Media massa elektronik belakangan ini sedang gencar-gencarnya mengangkat headline seputar Rachel Vennya (RV). siapa sih yang ga kenal dengan RV yang menjadi bahan cibiran masyarakat karena melanggar protokol kesehatan yang diatur sebagai ketentuan dalam Undang-Undang Kekarantinaan, dan diduga melakukan suap terhadap pihak Satgas untuk membebaskan diri dari karantina setelah kepulangannya dari luar negeri.
Terpantau ada banyak komentar-komentar netizen di media online beberapa hari belakangan tentang perkara Rachel. cukup dibuat geram dengan komentar-komentar orang yang awam hukum, tapi pandai membuat persepsi liar. Beberapa asumsi liar tersebut seperti hakim dibayar oleh Rachel, pertimbangan hukum menyoal sikap sopan dan tidak terbelit-tebelit serta masih banyak lagi.
Mengapa Rachel dihukum dengan hukuman percobaan?
Pertama yang ingin ditegaskan adalah bahwa Rachel melakukan pelanggaran kekarantinaan kesehatan. Kita sebagai masyarakat Indonesia tentunya mesti ketahui bahwa pelanggaran bukan berarti tindak kejahatan yang harus dihukum dengan adanya pemidanaan, maka dari itu tidak seharusnya seseorang yang melakukan pelanggaran dihukum pidana penjara.
Dalam pemberitaan yang beredar luas, khususnya pasca adanya putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanggerang yang menjatuhkan vonis 4 bulan penjara dengan hukuman percobaan selama 8 bulan terhadap Terdakwa Rachel Vennya. Salah satu alasan yang menjadi pertimbangan hakim dalam menjatuhkan vonis ringan bagi terdakwa adalah dikarenakan terdakwa Rachel bersikap sopan dan tidak berbelit-belit saat proses persidangan berlangsung.
Apa sih hukuman percobaan itu?
Hukuman percobaan adalah dimana seseorang yang terbukti secara sah dan bersalah namun tidak perlu menjalani masa pemenjaraan. Dengan beredarnya informasi yang menjadi alasan pertimbangan majelis hakim menjatuhkan vonis ringan terhadap terdakwa Rachel cukup membuat masyarakat geram dan menuai protes dari masyarakat bahwa pertimbangan majelis hakim tidaklah adil.
Perlu diketahui, pasalnya alasan yang meringankan dan memberatkan dalam hakim menjatuhkan putusan terhadap seorang terdakwa adalah hal yang lumrah dalam suatu persidangan. Hal itu biasanya dilakukan sebagai bentuk apresiasi majelis hakim terhadap terdakwa yang telah bersikap koperatif selama proses persidangan berlangsung, namun hal ini bukan berarti menjadi alasan pemaaf atau alasan pembenar untuk seseorang dapat lepas dari jeratan hukum.
Namun hal tersebut berbeda dimata orang yang awam terhadap ilmu hukum. Bagaimana tidak? hal tersebut dianggap sebagai bentuk ketidakberpihakan hukum terhadap keadilan. Ya, sebenarnya tidak bisa menyalahkan mereka juga karena ketidaktahuan mereka menyoal ilmu hukum, tapi hal-hal yang seperti itu tidak sepatutnya didiamkan begitu saja, perlu adanya tindakan untuk meluruskan persepsi masyarakat yang sudah memandang buruk terhadap perkara Rachel.
Selain itu, alasan mendasar majelis hakim menjatuhkan hukuman selama 4 bulan penjara dengan hukuman percobaan delapan bulan terhadap terdakwa Rachel yang juga diprotes oleh banyak orang adalah beralasan menurut hukum. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 14a KUHP yang pada pokoknya ialah, apabila seorang hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun, maka dalam putusnya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak wajib untuk dijalani. Maka jika dilihat dari isi pokok penjelasan umum Pasal 14a KUHP pertimbangan hukum majelis hakim berdasar. Jadi bukan pertimbangan yang mengada-ngada tanpa adanya dasar hukum.
Beberapa komentar juga banyak yang berasal dari influencer yang menyandingkan perkara Rachel dengan perkara nenek Asyani atas perbuatannya yang mencuri kayu divonis 1 tahun penjara, yang seolah-olah berusaha menggiring opini untuk menunjukkan adanya ketidakadilan dari dua perkara tersebut.
Jika ditelisik lebih dalam setelah mencari data fakta persidangannya, nenek Asyani yang divonis hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta subsider 1 hari penjara juga diganti menjadi hukuman percobaan selama 18 bulan. Majelis hakim menjatuhkan vonis tersebut dengan beralasan bahwa nenek Asyani sudah lanjut usia dan juga bersikap sopan serta belum pernah dihukum.
Mengapa Rachel tidak dijerat dengan pasal suap?
Aturan yuridis yang mengatur tentang suap diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dan masih berlaku hingga sekarang. Namun, tidak ada seorangpun yang melakukan tindak pidana suap dijerat dengan undang-undang tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, yaitu adalah dikarenakan delik mengenai suap sudah tergabung dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 20 Tahun 2001. Dalam banyak perkara suap Jaksa Penuntut Umum lebih memilih untuk menggunakan undang-undang tindak pidana korupsi daripada suap dikarenakan pada undang-undang tentang suapdeliknya dianggap lebih sulit untuk dapat dibuktikan klausulnya.
Selain itu, jika yang menjadi aturan rujukan untuk menjerat tindakan suap yang dilakukan RV adalah Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Pemberantassan Tindak Pidana Korupsi, undang-undang tersebut tidak dapat menjerat warga sipil yang melakukan suap terhadap pejabat negara yang mempunyai wewenang, dikarenakan subjek hukum diterapkannya Undang-Undang Tipikor adalah diperuntukkan bagi pejabat negara yang mempunyai kewenangan. Dalam hal ini telah terbukti bahwa RV tidak dapat dijerat dengan ketentuan pasal suap yang diatur dalam uu tipikor karena RV bukanlah pns, ataupun asn yang menjadi bagian dari pejabat negara.
Yang seharusnya jadi fokus masyarakat dalam perkara RV adalah penerima suap senilai 40 juta dari RV untuk membebaskan dirinya dari karantina pasca kepulangannya dari luar negeri. Adanya penyelewengan kewenangan yang diberikan terhadap penerima suap merupakan tindakan yang harus segera diusut tuntas, mengingat perbuatannya tersebut dapat membuat sejumlah keonaran yang terjadi dikalangan masyarakat.
Dari perkara Rachel dapat disimpulkan bahwa masih banyak ketidaktahuan hukum pada masyarakat Indonesia. persepsi masyarakat yang sudah terlanjur buruk terhadap hukum di Indonesia nampaknya menimbulkan sejumlah dilema bagi penegakan hukum di Indonesia untuk menegakkan keadilan, karena tidak dapat dinafikan juga bahwa untuk menegakkan keadilan perlu adanya suatu pengakuan dari masyarakat itu sendiri.