Minggu, November 10, 2024

Pembangunan dan Konflik Agraria

Totoh Wildan
Totoh Wildan
Pembelajar Hukum Lingkungan Hidup, Hak Asasi Manusia dan Tata Kelola Negara
- Advertisement -

Manusia, alam dan pembangunan adalah fakta kehidupan yang akan selalu menyelimuti hidup di muka bumi ini. Manusia merupakan peminpin di muka bumi. Banyak sekali ungkapan “peminpin muka bumi” tercatatkan dalam berbagai kitab suci di beberapa agama. Makna “peminpin muka bumi” ini sudah barang tentu meminpin segala hal yang ada di muka bumi ini.

Alam menjadi bagian tidak terpisahkan dari tugas peminpin di muka bumi ini. Makna alam ini berisi segala hal yang melingkupi isi dari bumi ini, mulai dari hewan, tumbuhan, gunung, sungai, air dan masih banyak lainnya. Menjaga alam dengan segala isinya menjadi tugas terpenting bagi setiap manusia yang dilahirkan.

Pembangunan adalah buah dari pemikiran manusia untuk memajukan dan memanfaatkan alam raya ini. Sejarah mencatat, pembangunan dimulai dengan cara paling sederhana, seperti membuat sawah untuk menghasilkan padi dengan kualitas bagus. Hingga yang tercanggih, seperti pembangunan gedung-gedung pencakar langit ribuan meter tingginya.

Pembangunan pada dasarnya sangat baik bagi kehidupan manusia. Baik karena bertujuan memudahkan kehidupan manusia itu sendiri. Pelabuhan dibuat agar perahu bisa bersandar, atau jalan diciptakan agar kendaraan tidak kesulitan saat melintas tanah. Masalah baru muncul ketika nilai pembangunan yang sebelumnya bertujuan memudahkan kehidupan manusia, mulai bergeser menjadi alat untuk menguasai manusia lain.

Model pembangunan yang berorientasi untuk menguasai manusia lain ini, pada akhirnya akan membawa manusia pada konflik dengan manusia lain. Konflik semacam ini seringkali berhubungan erat dengan konflik untuk berebut pengaruh alam atau dalam bahasa sederhanya untuk berebut sumber daya alam. Penguasaan atas SDA adalah motip terbanyak atas konflik yang melanda antara manusia satu dengan manusia lain.

Hingga 72 bangsa ini berdiri, pembangunan yang diarahkan semakin menjauh dari keempat tujuan diatas. Konflik antara Negara dan masyarakat seperti tak berujung. Konflik agraria menjadi konflik yang tak kunjung padam tiap tahunnya. Konflik ini diperparah dengan model pembangunan yang kian melanggengkan penguasaan atas sumber daya alam di Indonesia.

Model pembangunan yang dipakai oleh penguasa pada periode ini, memberikan jalan bagi pengusaha untuk menguasai sumber daya alam secara tak terbatas. Model penguasaan seperti ini secara tidak langsung membuka Indonesia pada lahirnya konflik-konflik agrarian diberbagai tempat pembangunan tadi. Dalam berbagai catatan tentang konflik agraria, angka konflik agraria tetap menunjukan nilai yang tinggi.

Catatan tahun 2017 sendiri, KPA mencatat sedikitnya terjadi 659 konflik agraria di berbagai wilayah di dengan luasan 520.491,87 hektar. Konflik-konflik ini melibatkan sedikitnya 652.738 keluarga. Dibanding 2016, konflik tahun ini menunjukkan kenaikan siginifikan alias 50%.

Konflik-konflik meliputi berbagai sektor , mulai dari perkebunan, property, infrastruktur, pertanian, kehutanan, perikanan dan pertambangan. Dari semua sektor tadi, perkebunan menempati posisi pertama. Sebanyak 208 konflik agraria sektor ini sepanjang 2017, atau 32% dari seluruh kejadian. Properti menempati posisi kedua dengan 199 atau 30% konflik. Ketiga infrastruktur dengan 94 (14%), disusul sektor pertanian 78 (12%). Sektor kehutanan ada 30 (5%), sektor pesisir dan kelautan 28 (4%), terakhir pertambangan 22 (3%).

Untuk infrastruktur, konflik terjadi pada 52.607,9 hektar dan pertambangan 45.792,8 hektar. Sektor pesisir dan kelautan 41.109,47 hektar, sektor pertanian pangan 38.986,24 hektar. Luasan konflik sektor properti 10.337,72 hektar. Sedangkan, selama tiga tahun pemerintahan Jokowi–Jusuf Kalla (2015-2017), terjadi 1.361 konflik agraria.

- Advertisement -

Angka konflik pada tahun 2017 diatas, menunjukan bahwa memang pembangunan yang dipakai oleh penguasa pada periode ini, melenceng dari tujuan bangsa ini didirikan, seperti yang telah diuraikan di awal tadi. Angka-angka diatas juga menunjukan bahwa adalah nilai-nilai yang telah ditinggalkan oleh penguasa pada periode ini. Nilai itu adalah nilai kemanusiaan, keadilan dan keberlanjutan, seperti yang tercantum dalam Pancasila.

Kemanusiaan adalah nilai yang telah menjadi kesepakatan saat para pendiri bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan. Kemanusiaan sudah menjadi poin utama ketika Muhamad Yamin dan Soekarno membacakan dasar-dasar kebangsaan, yaitu dengan nama “Peri Kemanusiaan”. Nilai kemanusiaan ini pada fase selanjutnya akan melahirkan banyak pasal-pasal yang berhubungan penghormatan, pengakuan dan penegakan akan Hak Asasi Manusia. Tanpa nilai-nilai kemanusiaan, makna “Hak Asasi Manusia” tidak akan memiliki induk yang tepat.

Keadilan adalah nilai yang menggerakan setiap manusia untuk meraih hak asasi manusia tadi. Keadilan diperjuangkan karena ada banyak ketimpangan antara manusia satu dengan manusia lain. Ketimpangan yang seringkali digerakan oleh motiv manusia untuk menguasai manusia lain. Ketimpangan-ketimpangan inilah yang membuat nilai keadilan menjadi salah poin penting dalam tujuan bangsa ini didirikan.

Keberlanjutan adalah nilai lama tapi baru dicatatkan dalam beberapa puluh tahun terakhir. Nilai keberlanjutan menjadi penting karena ada sesuatu yang salah dengan cara manusia mempersiapkan alam dan manusia untuk generasi selanjutnya. Keberlajutan melahirkan gerakan-gerakan untuk menjadikan bumi ini layak bagi generasi selanjutnya.

Pembangunan yang diarahkan penguasa pada akhirnya membawa masyarakat untuk meninggalkan budaya dan nilai-nilai sosial yang selama ini terbangun. Tercerabutnya masyrakat local dengan nilai-nilai sosial sebelumnya, bisa memberikan dampak lain pada kehidupan masyarakat itu sendiri.

Terciptanya nilai baru jika tidak dihadapi, akan memberikan ancaman baru yang tidak tergambar sebelumnya. Sering banyak terjadi, tingkat kriminalitas meningkat pada daerah baru pasca relokasi warga korban penggusuran proyek pemerintah. Hal-hal semacam ini menjadi sesuatu yang luput dari kebijakan pembangunan penguasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai sosial di masyarakat.

Konflik tidak dapat mereda selagi penguasa masih menjadikan pengusaha sebagai subyek hukum yang lebih tinggi diatas rakyat itu sendiri. Rakyat sebagai pemilik sah Negara ini, hanya dijadikan warga kelas dua oleh Penguasa. Pembangunan yang tidak berpihak kepada rakyat menjadi pangkal persoalan mengapa rakyat selalu menjadi korban atas kekejaman Penguasa.

Tantangan menghadapi Penguasa model ini membuat masyarakat yang selama ini menjaga nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan keberlanjutan harus mempunyai napas yang panjang untuk menghadapinya. Dibutuhkan pula kecerdasan untuk menghentikan kebijakan pembangunan yang tak berorientasi pada kebaikan.

Solidaritas untuk terus menyuarakan keadilan menjadi hal yang mutlak mesti dilakukan. Kritik tiada henti harus pula digalakkan, karena sekecil apapun kritik, tetap akan memberikan getaran yang membuat Penguasa sedikit menahan egonya untuk “membunuh” warganegaranya sendiri.

Totoh Wildan
Totoh Wildan
Pembelajar Hukum Lingkungan Hidup, Hak Asasi Manusia dan Tata Kelola Negara
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.