Minggu, November 24, 2024

Pelayanan Publik 2018-2019: Humanis atau Teknoratis?

M. Rizki Pratama
M. Rizki Pratamahttp://pratamarizkim.wordpress.com
Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
- Advertisement -

Relasi politik pilkada dan pilpres akan semakin realistis ketika timing keduanya berdekatan. Beberapa analisis politik menunjukkan bahwa siapa yang menguasai pilkada 2018 otomatis naik panggung pada 2019. Akan tetapi sejauh ini belum terlihat usaha sistematis untuk melihat komoditas macam apa yang akan diumbar kepada rakyat.

Misalkan pelayanan publik kongkrit seperti apa yang harus diprogramkan sebagai isu-isu politik untuk menjaring massa pendukung. Apa sebenarnya prioritas politik pelayanan publik saat ini juga sama sekali belum terlihat kongkrit justru yang hadir malah jargon “anti-asing” bukannya merumuskan politik pendidikan, kesehatan bahkan reformasi pelayanan publik.

Isu tersebut penting karena negara kesejahteraan lain bahkan sudah mampu merealisasikan perguruan tinggi bebas biaya, fasilitas publik yang ramah bagi kaum miskin dan difabel, pendidikan tanpa perbedaan kualitas, jam kerja buruh yang masuk akal, pelibatan buruh dalam manajemen, asuransi kesehatan bebas biaya, dan lain-lain.

Ingat bahwa pelayanan publik berkontribusi signifikan dalam memerangi kemiskinan dan ketimpangan. Sayangnya, berdasar pengalaman beberapa tahun belakangan seperti Pilpres 2014 dan Pilkada 2017 telah menunjukkan kurang eksploratifnya para calon dalam menggali program yang tepat untuk menuju kesejahteraan bersama, payahnya lubang tersebut juga menunjukkan bahwa demokrasi politik ternyata tidak menyentuh pelayanan publik, pelayanan publik kita kurang demokratis dan seperti ada pembiaran sistematis karena dianggap tidak penting.

Kita harus terus belajar karena kerja pemerintahan tidaklah terjadi tiba-tiba, perlu perencanaan matang dari awal, dari ide besar hingga implementasi kongkritnya. Pelayanan publik harus berawal dari ide besar politik yang akan mengusungnya bukan sebaliknya politik mengesampingkan pelayanan publik atau bahkan mengeksploitasinya sebagai komoditas sekunder politik ketika kampanye yang kemudian terlupakan. Kita lihat Jokowi-JK 2014 mampu membuat program rencana kerja untuk pelayanan publik hingga detail misalkan implementasi citizen charter secara masif akan tetapi kini tidak terdengar gaungnya terlindas isu lain.

Sedangkan Anies-Sandi 2017 pun mencoba mendemokratisasi pelayanan publik dengan berbagai dialog sebagai ide besar namun minim rencana aksi konkritnya hingga kini seperti kebingungan melakukan apa untuk pelayanan publik. Kita juga telah mempunyai UU No. 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik yang sudah seharusnya kembali diperbarui karena pelayanan publik secara global dan nasional telah berubah. UU tersebut juga kurang mengakomodasi pelayanan publik yang lebih inklusif, partisipatif dan berbasis daring. Akan tetapi tetap saja, isu perubahan UU tersebut belum dianggap penting oleh para elit politik.

Humanis dan Teknokratis 

Publik sebaiknya tidak tertipu dengan berusaha kritis dalam menghadapi kampanye politik terutama untuk program-program pelayanan publik. Secara sederhana ketika tidak ada program baru tinggalkan dan kritiklah calon dan partai tersebut. Lebih jauh lagi maka publik harus dapat melihat dua sisi dari program yaitu sisi humanis dan teknokratis. Keduanya harus hadir jika publik mengharapkan perubahan masif dalam sistem pelayanan publik kita.

Visinya pun harus jelas misalkan seperti pelayanan kesehatan gratis untuk semua dan juga pendidikan gratis untuk semua. Pertama sisi humanis berarti mengambil fundamental pelayanan publik dari sisi kemanusiaan dan demokrasi. Praktiknya setiap pelayanan publik harus merupakan hasil konsensus dengan meniadakan aspek kapital sebagai orientasi. Manusia harus berada di atas uang, tidak ada lagi yang tidak punya uang ditinggalkan dalam pelayanan publik.

Semua orang bisa sekolah dan berobat. Pelayanan publik bukan bisnis karena bisnis memang gagal memberikan pelayanan publik seperti pengalaman beberapa negara di Eropa, Amerika Selatan, dan Asia yang mulai menarik kembali privatisasinya untuk menjadi urusan pemerintah (Transnational Institute, 2017). Kedua sisi teknoratis berarti penerjemahan produk-produk politik pelayanan publik yang konkrit harus disertai tata cara metode yang sesuai pula bahkan seharusnya metode baru sesuai dengan perkembangan era.

Nyata dalam hari-hari ini sektor bisnis dengan cepat melayani orang banyak melalui disrupsi start up, lalu di mana pelayanan publik yang terdisrupsi? Kita jelas membutuhkan banyak sekali start up untuk pelayanan publik. Memang pemerintah sejauh ini berhasil menelurkan berbagai inovasi pelayanan publik, namun inovasi bukan hanya inovasi in house akan tetapi juga inovasi publik dan governance yang benar-benar melibatkan akar rumput.

- Advertisement -

Metode desain pelayanan publik juga harus dipikirkan, seperti menggunakan service blueprinting tidak hanya citizen charter atau penerapan design thinking yang jelas pasalnya seringkali kita lihat tidak jelas mana pintu masuk pelayanan publik di rumah sakit sampai keluruhan karena memang tidak pernah dipikirkan.

Masuknya pendekatan ekonomi perilaku juga harus dieksploitasi dengan jelas seperti melakukan nugde pada masyarakat yang belum rajin membayar iuran rutin BPJS atau persoalan-persoalan lain yang belum di-endorse aspek perilakunya.

Catatan Masa Depan   

Perpaduan dua sisi humanis dan teknoratis seharusnya membawa dampak baru pada strategi politik dalam penyusunan program yang baru dan benar-benar untuk publik pada 2018-2019. Tidak kembali mengulang visi tidak jelas dan misi yang terlalu abstrak.

Penyusunan janji-janji kampanye harus praktis dan kongkrit. Publik tinggal melihat di awal kampanye dan kemudian menagih berbagai janji, bukan hanya proaktif di masa awal kampanye kemudian berubah menjai pasif dan malah menjadi reaktif ketika isu-isu baru muncul padahal kewajiban publiklah untuk bersama-sama menjaga implementasi janji-janji kampanye bukan baru memaki ketika terjadi perubahan.

Untuk yang menang tentu keterbukaan dan dialog yang persisten harus dilakukan, bukan hanya janji bahkan para pemenang kebanyakan menyalahkan generasi sebelumnya padahal janji pemenang adalah dialog, yang beda hanya pimpinan daerah misalnya, aparat birokrasinya pun masih sama, pengendali mesin akan waras jika pimpinannya waras pula. Pertempuran politik 2017-2018 jelas akan membawa isu-isu di atas tinggal bagaimana publik menyikapinya.

M. Rizki Pratama
M. Rizki Pratamahttp://pratamarizkim.wordpress.com
Tenaga Pengajar Prodi Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.