Kamis, Maret 28, 2024

Pembakaran Transpuan, Hak Minoritas yang Termarjinalkan

Emi Widayah
Emi Widayah
Mahasiswi Fakultas Ekonomi, Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Menteng

Isu tentang minoritas seakan tak pernah usang, berbanding terbalik dengan penegakkan hukumnya yang nampak lusuh dan rapuh.

Meskipun animo masyarakat pada isu ini bisa dibilang cenderung minim. namun diskriminasi, stigmatisasi, segregasi dan hal-hal negatif lainnya masih terus bergulir menyasar orang-orang yang berada pada entitas minoritas. Hingga kini selubung kelam bagi penegakan hak-hak minoritas di Indonesia belum juga menjumpai cahayanya.

Beberapa hari lalu, tepatnya 04 April lalu, adalah hari duka bagi seorang Transpuan bernama Mira, pasalnya pada hari itu, Mira dibakar hidup-hidup oleh sejumlah preman setelah dituduh mencuri, kejadian berlangsung di Cilincing, Jakarta Utara.

Sebelum dibakar, Mira sempat dikeroyok dan dipukuli, lalu disiram bensin dan dibakar, setelah pembakaran terjadi, Mira dengan kondisi rambut yang hangus terbabat api dan luka bakar di sekujur tubuh, berjalan pulang untuk menyelamatkan diri, namun tak sampai menyelamatkan diri, Mira lebih dulu pingsan kemudian dibawa ke rumah sakit oleh masyarakat sekitar.

Diwartakan oleh asumsi.co, dengan luka bakar pada tubuh mencapai 90%, Mira akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada pukul 11.00 WIB. Kasus Mira merupakan satu dari rentetan kasus diskriminasi yang berujung pada kekerasan yang masih kerap menimpa orang-orang dengan minoritas orientasi seksual dan jender seperti LGBTIQ, sebuah ironi yang tak kunjung hilang dari wajah negeri.

Eksplanasi Naturalistik

Menyoal tentang Mira dan beberapa persoalan pelik yang diterima oleh kaum minoritas di Indonesia, saya jadi teringat dengan teori sosial yaitu teori tentang naturalistik dalam buku Introducing Social Theory, Second Edition(Pip Jonez, Liz Bradbury, Shaun Le Boutilier) dalam memandang konflik ini.

Teori naturalistik menyuguhkan eksplanasi tentang ketimpangan dan kemungkinan munculnya diskriminasi akibat adanya suatu struktur sosial yang dibangun diatas paradigma ‘alamiah’ dan ‘tidak alamiah’.

Dalam teori naturalistik,  manusia membangun dan mengukuhkan disposisi alamiahnya, misalnya, adalah alamiah seorang laki-laki jatuh cinta pada perempuan, kemudian menikah dan mempunyai anak, si laki-laki bertugas mencari uang sedangkan si perempuan bertugas menjaga anak, setelah si anak tumbuh dewasa, anak akan meninggalkan rumahnya dan mencari cintanya, kemudian orang-orang yang tidak menikah, atau meninggalkan rumah sebelum dewasa, atau perempuan yang tidak mau berdiam diri di rumah menjaga anak-anaknya dianggap tidak alamiah, menyimpang dari keharusan.

Dalam konteks ini, saya rasa beberapa masyarakat Indonesia masih mengamini bahkan mengimani konsepsi tentang eksplanasi naturalistik.

Masyarakat menganggap bahwa adalah tidak alamiah untuk seorang laki-laki berpenampilan menyerupai perempuan, adalah tidak ‘alamiah’ memiliki orientasi seksual pada sesama jenis, adalah tidak ‘alamiah’ menjadi transpuan, dan ketidak-alamiahan lainnya yang difalsifikasi dan akhirnya memunculkan sebuah sentimen.

Dalam kasus Mira, sentimen itu pula yang mendorong sejumlah oknum dalam melancarkan tindakan-tindakan keji mereka, sentimen yang mereka bangun diatas kebencian terhadap transpuan membuat mereka melakukan hal-hal yang irasional, mendakwakan perkara tanpa mengantongi bukti sebagaimana mestinya, tak cukup hanya mendakwa, mereka juga membuat manusia kehilangan nyawanya.

Sentimen muncul sebagai konsekuensi atas anggapan masyarakat bahwa yang tidak ‘alamiah’ berarti tidak baik, yang tidak alamiah berarti harus ditakfiri dan diperangi atau bahkan dibasmi demi menjaga nilai-nilai ke-alamiahan yang telah disupremasi dengan pengkultusan sedemikian rupa.

Yang menjadi soal adalah sentimen-sentimen negatif karena ketidakmampuan masyarakat dalam mengakomodasi nilai-nilai keberagaman juga dengan adanya pemaksaan standar ‘alamiah’ yang dibentuk entah atas konsensus apa kapan dan dimana, biasanya berujung pada tindakan diskriminatif dan represif.

Dorongan sentimen yang memunculkan tindak-tindak amoral adalah sesuatu yang tidak semestinya dibiarkan, karena implikasinya adalah semakin nyatanya pemarjinalan terhadap minority rights, juga degradasi kemanusiaan karena manusia lebih menuruti standar daripada berpijak diatas prinsip “memanusiakan manusia”, dalam hal ini, negara, adalah yang paling memiliki kekuatan untuk memutus pemarjinalan terhadap minority right dengan payung-payung hukumnya.

Negara dalam Pusaran Minority Rights

Sebenarnya perlindungan akan hak-hak minoritas sudah termaktub dalam hukum internasioanl baik yang berupa hardlaws maupun softlaws, dalam klasifikasi hardlaws misalnya, hak-hak kelompok minoritas dijamin oleh Pasal 27 Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR, 1996), yang juga tercantum dalam Konvensi Hak Anak (KHA, 1989).

Di Indonesia sendiri, prinsip non-diskriminasi terhadap minoritas terakomodasi dalam beberapa produk hukumnya yaitu: ICCPR yang diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005, UUD 1945 Pasal 28 D dan I yang berbunyi “(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian yang sama di hadapan hukum” Pasal 28 ayat (2) yang menyatakan: “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”, kemudian Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (Pasal 3 ayat (3)), Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan beberapa produk hukum lainnya.

Dengan banyaknya produk hukum yang sebenarnya ramah terhadap perlindungan hak-hak minoritas, namun amat disayangkan bahwa ternyata diskriminasi pada entitas minoritas masih merajalela di Indonesia.

Negara melalui aparatusnya seharusnya menjadi tumpuan dalam penghapusan diskriminasi dan penegakan hak-hak minoritas, namun di beberapa kasus, alih-alih berpijak pada prinsip non diskrimasi, negara justru memvalidasi tindak-tindak diskriminasi.

Kita tentunya tak lupa bahwa negara pernah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama(SKB) yang ditandatangani oleh Mendagri, Menteri agama, dan Jaksa Agung yang melarang adanya ajaran Ahmadiyah dan Fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang sesat dan menyesatkan, alih-alih meredam sentimen dan kecaman masyarakat pada kelompok minoritas Ahmadiyah, negara malah memvalidasi sentimen dan kecaman tersebut dengan menerbitkan produk hukum.

Kemudian kita tentunya juga belum lupa bahwa dalam RKUHP yang ditolak habis-habisan oleh parlemen jalanan namun dikebut penyelesaiannya di tengah Pandemi Covid-19 ini, dengan berbagai pasal kontroversialnya berpotensi mengkriminalisasi LGBTIQ.

Dari kasus Ahmadiyah dan potensi kriminalisasi terhadap LGBTIQ dapat dilihat bahwa negara sebenarnya tidak terlalu serius mengurusi hak-hak minoritas.

Segogyanya negara berada pada garda paling depan dalam perlindungan dan penegakan hak-hak minoritas sebagai manifestasi dari konstitusi yang dipostulasi, negara seharusnya tidak mendukung pemarjinalan terhadap minority rights karena negara lewat produk hukumnya mengakui bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama.

Emi Widayah
Emi Widayah
Mahasiswi Fakultas Ekonomi, Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Menteng
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.