Krisis ekonomi, politik, dan keamanan di dunia telah menyebabkan peningkatan migrasi penduduk ke berbagai negara untuk menghindari konflik dan kekerasan. Pemerintah dan organisasi kemanusiaan telah melakukan banyak intervensi dari sisi legal, ekonomi, hingga psikologi, namun minim penjelasan tentang bagaimana sebenarnya dinamika dan kapabilitas pengungsi dan pencari suaka dalam beradaptasi di negara baru.
Dalam pembahasan ini, penulis melihat adanya perspektif lain bahwa intervensi tidak selalu dilakukan oleh outsider. Melalui pengamatan dan interaksi yang intens dengan kawan pengungsi dan pencari suaka di HELP For Refugee, anggota komunitas yang terdiri dari pengungsi dan pencari suaka rupanya saling bersinergi dan memberdayakan satu sama lain, mulai dari pembicaraan mengenai keluarga, mempelajari norma-norma lokal, bahasa asing, hingga membangun jaringan untuk mencapai negara tujuan.
Hal ini berbeda dengan pandangan banyak orang yang melihat kelompok ini sebagai orang asing yang tertutup dan eksklusif, atau media yang meng-capture fenomena banyaknya tenda-tenda pengungsian di sejumlah kawasan di Jakarta, yang seolah dianggap sebagai vulnerable groups dan hanya dijadikan subjek peliputan dan penerima bantuan kemanusiaan.
Komunitas ini cukup inklusif karena anggotanya berasal dari berbagai negara, mulai dari Iraq, Somalia, hingga Ethiopia. Keunikan lainnya ialah, anggota HELP memiliki pemahaman bersama bahwa mereka mempunyai identitas bersama sebagai “pengungsi dan pencari suaka”. Identitas itu yang menyatukan mereka untuk mengubah sebuah kerentanan menjadi sesuatu yang enabling guna meng-counter diskriminasi dan keterbatasan hidup di negara transit seperti Indonesia.
Kemampuan Bahasa Sebagai Aset
Community learning centre tidak hanya sebuah tempat belajar, namun menjadi keluarga bagi anggota untuk berbagi cerita dan berjejaring. Keberagaman yang ada dalam HELP tidak menjadikan mereka eksklusif, namun justru terbuka terhadap budaya dan nilai yang berbeda.
Menurut Putnam (2007) pengungsi membekali diri dengan kemampuan yang dapat dijadikan aset yang mendukung daya tawar mereka di negara baru. Kemampuan untuk dapat berbahasa Inggris menjadi salah satu asset yang berharga, selain untuk berkomunikasi, juga untuk meng-counter narasi yang selama ini menggambarkan pengungsi dan pencari suaka sebagai kelompok rentan yang sering dipersepsikan dengan sesuatu yang negatif.
Meskipun kemampuan berbahasa Inggris mereka berbeda satu sama lain, anggota komunitas saling membantu untuk memahami pesan yang berusaha disampaikan. Selain itu, kemampuan Bahasa Inggris juga sangat membantu ketika mereka berada di situasi darurat, seperti menghubungi rumah sakit saat anggota keluarga sedang membutuhkan bantuan medis.
Yang menarik adalah, beberapa anak tidak canggung bercakap menggunakan Bahasa Indonesia dengan penulis. Mereka terlihat berusaha untuk menunjukkan kemampuan bahasanya yang tampak fasih dan tegas. Bahkan tanpa ditanya, sebagian dari mereka memperkenalkan diri dengan bahasa Indonesia dan langsung menanyakan latarbelakang penulis.
Online Course Untuk Menambah Stock of Knowledge
Selain belajar bahasa, anggota komunitas HELP juga saling mendukung untuk menyebarkan informasi tentang program belajar online atau online course. Online course memperkaya wawasan anggota komunitas pada bidang-bidang yang spesifik, seperti bisnis dan jurnalistik.
Sejumlah anggota komunitas lebih memilih untuk proaktif mencari informasi belajar untuk berkegiatan secara produktif. Menurut Missbach (2016) negara ketiga yang akan menerima pengungsi melakukan seleksi terhadap kemampuan-kemampuan tertentu yang dimiliki oleh pengungsi. Melalui online course, pengungsi dapat menambah stock of knowledge yang dapat memperkuat kapasitas diri sehingga dapat menjadi bekal untuk memperkuat pengetahuan.
Community Learning Center Sebagai Wadah Parenting
Keberadaan HELP membantu orang tua pengungsi untuk lebih peduli terhadap perkembangan psikologis anak. HELP menjadi wadah bagi keluarga pengungsi untuk meningkatkan motivasi diri dan berjejaring. Dalam hal ini, ikatan internal antara orang tua dan pengajar semakin tumbuh seiring dengan intensitas interaksi yang bermakna.
Menurut Granovetter ikatan internal dalam kelompok berguna untuk memperkuat identitas dan tujuan bersama yang ingin dicapai (Granovetter 1973). Tumbuhnya mutual trust antara orangtua dan pengajar untuk mendidik anak-anak pengungsi didorong oleh tujuan bersama untuk melahirkan anak-anak pengungsi yang mampu memperjuangkan kelompok mereka.
Intervensi Berbasis Komunitas Untuk Kesehatan Psikologis
Melalui dukungan sosial dalam komunitas, kegiatan yang produktif akan mengalihkan perhatian terhadap eksklusi sosial yang dialami pengungsi dan pencari suaka di negara yang asing bagi mereka. Meskipun berbeda latarbelakang, anggota HELP mengasosiasikan keanggotaan mereka sebagai satu entitas yang mempunyai masalah seragam, yaitu konflik di negara asal dan eksklusi sosial di negara baru.
Intervensi berbasis komunitas/kelompok lebih mampu menjawab persoalan gangguan psikologis pengungsi dibanding dengan intevensi yang bersifat individual. Hal ini mendorong mereka untuk menjadi support system bagi sesama anggota HELP. Temuan ini sejalan dengan pernyataan Putnam (2006) yang berargumen bahwa dalam konteks migrasi, identitas new us atau new we dapat terbentuk.
Community Learning Centre Sebagai Strategi Adaptasi
Keanggotaan di dalam komunitas dan interaksi yang bermakna menjadikan hal tersebut sebagai modal sosial untuk dapat beradaptasi dan bertahan di negara asing, termasuk negara transit seperti Indonesia.
Hal ini merupakan strategi migrasi yang dilakukan ditengah kekangan aturan legal formal yang membatasi akses ke berbagai sumber daya. Melalui jaringan sosial yang dimiliki, anggota HELP mampu mengkonversi kerentanan menjadi sumberdaya potensial melalui image shifting dalam kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh sesama pengungsi dan pencari suaka.
Dalam melihat modal sosial di komunitas, keberadaan aktor sebagai sumber terbentuknya jaringan menjadi hal yang esensial. Terbentuknya jaringan sosial dalam komunitas HELP dipengaruhi oleh latarbelakang pendidikan anggota, posisi strategis anggota dalam komunitas sebelum di HELP, kedekatan anggota dengan komunitas sejenis, serta kemampuan persuasi aktor dalam menarasikan isu pengungsi dan pencari suaka kepada komunitas lokal.
Sumber :
Granovetter, M. (1973). The Strength of Weak Ties. American Journal of Sociology.
Missbach, Antje. 2016. Troubled Transit: Politik Indonesia Bagi Para Pencari Suaka. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Putnam, Robert D. 2006. An Interview With Robert Putnam: The Future of US Civil Society : Civic Engagement After September 11. Harvard International Review. Diakses melalui www.jstor.org pada 12 Januari 2018 pukul 21.33
Putnam, Robert D. 2007. E Pluribus Unum: Diversity and community in the Twenty first Century. Scandinavian Political Studies, vol. 30 no. 2: 137-174