Sudah sejak ribuan tahun yang lalu kita meninggalkan pola dan cara-cara hidup purba. Kita tak lagi nomaden, tidak lagi berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain menuruti cuaca dan ketersediaan makanan. Kita, pendeknya, telah lama tak lagi menjadi manusia pemburu-pengumpul.
Perlahan namun pasti, kita juga tak lagi sibuk mendomestikasikan hewan dan tumbuhan—bahan baku makanan kita—karena semuanya bisa kita dapatkan hanya dengan menyentuh layar telepon pintar dari kamar sambil tidur-tiduran. Pertanian dan peternakan memang tetap ada dan akan terus ada, namun mereka tinggal sebagai komoditas dan bukannya metode bertahan hidup, dan sejak saat itu pulalah politik dagang lahir.
Bagaimana mungkin mempertahankan kepurbaan itu sementara apa-apa yang lebih modern, seperti menulis keterangan di karcis, menenun pakaian, atau mengantarkan surat ke kantor pos, pun sudah kita tinggalkan?
Kita telah melesat jauh meninggalkan pola dan cara-cara kuno itu, untuk kemudian menahbiskan diri sebagai homo sapiens “yang lebih beradab”. Dengan kemampuan berimajinasi yang tak dipunyai makhluk hidup lain, kita menciptakan sistem-sistem, norma-moral, keyakinan-keyakinan, adat-istiadat, teknologi, dan pelbagai alat lainnya dengan maksud memudahkan hidup kita.
Dengan itu semua kita kemudian membangun bermacam-macam institusi, termasuk di antaranya sekolah, dengan model dan perangkat pembelajaran yang diandaikan paling ideal untuk diaplikasikan di atas bumi ini. Berbagai macam ilmu pengetahuan kita pelajari di sana.
Kita bisa tahu tentang jarak bumi ke bulan, tentang penemuan mesin uap, tentang zat kimiawi yang bisa mengubah racun menjadi obat, tentang sosok-sosok heroik di masa lalu, tentang ribuan kosakata dan tata bahasa asing yang dibakukan sebagai bahasa internasional, dan banyak lagi. Ringkasnya, ada banyak hal yang jauh dari jangkauan kita yang bisa kita ketahui berkat sekolah.
Tetapi, dalam gegas menuju apa yang kita anggap sebagai kemajuan itu, kita kerap tak menyadari bahwa sesungguhnya kita selamanya akan tetap “purba”: makan, kawin, beranak-pinak, dan saling bersaing untuk bertahan hidup—untuk tidak menyebut saling membunuh.
Dalam “kepurbaan” yang inheren itu kita semakin kehilangan modal penting yang semestinya kita miliki–yang dalam kaitannya dengan pendidikan yakni kemampuan dan pengetahuan tentang alam, terutama apa-apa yang berada di sekeliling kita–untuk “bertahan hidup”.
Ya, kata kuncinya adalah bertahan hidup. Dalam kemodernan (beserta segala kecanggihannya) maupun dalam kepurbaan, tujuan kita belajar intinya adalah demi bertahan hidup, demi persaingan, demi prinsip survival of the fittest. Namun justru, dalam konteks bertahan hidup itu saya kira kemodernan dan kepurbaan adalah dua hal yang–semestinya–tak terpisahkan.
Di bawah kondisi tak sadar tadi kita melupakan—nyaris sama sekali—cara berburu dan cara membuat api dengan bantuan sinar matahari, misalnya. Di saat yang sama, sebagian besar kita memandang orang-orang yang masih menjalankan pola-pola hidup purba itu dengan tatapan merendahkan, menganggapnya aneh atau—paling banter—unik dan lucu.
Saya kira sistem pendidikan, setidaknya yang diterapkan di Indonesia, tidak jauh-jauh dari ketaksadaran semacam itu. Dari situ kita bisa paham, mengapa anak-anak kita, bahkan juga teman-teman kita yang kini sudah bergelar sarjana, tidak mengenal tumbuhan dan hewan-hewan yang ada di sekitar lingkungan tempat mereka tinggal.
Setiap hari mereka memapasi tumbuhan dan hewan-hewan itu tanpa merasa perlu mengetahuinya, karena semuanya memang tidak pernah dianggap sebagai pelajaran oleh sistem pendidikan yang ada.
Suatu hari, seorang keponakan saya yang duduk di bangku kelas IV SD, meminta pertolongan saya untuk mengupaskan rambutannya. Dari ibunya saya tahu bahwa keponakan saya itu tidak tahu cara mengupas rambutan.
Bagi saya itu sungguh celaka. Sama celakanya dengan seorang perempuan bersuami yang tak pandai mengupas salak (benar atau tidaknya dia tak pandai mengupas salak tidak penting. Untuk apa yang hendak saya sampaikan dalam tulisan ini, anggaplah dia memang benar-benar tak bisa mengupas salak).
Saya membayangkan, seandainya orang macam ini dicampakkan ke hutan bersama beberapa orang lain yang fasih soal tumbuh-tumbuhan, saya pikir dialah yang lebih dulu akan mati (tentu perkiraan ini bisa meleset oleh sebab faktor-faktor lain, dan karenanya pengandaian ini hanya bersifat olok-olok).
Mengaitkan fenomena orang yang tak pandai mengupas salak dengan sistem pendidikan yang tak beres barangkali terdengar tidak nyambung. Namun dalam pikiran saya, keduanya berkelindan sebagai bagian dari hukum sebab-akibat.
Karena sekolah tempat orang itu menimba ilmu tak pernah mengajarkannya cara mengupas salak (sebab), maka dia menjadi tak pandai mengupas salak (akibat). Menyalahkan orang tua dan gaya hidup yang bersangkutan? Oh, itu hal lain dan tentu bisa dibahas di tempat lain.
Apakah hal seperti ini ditanggapi secara serius? Sayangnya, tidak. Orang-orang hanya tahu menertawakan, mengejek, atau mengumpat, tanpa merenungkan mengapa hal demikian bisa terjadi. Pembuat kebijakan sekalipun juga tidak.
Tak pandai mengupas salak, tak tahu cara membelah durian, tak tahu kalau ciplukan yang banyak tumbuh di sawah itu enak rasanya, tak tahu kalau buah yang kulitnya bercangkang seperti telur yang merambat di semak-semak itu bernama gambutan dan rasanya manis seperti markisa, atau tak tahu cara membedakan jenis-jenis mangga yang tumbuh di sekitar lingkungan tempat tinggal, pada dasarnya adalah senapas.
Hal-hal “tak penting” ini hendaknya tidak ditanggapi sebagai sekadar soal pengetahuan tentang buah-buahan atau tumbuhan belaka. Jangan. Ini adalah tentang bagaimana kita, utamanya anak-anak kita, belajar mengenal hal-hal yang dekat dengan keseharian kita. Tahu cara mengupas buah hanyalah satu hal, dan itu bisa menjadi “pintu masuk ingin tahu” bagi anak kita untuk memperoleh pengetahuan yang lebih kaya.
Lewat “pintu masuk ingin tahu” itu anak kita akan belajar tentang bagaimana menikmati buah-buah tersebut, mengenali ciri-cirinya, mempelajari aromanya, membedakan kualitasnya yang baik dan yang buruk, dan belajar merasakan sensasi memakannya.
Berikutnya mereka akan (mencari) tahu bagaimana cara perkembangbiakannya, pola berbuahnya, hubungan antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lain, memeriksa kemiripan dan perbedaannya, sebelum kemudian mempelajari anatomi biologisnya.
Prinsip pembelajaran seperti ini, saya ragu bakal diadakan di sekolah-sekolah. Sebab di sekolah, yang lebih penting adalah tahu dan hafal tentang kingdom, filum, kelas, dan nama latin buah-buahan, ketimbang tahu, misalnya, membedakan mangga arum manis dan lokmai yang tumbuh di pekarangan rumah sendiri.
Seorang menteri pendidikan dengan otak bisnis yang gilang-gemilang mungkin tak akan menganggap hal ini sebagai persoalan yang perlu dievaluasi secara serius. Kalaupun kemudian dia merasa harus bertindak, yang dilakukannya barangkali adalah menyediakan layanan jasa berbasis aplikasi dengan nama ‘Go-Kupas Buah’, dan orang-orang akan menyambutnya dengan gegap-gempita dan menjadikannya tolok ukur pencapaian intelektualitas