Jumat, November 8, 2024

Pelemahan KPK dan Nyungsepnya Gerakan Sipil

Rizaldi Ageng Wicaksono
Rizaldi Ageng Wicaksono
Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia
- Advertisement -

Pada hari Kamis, 27 Mei 2021 Mata Najwa telah menayangkan talkshow berjudul “KPK Riwayatmu Kini: Tak Lolos TWK, Lebih Baik Dipecat Daripada Dibina”. Beberapa hari ke depan, Watchdoc Documentary akan merilis film dokumenter berjudul The Endgame dengan mengajak komunitas-komunitas sipil menyelenggarakan agenda nobar di daerah-daerah. Kedua hasil kerja media tersebut menyoroti agenda lanjutan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah dicoba berkali-kali oleh elit politisi negeri.

Pada tahun 2020, DPR dengan dorongan Jokowi telah mengesahkan paket kebijakan Omnibus Law di tengah penolakan gerakan sipil dari berbagai sektor—pelajar, serikat buruh, serikat tani, dan sektor tertindas lainnya. Melalui pidato kenegaraannya, Jokowi mengatakan bahwa Omnibus Law diperlukan untuk merespon bonus demografi di Indonesia dan memangkas birokrasi perizinan yang panjang dan berbelit-belit. Jalur birokrasi perizinan yang panjang tersebut dianggap rawan menjadi praktik korupsi.

Ekonomi dan Elit Kita

Indonesia adalah negara tanpa industri berskala besar. Ekonominya masih ditopang oleh manufaktur padat karya dan belum beranjak ke dalam penggunaan alat-alat produksi berteknologi tinggi seperti halnya di negara-negara dunia pertama. Keterbelakangan ini merupakan hasil dari kolonialisme Belanda yang tidak serius membangun kapitalisme di Indonesia (Lane, 2019).

Sehingga keterbelakangan ekonomi Indonesia merupakan peninggalan kolonialisme, belum tuntas dan membuat setiap rezim kepemimpinan di Indonesia ngos-ngosan mendorong kemajuan ekonomi. Modal yang berputar di dalam negeri belum mampu menopang perencanaan dan koordinasi mekanisme produksi dan pasokan kebutuhan yang kompleks.

Di zaman Orde Baru, setiap 5 tahun ada program yang bernama Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Program ini disusun oleh Bappenas dengan agenda di permukaan melakukan perencanaan pembangunan ekonomi nasional. Bappenas adalah sebuah lembaga yang dipimpin oleh seorang menteri yang di zaman Orde Baru, merupakan aktor paling penting di bidang ekonomi.

Namun Bappenas dalam rekam sejarahnya merupakan selubung dari keperluan dan keinginan para kroni. Transformasi ekonomi pasar bebas era Soeharto disambut oleh investasi kapital besar-besaran dalam cabang industri manufaktur yang didominasi oleh pebisnis lokal kerabat Suharto dan investasi dari Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Jerman, Belanda, Australia, Amerika. Proyek-proyek strategis yang memiliki potensi memperbesar kapital dalam negeri justru masuk ke kantong-kantong keluarga cendana. Namun pertanyaan selanjutnya adalah, apakah pasca Soeharto jatuh penguapan kapital dalam negeri dapat dikikis?

Di masa reformasi, desentralisasi dijalankan. Ryaas Rasyid (2003), seorang akademisi yang di era transisi reformasi sangat getol mengkampanyekan desentralisasi menyatakan bahwa, “Decentralization is the policy was intended to provide more scope for local creativity and initiative in making policy and promoting public participation”. Melalui pernyataan tersebut, saya melihat desentralisasi sebagai sintesis sebuah kontradiksi dari praktik pemerintahan sentralistik dengan keinginan publik atas suatu imajinasi negara demokratis.

Namun, praktiknya justru berkebalikan. Lane (2014) memberikan pemaparan runut yang dapat penulis simpulkan bahwa di era desentralisasi, kelas sosial yang berkuasa di Indonesia diperbanyak dan diperlebar, tidak lagi tersentral di satu kepala. Maka muncul lah elit-elit kapitalis lokal di tingkat kabupaten dan provinsi—yang kemudian memiliki tujuan untuk merasakan menjadi elit nasional. Tak jarang KPK menangkap penguasa lokal karena terlibat dalam praktik korupsi dan suap. Elit lokal dan nasional ini membutuhkan kebebasan regulasi untuk kemudahan berbisnis bebas hambatan. Kebutuhan ini berdampingan dengan keinginan kapital asing karena sangat menguntungkan (Roberts, 2019).

Sehingga muncul lah Omnibus Law. Nafas inti dari kebijakan megah ini adalah satu, investasi. Memberhentikan penguapan uang dari sektor industri seperti yang disampaikan dalam pidato Jokowi merupakan ilusi terselubung yang nampak sekarang. Ini dapat dilihat dari praktik-praktik kontradiktif kebijakan pasca Omnibus disahkan.

Salah satu contohnya adalah penonaktifan 75 pegawai KPK yang sedang memegang kasus-kasur korupsi besar elit politik Indonesia. Praktik ini sama sekali tidak sejalan dengan tujuan Jokowi menanggulangi penguapan kapital yang akan didapat dari kebijakan pembukaan investasi seluas-luasnya pasca agenda Omnibus Law.

- Advertisement -

Merespon Momentum di Tengah Gurun yang Kering

Namun, gerakan sipil di Indonesia sedang tiarap hari ini pasca represi sistematis terhadap gerakan anti-Omnibus Law tahun lalu. Represi dilakukan bukan dengan penggunaan personil kepolisian berlebih dalam aksi massa di berbagai kota. Tetapi dengan mempermassif penggunaan buzzer dari orang biasa, hingga publik figur. Gerakan sipil menjadi kering dan tidak bergairah. Tiarapnya gerakan sipil ini akan semakin membuat elit semakin percaya diri menciptakan kebijakan-kebijakan yang mempermudah praktik mereka anti-reformasi.

Media telah melakukan tugas-tugas demokratiknya yang mereka manfaatkan dari terbukanya ruang demokrasi di Indonesia paca Reformasi ’98. Saya melihat, talkshow Mata Najwa beberapa hari lalu dan film “The EndGame” yang mulai dapat diakses pada 5 Juni kedepan harus direspon oleh gerakan sipil sebagai pemantik untuk kembali mengkonsolidasikan kekuatan.

Fakih dkk, (2005) dalam buku Mengubah Kebijakan Publik menjelaskan bahwa negara hukum demokratis memiliki 3 penopang. Pertama, hard policy, mengacu pada produk-produk hukum yang berlaku. Kedua, structural policy, mengacu pada kerja-kerja pemegang pemerintahan menjalankan amanat peraturan-peraturan perundang-undangan. Ketiga, cultural policy, mengacu pada iklim publik dalam mengawasi jalannya hard policy dan structural policy agar terjadi dinamika demokrasi yang sehat.

 Jika sipil (cultural policy) absen dalam kehidupan politik, penulis memprediksi tidak hanya KPK yang akan dilemahkan. Tetapi organisasi-organisasi sipil kerakyatan multi sektor juga akan diikat kaki dan tangannya untuk menjaga ruang demokrasi di Indonesia. Sehingga, akan menambah rentetan sejarah panjang praktik-praktik koruptif di Indonesia.

Rizaldi Ageng Wicaksono
Rizaldi Ageng Wicaksono
Mahasiswa S-1 Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.