UU PTUN masih dianggap belum menjamin kepastian hukum selayaknya sebagai instrumen hukum bagi pengaturan hubungan pemerintah dengan warga negara, demikian dialami karena UU PTUN belum memberikan kepastian hukum terkait pengaturan materi yang diatur dalam UU tersebut, saling campur aduk tanpa pemisahan yang tegas mengenai batas pengaturan mengenai hukum materil dan formil dalam UU tersebut.
Dengan terbitnya UU (terbaru dan pertama) No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP), dirasakan semakin memberikan kepastian baik terhadap pengaturan materi yang diatur dalam UU AP sendiri, maupun dalam implementasinya antara pemerintah dengan warganegara.
Kelahiran UU AP diharapkan mampu semakin memberikan perlindungan hukum yang maksiman bagi pemerintah maupun warganegara, pemerintah semakin terhindar dari potensi penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk kepentingan umum.
Praktek administrasi negara akan semakin menjadi tertib dalam penyelenggaraan negara karena dukungan UU Materil (UU AP) ditambah UU Formil (UU PTUN) yang sebelumnya sudah ada terlebih dahulu, kepastian memahami administrasi negara akan semakin menjadi lebih pasti khususnya menyangkut hal utama yang selalu pmenjadi pokok bahasan dalam Hukum Administrasi Negara.
Pokok bahasan yang selalu menjadi soal utama dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara yakni mengenai objek sengketa Tata Usaha Negara. Dalam UU PTUN telah diberikan definisi dan batasan mengenai objek sengketa TUN yang dapat diajukan gugatan ke PTUN. Objek sengketa yang sering kita kenal dengan nama Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang juga dikenal dalam istilah Belanda dengan sebutan Beschikking telah diatur dalam pasal 1 ayat (3) UU PTUN.
Adapun yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau badan hukum perdata.
Dalam pasal 1 angka 7 UU AP sendiri juga memberikan definsi mengenai Kepusan Tata Usaha Negara dengan penyebutan lain yakni Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
Dapat diketahui bahwa istilah Keputusan dalam UU AP lebih singkat daripada UU PTUN yang menguraikan lebih detail. Sedangkan, hal yang paling menarik bagi penulis sendiri dalam hal ini adalah akibat hukum yang ditimbulkan dari dikeluarkannya KTUN itu sendiri. Akibat hukum dikeluarkannya KTUN dapat berimplikasi kepada perubahan status hukum seseorang maupun badan hukum.
Terlepas dari kelemahan istilah dari KTUN dalam UU AP, bukan berarti makna istilah KTUN dalam UU PTUN tanpa mengandung kelemahan. Kelemahan UU PTUN tidak menguraikan secara gamblang penjelasan KTUN yang berakibat hukum, artinya UU PTUN masih mengartikan KTUN secara umum, lain halnya dengan UU AP yang justru dikatakan mengandung kelemahan dapat ditutupi dengan melakukan pembilahan KTUN yang meliputi konstitutif dan deklaratif sebagaimana termaktub pada pasal 54 UU AP.
Begitu pentingnya melakukan usaha pemaknaaan yang berbeda terhadap KTUN yang bersifat konstitutif dan deklaratif, karena akan berpengaruh terhadap cara berpikir hukum penyelesaian sengketa objek sengekta TUN di Pengadilan TUN. Secara teoritis, normatif maupun praktis, objek sengketa tata usaha negara yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan TUN adalah Keputusan yang berakibat hukum.
Keputusan yang berakibat hukum diartikan sebagai Keputusan Konstitusif, karena dalam Keputusan Konstitutif itu menimbulkan suatu hak baru yang sebelumnya tidak dipunyai oleh seseorang yang namanya tercantum dalam keputusan itu (rechtsscheppende beschikking). Sedangkan Keputusan Deklaratif itu berarti Keputusan yang maksudnya mengakui sesuatu hak yang sudah ada.
Perbedaan sifat Konstitutif dan Deklaratif nyatanya telah memunculkan persoalan dalam penyelesaian perkara gugatan TUN, jika kita menyimak terhadap Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi No 490/K/TUN/2015 sebagaimana dalam pertimbangan hukumnya telah memeriksa, mengadili dan memutus terhadap SK Menkumham yang dikatakan termasuk dalam Keputusan Deklaratif.
Dalam Putusan tersebut yang dikenal umum dengan penyelesaian terhadap konflik dualisme partai politik golongan karya yang melibatkan Pejabat Tata Usaha Negara dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM sebagaimana diketahui telah mengeluarkan SK Menkumham Nomor M.HH-01.AH.11.01 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar Rumah Tangga, serta Komposisi dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat Golongan Karya tanggal 23 Maret 2015.
Bermula dari kisruh internal Parpol Golkar mengenai pihak yang mengklaim sebagai pengurus Golkar yang sah berdasarkan hasil Munas Ancol yang diperkuat dengan Putusan Mahkamah Partai Politik, kemudian didaftarkan dan dinyatakan sah berdasarkan SK Menkumham. Terlepas dari persoalan politik yang menjadi anasir lain sebagai pemicunya, dikeluarkannya SK Menkumham untuk menetapkan keabsahaan hukum salah satu pihak menjadi pintu masuknya kasus ini untuk diadili, diselesaikan dan diputuskan di Pengadilan TUN.
SK Menkumham sebagai objek sengketa TUN yang bersifat deklaratif dalam perjalanan kasus ini ditiap tingkat pengadilan hingga kasasi memunculkan polemik mengenai legal standing SK Menkumham (deklaratif) yang dianggap tidak seharusnya menjadi objek sengketa TUN untuk digugat ke Pengadilan TUN, ditambah pasca putusan MA yang memenangkan pihak Penggugat/Terbanding/Pemohon Kasasi daripada Menkumham memunculkan polemik hukum terhadap tindakan hukum yang selanjutnya harus dilakukan oleh Menkumham sebagai Pejabat TUN yang berwenang mengeluarkan Keputusan.