Akhir-akhir ini sebuah video viral beredar di media sosial, diduga pembakaran bendera Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh beberapa oknum banser. Sorotan publik tentu tertuju pada Nahdlatul Ulama (NU) sebagai induk dari banser. Perang ideologi antara NU dan HTI memang serasa tak berkesudahan. Walaupun resmi HTI telah dibubarkan ada saja tengkulak politik yang semacam sengaja menggoreng isu ini.
Tak dipungkiri menjelang pilpres 2019 semua sarana politik sengaja dipakai untuk dapat terlibat di dalamnya, termasuk menghidupkan kembali isu-isu ideologis yang sebenarnya telah berakhir.
Jika dilihat dalam kacamata politik ala Machiavelian, dalam bukunya The Prince Machiavelliani. Memandang seorang yang punya ambisi mempertahankan dan merebut kekuasaan dihalalkan untuk menciatakan semacam konflik pertentangan dan permusuhan. Pandangan Machiavelian benar, bahwa seseorang yang gila posisi dan kekuasaan tentu harus berani memakai sarana ini.
Simbol Kebencian
Saat ini ada paradoks yang dihidangkan dalam publik kita. Yang pertama pandangan bahwa dalam kasus ini banser telah sengaja membakar bendera dengan kalimat tauhid. Sehingga menuai amarah kelompok konservatif yang mengaggap banser telah menista kalimat tauhid.
Kedua, muncul semacam reaksi bahwa aksi banser tak lain adalah simbol kecintaan kepada NKRI. Tentu ini bukan hanya dilihat dari kacamata kuda yang tanpa alasan, anggapan bahwa yang dibakar adalah simbol HTI dan bukan kalimat tauhidnya.
Secara historis kebencian terhadap sebuah simbol memang sudah ada sejak lama. Di Jerman, misalnya, simbol swastika dalam bendera Nazi yang merupakan simbol kebaikan dan telah berkembang sejak 300 tahun lalu. Sebelum Nazi menodainya dalam berbagai pembantaian nyawa manusia, sehingga lambang ini pun ternoda dan terdistorsi. Yang tadinya mempunyai konotasi positif berubah menjadi negatif.
Atau misalnya kita melihat simbol palu dan arit dalam bendera Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Uni Soviet. yang melambangkan semangat komunisme, sebagai persatuan kaum buruh dan petani. PKI di Indonesia dimusuhi bukan karena palu dan aritnya, yang tentu kita tahu adalah simbol semangat kerja para petani dan kaum buruh. Akan tetapi simbol itu ternodai oleh doktrin komunisme yang menyisakan banyak jejak darah dalam sejarah kita.
Begitu juga kalimat tauhid dalam bendera HTI. Kalimat ini dipakai juga dalam lambang umat Islam di zaman Rasulullah, yang sampai saat ini dipakai oleh Saudi Arabia sebagai bendera negara, namun lagi-lagi kesucian kalimat ini dinodai oleh kelompok ekstrimis ISIS dalam bendera mereka, di Indonesia kemuliaan kalimat ini dinodai kembali dengan dijadikan alat propaganda untuk mengganti ideologi pancasila oleh kelompok-kelompok semacam HTI.
Kegenitan
Sikap genit kelompok konservatif dalam menyikapi hal ini tentu menjadi catatan penting. Misalnya, tagar yang berdar akhir-akhir ini #bubarkanbanser dan #bekukanNU, adalah kegenitan bersikap yang tak pantas disadurkan. Isu ideologis semacam ini memang sudah lama ditunggu, dengan mengkambinghitamkan lawan ideologis seperti NU demi mendapat peran dalam perhelatan politik di 2019.
Menjadi narasi penting bahwa sikap banser dalam kasus pembakaran ini menjadi evaluasi internal organisasi sebesar NU. Kedangkalan berpikir oknum banser tanpa memperhitungkan sebab akibat dari aksinya menjadi evaluasi untuk internal, sepantasnya cara-cara yang terbilang norak semacam ini diminimalisir dalam tubuh banser,
Sikap norak banser bukan tak berakibat, akhir-akhir ini tentu kita mendengar berbagai penolakan kegiatan-kegiatan ansor ataupun banser di beberapa daerah, seperti di Riau beberapa waktu lalu, dimana banser menerima penolakan langsung dari masyarakat Riau. Tentu ini adalah reaksi masyarakat yang terbilang mencengangkan dan bukan tak mungkin ini merupakan respon dari berbagai tindakan-tindakan norak para oknum banser.
Tindakan semacam ini haruslah tak terulang lagi dan menjadi evaluasi, agar NU tak melakukan blunder-blunder yang tidak sebegitu penting. Bukan hal yang kita amini tentu munculnya tagar #bubarkanbanser #bekukanNu adalah keberhasilan oknum lawan-lawan ideologis NU dalam memanfaatkan momen.
Banser sebagai organisasi dengan garis koordinatif NU sudah sepantasnya menerapkan semangat moderat dalam sikapnya yang tasamuh bukan cendrung gegabah. Sehingga isu-isu semacam ini tak lagi dijadikan kesempatan para kelompok-kelompok semacam HTI dalam meng-counter attack NU sebagai organisasi yang cukup besar di Indonesia
Publik kita sudah cukup gerah dihidangkan bebagai drama-drama jenaka para elit. Mulai dari kasus hoaks, ujaran kebencian, hingga masalah pembakaran kalimat tauhid ataupun bendera HTI, seakan perang opini yang dibangun semakin tak kreatif saja, dan cenderung memecah belah.
Ditambah lagi kegenitan para netizen ataupun oknum-oknum yang sengaja menggoreng kasus yang sebenarnya tak bersubstansi, dan tak layak untuk dibesar-besarkan. Menjadi pelajaran bahwa kegenitan kita dalam bersosial media sebenarnya tak menghasilkan apa-apa, melainkan perpecahan saja, terutama di internal umat Islam sendiri.