Bank Indonesia tengah mempersiapkan peluncuran Payment ID, identitas finansial nasional berbasis NIK, sebagai komponen utama dalam blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025–2030. Payment ID dirancang untuk menjadi tulang punggung integrasi profil keuangan individu, menggabungkan data transaksi rekening bank, dompet digital, pinjaman daring, hingga riwayat transaksi berisiko dalam satu identitas digital tunggal. Tujuan sistem ini adalah mendorong efisiensi fiskal dan memperkuat credit scoring terutama bagi kelompok yang selama ini tidak terjangkau sistem formal.
Dalam konteks digitalisasi keuangan nasional, data empiris memperlihatkan bahwa transisi dari tunai menjadi digital telah membawa dampak signifikan. QRIS (Quick Response Code Indonesia Standard) yang diluncurkan tahun 2019 telah mencapai 57 juta pengguna dan 39,3 juta merchant pada kuartal II 2025, dengan nilai transaksi mencapai Rp 317 triliun (YoY +121 %), dan volume transaksi mencapai 6,1 miliar sebagian besar dioperasikan melalui segmen UMKM. Sekitar 92 % merchant QRIS berstatus UMKM . Studi Bank Dunia menunjukkan bahwa digitalisasi seperti ini bisa menurunkan biaya transaksi antara 20 % hingga 66 % di negara berkembang, sekaligus meningkatkan inklusi dan menekan praktik informal ekonomi .
Namun, implementasi Payment ID menimbulkan beberapa tantangan signifikan yang perlu menjadi perhatian pemerintah. Survei FICO mencatat bahwa 36 % warga Indonesia sangat khawatir tentang pencurian identitas, dan 64 % pernah menerima komunikasi penipuan terkait pembayaran waktu nyata (real-time).
Di saat yang sama, analisis Reddit dan laporan lokal mengungkap bahwa walaupun QRIS telah tersebar di banyak kota, adopsi aktif UMKM masih rendah, dengan rata-rata hanya tiga transaksi per bulan indikasi literasi dan nilai tambah yang dangkal . Infrastruktur internet di sejumlah daerah juga tidak merata HIPPI melaporkan sekitar 40 % UMKM di luar Jawa belum sepenuhnya mengadopsi QRIS karena keterbatasan jaringan dan pemahaman teknologi .
Secara konseptual, dua pendekatan teoritik menawarkan kritik konstruktif: teori governmentality (Foucault) dan surveillance capitalism (Zuboff). Melalui kacamata governmentality, Payment ID bukan sekadar identifikasi teknis, melainkan instrumen pengelolaan populasi finansial: regulasi yang memungkinkan negara mengklasifikasi warga berdasarkan perilaku ekonomi. Setiap individu menjadi subjek yang transparan dan bisa dimonitor kapan, di mana, dan bagaimana mereka bertransaksi.
Sedangkan dalam perspektif surveillance capitalism, Payment ID dapat menjadi ladang eksploitasi data perilaku individu. Setiap transaksi digital menjadi potensi komodifikasi: profil transaksi, riwayat pinjaman, bahkan kebiasaan konsumsi, bisa dimonetisasi tanpa persetujuan eksplisit penggunanya. Data tidak lagi hanya digunakan untuk inklusi keuangan, tetapi juga untuk prediksi, klasifikasi, dan kontrol ekonomi berbasis algoritma dengan risiko diskriminasi tersembunyi terhadap kelompok tertentu.
Risiko pembangunan function creep juga nyata: data Payment ID mungkin digunakan bukan hanya untuk penyaluran bansos atau akses kredit, tetapi juga sebagai dasar pemblokiran, pengawasan, atau verifikasi layak tidaknya warga menerima manfaat publik. Penjelasan BI bahwa Payment ID hanya untuk analisis internal bukan penentu keputusan eksternal membutuhkan “firewall hukum dan audit independen” agar tidak terjadi penyalahgunaan .
Payment ID berpotensi memperkuat risk scoring dan peringatan dini terhadap ketergantungan pinjaman digital. Namun, penelitian Yue dkk. menunjukkan bahwa akses kredit digital dapat meningkatkan risiko over-indebtedness, terutama bagi rumah tangga rentan. Payment ID yang menggabungkan histori pinjaman bisa menjadi basis eksklusi kredit terhadap individu dengan konsumsi tidak produktif, bukan rendahnya produktivitas riil.
Dari sisi keamanan, Payment ID sebagai sistem terpusat menjadi target utama serangan siber. Standar seperti ISO/IEC 27001, PCI‑DSS, enkripsi end‑to‑end, audit log, dan persetujuan eksplisit pengguna (informed consent) menjadi layak diterapkan. Regulasi Cyber Resilience Bank Indonesia No. 2/2024 memang sudah mewajibkan mitigasi siber bagi institusi keuangan, tetapi tingkat ancaman tetap tinggi, mengingat besarnya potensi data yang diintegrasikan .
Arah kebijakan Payment ID sebagai fondasi identitas finansial nasional meniscayakan tidak sekadar pendekatan teknokratis berbasis efisiensi sistemik, melainkan juga memerlukan perumusan ulang terhadap prinsip-prinsip keadilan, etika data, dan keberpihakan terhadap kelompok rentan dalam lanskap ekonomi digital. Di tengah kompleksitas arsitektur data yang kian terintegrasi, urgensi untuk membangun kerangka normatif yang melampaui logika “governance by numbers” menjadi keniscayaan.
Pertama, penguatan dimensi etik dalam arsitektur Payment ID menuntut adanya mekanisme persetujuan yang tidak hanya bersifat prosedural, melainkan substantif. Dalam hal ini, setiap individu harus dilibatkan secara sadar dan kritis dalam pengambilan keputusan atas penggunaan dan pendistribusian data keuangannya.
Persetujuan yang diberikan bukan semata hasil klik elektronik (‘opt-in’) yang bersifat administratif, tetapi hasil dari pemahaman yang utuh atas risiko, manfaat, dan ruang kontrol yang dimiliki individu atas data dirinya. Hal ini memerlukan pengembangan pendekatan literasi digital berbasis kesadaran kritis, yang tidak hanya mengajarkan cara menggunakan aplikasi, tetapi juga memperkenalkan dimensi politik dan etika dari ekonomi data.
Kedua, pemerataan akses terhadap infrastruktur dan kapabilitas digital harus ditransformasikan dari sekadar proyek pembangunan menjadi sebuah strategi pembebasan digital. Di banyak wilayah Indonesia, keterbatasan jaringan internet, keterbatasan perangkat, dan keterasingan terhadap bahasa teknologi menciptakan eksklusi digital yang sistemik.
Dalam konteks Payment ID, eksklusi tersebut dapat mengakibatkan penguatan hierarki baru antara warga negara yang “terdata secara digital” dan yang “tidak tampak secara algoritmik.” Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa Payment ID bukan hanya alat agregasi data fiskal, melainkan juga medium untuk memperluas kapasitas warga dalam berpartisipasi secara setara dalam ekosistem keuangan digital.
Ketiga, desain sistem pemeringkatan risiko (risk scoring) yang dibangun dari Payment ID harus didasarkan pada pendekatan epistemik yang adil yakni tidak hanya mendasarkan diri pada jejak digital kuantitatif semata, tetapi juga memperhitungkan konteks sosial-ekonomi, keragaman budaya konsumsi, serta ketimpangan akses terhadap sumber daya produktif.
Credit scoring yang terlalu deterministik dan bias digital akan menciptakan eksklusi baru terhadap kelompok masyarakat yang belum terhubung dengan ekosistem keuangan formal, sekaligus berpotensi mengabadikan stigma kemiskinan melalui algoritma. Dengan demikian, diperlukan mekanisme verifikasi ganda (double review) berbasis prinsip kehati-hatian dan empati sosial dalam setiap keputusan pembiayaan atau subsidi digital.
Keempat, manfaat fiskal dan efisiensi yang diperoleh negara dari digitalisasi sistem pembayaran tidak boleh berhenti sebagai surplus institusional semata, melainkan harus dikembalikan dalam bentuk kebijakan redistributif yang memihak kelompok termarjinalkan. Dalam hal ini, pendapatan dari optimalisasi sistem fiskal berbasis Payment ID perlu dialokasikan untuk memperluas insentif digital bagi UMKM, menyediakan pelatihan adaptif terhadap masyarakat di daerah terpencil, dan membentuk ekosistem inklusif berbasis inovasi sosial yang dikelola oleh komunitas. Prinsip “data untuk rakyat” harus menjadi etos dasar dari setiap kebijakan ekonomi digital nasional.
Terakhir, Payment ID sebagai infrastruktur digital nasional memerlukan rezim regulatif yang bersifat dinamis, partisipatif, dan tanggap terhadap risiko multidimensi. Evaluasi berkala tidak cukup dilakukan dalam kerangka audit kinerja internal semata, tetapi harus melibatkan pemantauan masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas digital yang memiliki kompetensi kritis terhadap dampak sistemik dari integrasi data finansial. Transparansi terhadap kebijakan algoritma, keterbukaan atas arsitektur teknologi, serta audit keamanan siber secara independen menjadi prasyarat mutlak untuk menjaga kepercayaan publik dan menghindari erosi legitimasi negara dalam ruang digital.
Dengan kerangka pemikiran tersebut, Payment ID dapat melampaui posisinya sebagai sekadar instrumen fiskal, dan menjadi fondasi bagi terbangunnya tatanan ekonomi digital yang berkeadaban yakni sistem yang mengintegrasikan efisiensi dengan keadilan, inovasi dengan perlindungan hak warga negara, serta data dengan empati sosial.