Rabu, Oktober 16, 2024

Pelajaran dari Ratna Sarumpaet

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.

Kebohongan aktivis perempuan yang dikenal galak dan garang terhadap pemerintahan Jokowi, Ratna Sarumpaet, beberapa hari yang lalu telah menghebohkan seluruh penduduk negeri ini. Dia mengaku korban pemukulan dan pengeroyokan orang yang tak dikenal di Kota Bandung. Nyatanya wajah lebamnya adalah musabab operasi plastik yang ia jalani (3/10/2018)

Tak tanggung-tanggung, korban kebohohongannya adalah capres-cawapres nomor urut satu, selain elit politik lainnya, sekelas Fadli Zon, Amien Rais, Rizal Ramli dan lain-lain. Tragisnya, mereka selain menjadi korban, juga ikut menyebarluaskan kabar bohong (hoaks) tersebut kepada publik.

Ratusan juta orang Indonesia, di seluruh pelosok negeri, kini tengah sibuk memproduksi komentar, argumentasi balik, untuk melawan logika rival kelompoknya yang berseberangan. Saling nyinyir, sindir, serang, tuduh dan fitnah menjadi tontonan sehari-hari seolah anyir darah yang menjijikan tengah mengepung jejaring sosial.

Kata-kata yang keluar dari setiap mulut mereka, yang kemudian direpresentasikan dalam dinding facebook, tweeter, meme instagram, dan sejenisnya, tak lagi mencerminkan bahwa kita adalah satu bangsa yang senasib sepenanggungan. Kita telah menjadi “homo homini lupus”. Manusia adalah serigala bagi yang sesamanyaYang berbeda denganku adalah musuh yang harus dihabisi, jika tidak, ia akan menghabisiku”. Demikian kesimpulan sederhananya.

Mencurigai atau dicurigai, mengancam atau diancam, melempar atau akan dilempar dan seterusnya. Bangsa ini, tak mampu (lagi) merumuskan persoalan dan tak kuasa menundukkannya dalam tempat yang benar. Kondisi demikian, menurut filosof muda, Alexander A. Apelaby (2016)  dapat menyebabkan neurosis kolektif  yakni sakit jiwa massal.

Penyebabnya, tak lain adalah kita yang tak sadar dan tak paham bahwa kita hidup di alam yang yang kompleks, di negeri yang majemuk. Kemajemukan adalah sebuah keniscayaan, memahami keniscayaan berarti memahami perbedaan yang ada serta bersikap toleran terhadap sesama.

Tetapi kini, perbedaan dianggap sebagai ancaman yang menghadang. Cara jitu menghadapi perbedaan adalah dengan dialog dan toleransi, bukan dengan menyebar fitnah dan kabar bohong (hoaks)

Di negeri ini, siapapun bisa berkomentar apapun. Kata dan kalimat berseliweran setiap detik, terlepas positif maupun negatif. Jangan tanya sumbernya valid atau invalid, fiksi atau nonfiksi, bisa dipertanggungjawabkan atau tidak, melanggar kode etik atau tidak. Semua kriteria tersebut tidak terlalu penting, yang terpenting adalah pesannya sampai ke pembaca.

Naifnya lagi, pembacanya juga sangat mudah terprovokasi. Gizi bacaannya buruk, pemahamannya rendah dan rapuh, sangat reaktif dan celakanya tipe pembebek. Sejatinya, setiap informasi yang didapat ia rasa, cerna, olah dan seleksi sebelum kemudian ia telan.

Negeri dan bangsa ini sedang sakit, bahkan akut. Ini adalah fakta yang tak terbantahkan. Realitas tak bisa dibohongi atau dibikin pura-pura. Terkuras habis energi bangsa ini dipakai untuk membenci, mencaci dan memfitnah sesama anak bangsa dengan menyebar hoaks di media dan jejaring sosial.

Seluruh informasi tak disaring dan tak dikonfirmasi terlebih dahulu. Semua pihak saling melapor. Semua persoalan diumbar, aib seseorang ditelanjangi di ruang publik. Jauh dari kata beradab. Rupanya kedewasaan bangsa ini harus terus diasah dan diuji setiap waktu.

Jika dikerucutkan kondisi yang saya potret di atas, setidaknya ada dua kelompok domain yang sedang berjuang menguatkan logika dan opini masing-masing. Keduanya sedang mencari dukungan dan pembenaran pihak luar. Tahun politik kini mulai memanas, ia kian terasa sengit pertarungannya.

Segala daya dan upaya dikerahkan untuk menarik massa sebagai supporter. Semakin banyak didukung supporter maka ia menganggap dirinya benar, yang lain, otomatis, salah dan kalah. Padahal belum tentu demikian rumusnya. Kebenaran itu tidak bisa diukur oleh kuantitas supporter, kebenaran adalah fakta telanjang yang berdiri sendiri apa adanya.

Dua kelompok pendukung capres-cawapres 2019 tersebut seolah ingin terlihat menjadi tim sukses yang loyal dan berintegritas membela jagoannya masing-masing. Kedua kubu berjuang hingga tetes darah terakhir untuk tuannya. Keduanya sudah mempertimbangkan konsekuensi dan risiko yang akan diterima. Selain akan mendapat sanjungan dan pujian, jika menang, mereka juga akan mendapat bagian “kue lezat” atas perjuangan yang dilakoni. Lumrahnya demikian bargaining politik.

Pesan suci Allah SWT. dalam kitab suci serta sabda rasul terkait kabar berita bohong (hoaks) hendaknya dibaca, dikaji dan sosialisasikan kembali kepada publik. “Jika datang kepada kalian sebuah berita dari orang fasik, maka konfirmasilah terlebih dahulu agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Demikian pesan Allah SWT. dalam QS. Al-Hujuraat : 6.

Tengok kembali sabda Nabi : “Cukuplah seseorang dikatakan sebagai pendusta apabila dia mengatakan semua yang didengar.” (HR. Muslim No. 7). Seringkali,  kita tanpa berpikir panjang langsung menyebarkan (share) semua berita dan informasi yang kita terima, tanpa terlebih dahulu mau meneliti kesahihannya.

Dalam konteks berita yang diproduksi Ratna Sarumpaet, ia laris manis terjual habis dikonsumsi para koleganya. Bahkan, teman-teman satu timnya memakai produk tersebut sebagai senjata ampuh untuk melemahkan rival politiknya.

Setiap individu sejatinya yang menyuguhkan berita yang kualitas tinggi, warta yang sebelumnya sudah disaring dan dikonfirmasi kesahihannya. Ratna Sarumpaet telah gagal menjadi aktivis perempuan terpercaya, yang membela kaum miskin kota, di akhir karirnya, gara-gara hoaks yang ia produksi sendiri.

Kini publik menilai apa yang ia perjuangkan dahulu, di era orde baru hingga era kini, berjuang membela rakyat kecil miskin dan terpinggirkan dianggap sebagai sebuah kebohongan belaka untuk menutupi hasrat dan syahwat kekuasaan yang ingin dia raih. Ada udang di balik batu, istilah tepat untuk perjuangannya dahulu dan kini.

Marilah kita berkaca pada kasus Ratna Sarumpaet. Seorang agamawan harus jujur dalam berdakwah, dia jangan sekali-kali menyebar dakwah yang justru meresahkan objek dakwahnya dengan menyulap atau memanipulasi tafsir kitab suci.

Politisi pun demikian, dia jangan pernah mengelabui konstituennya dengan janji-janji manis tapi palsu. Dia juga jangan sekali-kali membohongi dan mengkhianati aspirasi pemilihnya. Begitu juga capres dan cawapres yang sedang berkontestasi, jangan pernah memprovokasi tim suksesnya dengan berita-berita hoaks yang justru akan merugikan pihaknya sendiri.

Kegaduhan informasi di negeri ini semestinya berhenti di sini. Energi yang tersisa hendaklah dipakai untuk membangun negeri lebih aman dan damai, jauh dari provokasi, fitnah dan perpecahan. Wujudkan pilpres 2019 yang damai, pilpres yang bebas dari hoaks yang tak berfaidah sama sekali. Jangan sekali-kali mau diadu domba atau mengadu domba. Jadikan Pancasila sebagai perekat dan pemersatu bangsa di tengah keporak- porandaan yang tak kita inginkan. Cukuplah Ratna Sarumpaet sebagai pelajaran bagi bangsa ini!

Iip Rifai
Iip Rifai
Penulis Buku "Persoalan Kita Belum Selesai, 2021"| Alumnus : ICAS Paramadina University, SPK VI CRCS UGM Yogyakarta, Pascasarjana UIN SMH Banten, Sekolah Demokrasi Serang 2014.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.