Deklarasi bersama dari para pemuka agama Kristiani ihwal krisis iklim yang kini sedang melanda dunia cukup menggembirakan. Sebab dalam deklarasi yang baru pertama kali dalam sejarah ini, Paus Fransiskus dari Gereja Katolik Roma, Patriark Ekumenis Bartholomew dari Spiritual Gereja Ortodoks, dan Uskup Agung Canterbury, Justin Welby, dari Persekutuan Anglikan mengeluarkan peringatan bersama tentang dunia yang sedang menghadapi saat kritis karena krisis iklim mengancam masa depan bumi. Dengan demikian, deklarasi ini menjadi pelajaran penting dan menentukan bahwa beragam masalah duniawi juga merupakan tanggungjawab dari kaum agamawan untuk terlibat dan mengambil bagian sebagai pemain alias bukan sekadar hanya menjadi penonton belaka.
Pelajaran yang enam tahun silam telah digaungkan oleh Paus Fransiskus dalam ensiklik berjudul Laudato Si menegaskan tentang krisis lingkungan hidup yang kian masif dan perlu untuk segera ditangani secara serentak. Dengan kata lain, diperlukan suatu “pertobatan”, atau pembalikan cara pandang dan aksi yang lebih dari sekadar pengajaran untuk menyatu dengan alam. Penyatuan ini merupakan keutuhan dari lima elemen yang menjadi bagian dari bumi, yaitu tanah, air, angin, api, dan eter. Keutuhan itulah yang mampu menjadi penyangga atau penopang dari keseimbangan alam.
Penting untuk dicatat bahwa alam selalu memperbaharui dirinya dalam suatu proses yang tidak pernah sekali jadi. Artinya, diperlukan waktu yang tidak sebentar untuk misalnya, menghijaukan kembali hutan yang sudah ditebang pohonnya untuk dijadikan kayu sebagai bahan pembuat rumah. Begitu pula dengan penggalian atau eksplorasi berbagai mineral, seperti batu bara, nikel, minyak dan gas bumi, tidak dapat diperbaharui secepat kilat tanpa melalui proses alami yang berlangsung selama ratusan tahun lamanya.
Itulah mengapa dampak dari ekplorasi alam seperti itu perlu untuk dipertimbangkan dengan jeli dan waspada agar tidak sekadar menjadi lahan eksploitasi. Sebab akibat dari eksploitasi cukup jelas adalah kerusakan alam yang tidak terjadi pada saat ekplorasi dikerjakan, namun justru pada waktu yang tak terduga dan tak disadari.
Maka, ungkapan dari Mahatma Gandhi yang berbunyi: “bumi ini cukup untuk tujuh generasi, namun tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah” menjadi dering peringatan yang sedemikian kritis. Sebab jeritan atau tangisan bumi, sebagaimana tertuang dalam deklarasi di atas, nyaris tak terdengar lagi. Bahkan meski sudah diperingatkan dengan beragam tanda ilmiah sekalipun, tetap saja eksploitasi terhadap alam terus-menerus dikerjakan demi memuaskan hasrat atau kepentingan ekonomi segelintir pihak saja.
Tak heran, jika saat ini terjadi berbagai krisis iklim yang begitu dahsyat, seperti gempa di Haiti, badai Ida di Amerika Serikat, banjir bandang di Cina, atau hujan es di Arab Saudi. Sementara di Indonesia, gempa yang terus-menerus terjadi dengan kekuatan sedang hingga kecil membentang dari barat hingga timur, khususnya di laut selatan atau Samudera Indonesia. Dan tragisnya, segenap krisis ini berlangsung di tengah pandemi yang masih merajalela dengan kemunculan beragam varian baru dari Covid-19.
Dalam wawancaranya dengan antropolog James T. Siegel tentang tsunami di Aceh pada 17 tahun yang lalu, Joshua Barker dan Vicente Rafael mencatat bahwa bukan tsunami yang sesungguhnya ditakutkan oleh warga di sana, melainkan apa saja yang dihanyutkan oleh luapan air laut di dalam kota. Itu artinya, orang-orang Aceh yang sudah akrab dengan air laut tentu tidak terlalu terkejut dengan gelombang air laut sedahsyat apapun. Namun, yang justru mengagetkan adalah apa saja yang dibawa oleh arus dari tsunami yang justru mengambil nyawa sebagian besar orang saat diterjang gelombang besar itu. Itulah yang disebut “sampah” dari tsunami yang telah membuat kota Aceh hancur berantakan dan meninggalkan beban tak tertanggungkan.
“Sampah” itu (objects) menjadi ingatan yang amat membebani (objections) warga kota Aceh lantaran telah merusak, bahkan membunuh, apapun yang dilaluinya. Inilah dampak dari pembangunan tata ruang kota, khususnya di kawasan pesisir atau pantai, yang terlalu berorientasi pada pariwisata. Hal ini berakibat pada pendirian bangunan yang dimanfaatkan untuk penginapan para wisatawan misalnya, yang hanya bersifat sementara. Itulah mengapa ketika gelombang air menyapu kawasan wisatawan itu segala bangunan yang didirikan secara temporal pun dengan mudah hanyut terbawa arus. Padahal arus yang sudah dipadati dengan beragam “sampah” itu semakin merusak dan memporak-porandakan segala sesuatu yang dilaluinya.
Apalagi saat memasuki kota yang sudah sedemikian padat dengan pemukiman, arus pun semakin menjadi liar dan tak terkendali melalui setiap jalan yang sempit dan tak beraturan. Maka tak heran jika semakin masuk ke dalam kota, arus air semakin tak terbendung dan menggenangi, bahkan menenggelamkan, apapun yang dilewatinya. Inilah yang menjadi peristiwa yang tak terduga dan tak terbayangkan sebelumnya.
Jadi, apa yang ditunjuk sebagai krisis iklim itu sesungguhnya adalah kejadian alam yang seolah-olah belum pernah dialami oleh siapapun. Padahal sejarah mencatat bahwa tsunami yang pernah terjadi di sepanjang pantai selatan dari Pulau Jawa, seperti Pacitan, sungguh tak kalah dahsyatnya. Karena itulah, sejak awal BMKG (Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika) telah memberi peringatan akan potensi dari tsunami ini. Peringatan yang bukan sekadar ramalan ini agaknya layak untuk diperhatikan dengan lebih jeli dan waspada. Sebab dalam sejarah sedikit sekali yang dapat selamat, apalagi diselamatkan, dari tsunami ini.
Keselamatan warga dari segala akibat yang ditimbulkan oleh krisis iklim ini memang menjadi tanggungjawab bersama. Namun, tak dapat diabaikan bahwa pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, adalah pihak yang dituntut untuk segera dapat beraksi dalam menanggulangi krisis iklim ini. Bagaimanapun juga seperti ditegaskan dalam deklarasi di atas bahwa jeritan bumi adalah juga jeritan orang-orang miskin di dunia yang patut untuk didengarkan dan disuarakan.