenderung berusaha menyelesaikan konflik di Papua dengan menghancurkan perlawanan dari masyarakat sipil Papua yang kecewa dengan program pembangunan ekonomi pemerintah pusat. Kekecewaan ini disebabkan oleh pemerintah Orde Baru yang melakukan eksploitasi sumber daya alam dengan menjalin kerja sama dengan perusahaan tambang asing seperti PT.Freeport.
Kekecewaan masyarakat sipil Papua atas program pembangunan ekonomi dari pemerintah Orde Baru juga disebabkan program transmigrasi di Papua. Program transmigrasi yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru awalnya diharapkan dapat menarik tenaga kerja produktif dari Pulau Jawa untuk mengembangkan fungsi lahan kosong di Papua untuk dijadikan lahan pertanian. Akan tetapi, kehadiran transmigran telah memicu permasalahan baru yaitu segregasi pemukiman. Seringkali masyarakat adat dipaksa memberikan tanah adatnya kepada pemukim transmigran. Pengusiran tersebut disertai dengan aksi kekerasan yang dilakukan oleh militer Indonesia.
Berbagai aksi protes yang dilakukan oleh masyarakat adat seringkali dianggap bagian dari strategi OPM dalam mengacaukan Papua. Adanya dugaan keterlibatan OPM dalam protes yang dilakukan masyarakat adat terhadap pemerintah pusat kemudian dijadikan pembenaran bagi militer untuk melakukan kekerasan. Hal ini misalnya terjadi pada peristiwa Biak berdarah pada tanggal 6 Juli 1998.
Persoalan agenda pembangunan ekonomi di Papua yang disertai dengan tingginya kekerasan terhadap masyarakat sipil menunjukan pemerintah masih mengandalkan militer sebagai “agen pembangunan”. Pembangunan ekonomi di Papua seharusnya menggunakan kerangka berpikir humanisme dengan melibatkan secara aktif masyarakat adat dalam menyalurkan pandangannya mengenai masa depan daerahnya sendiri. Agenda pembangunan ekonomi di Papua sejak zaman orde baru hingga saat ini yang dilakukan dengan melakukan pemekaran provinsi dilakukan dengan pendekatan keamanan. Kasus kekerasan di Papua menunjukan militer seringkali memandang masyarakat adat Papua yang melakukan protes sebagai ancaman keamanan. Mereka dianggap memiliki keterkaitan dengan kelompok OPM yang menjadi musuh negara alih-alih sebagai masyarakat yang menyatakan kebebasan berpendapat di muka umum.
Perlunya Pembangunan Berperspektif Budaya Adat Papua
Kebijakan pemekaran provinsi Papua merupakan bagian dari agenda pemerintah untuk melakukan modernisasi di daerah yang dinilai belum maju. Pemerintah selalu mengusahakan agar daerah-daerah Papua dapat menjadi kota besar layaknya Jakarta yang memiliki kelengkapan sarana infrastruktur. Akan tetapi dalam prosesnya, usaha pemerintah dalam membangun infrastruktur seperti jalan tol belum mampu menciptakan simpati di kalangan masyarakat Papua bahkan hanya menimbulkan konflik baru. Hal ini misalnya terjadi pada tahun 2018 lalu dimana 31 pekerja jembatan Trans Papua menjadi korban penembakan oleh OPM.
Agenda pembangunan ekonomi yang sebenarnya memiliki tujuan baik justru dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat adat Papua. Beberapa permasalahan yang muncul selama proses pembangunan ekonomi di Papua adalah kerusakan alam. Budaya Papua percaya bahwa ‘hutan itu seperti ibu’ yang menyediakan segala kelangsungan hidup, seperti ikan, hewan, dan makanan pokok (sagu) bagi penduduknya. Selagi modernitas hanya ditandai dengan adanya pembangunan gedung perkantoran bertingkat dan betonisasi jalan, masyarakat Papua tidak akan menerima agenda pembangunan ekonomi dari pemerintah pusat.
Dalam merencanakan agenda pembangunan di Papua seharusnya pemerintah terlebih dahulu menyelesaikan masalah kemanusiaan yang terjadi dibandingkan berfokus pada aspek keuntungan ekonomi saja. Permasalahan kemanusiaan telah menjadi akar kekerasan di Papua. Hal ini telah mendorong menurunnya simpati masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat sehingga rentan dimobilisasi oleh kelompok berkepentingan. Tanpa adanya kebijakan yang berorientasi pada penghormatan budaya adat setempat dan nilai kemanusiaan, Papua akan terus menjadi zona konflik di Indonesia.