Tulisan ini seperti bernada pesimistis memotret pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun niat baik penulis tak lain dan tak bukan hanya memberikan sudut pandang bahwa boleh jadi kita sedang berada di ujung lorong kegagalan pemberantasan korupsi. Saat ini, beragam program antikorupsi di Indonesia telah diluncurkan, undang-undang dibuat dan direvisi, lembaga antirasuah dibentuk. Namun, harus kita akui sangat sedikit keberhasilan upaya pemberantasan korupsi. Korupsi bahkan lebih mengakar seiring dengan upaya untuk memeranginya. Pelemahan KPK saat ini jadi titik kulminasi.
Kegagalan program antikorupsi di Indonesia disebabkan kesalahan mendiagnosa masalah. Ibarat seorang dokter yang mengobati penyakit, tak akan sembuh bila salah diagnosis. Pendekatan dalam melihat problem korupsi di Indonesia lebih banyak dilihat dengan pendekatan agency. Tindakan-tindakan populis berupa OTT pada aktor koruptif nyatanya tidak membuat jera dan membuat korupsi berkurang.
Problem Diagnosis Wabah Korupsi
Fenomena ini pernah dipotret dengan cermat oleh Anne Persson, dkk (2010) dalam “The failure of Anti-Corruption Policies, A Theoretical Mischaracterization of the Problem”. Riset yang dilakukan di Kenya dan Uganda menunjukkan reformasi anti-korupsi kontemporer di Afrika sebagian besar telah gagal karena kesalahan identifikasi masalah pada korupsi sistemik.
Korupsi sistemik yang terjadi di Indonesia telah menjadi “tindakan kolektif”. Meski banyak individu secara moralitas menolak korupsi, sangat sedikit aktor yang berani mengungkap korupsi. Seringkali kita melihat di kementerian maupun pemerintahan daerah banyak sekali spanduk dan baliho “zona antikorupsi” ataupun “zona integritas”. Namun berapa jumlah aduan kasus korupsi di berbagai lembaga tersebut?. Apakah dengan zero aduan menunjukkan nihil kasus korupsi?.
Program antikorupsi di banyak negara umumnya menggunakan pendekatan “prinsipal-agent”. Pendekatan ini melihat perilaku koruptif terjadi karena keadaan yang tidak seimbang terkait informasi dan kepentingan antara agen (birokrat atau politisi) yang dianggap lebih menyukai perilaku koruptif dengan prinsipal (penguasa atau warga negara) yang dianggap mewujudkan kepentingan umum (Klitgaard 1988).
Penelitian Anne Persson terkait kebijakan antikorupsi di kedua negara Afrika tersebut lebih melihat korupsi sebagai masalah yang terkait dengan birokrasi dan pejabat (prinsipal-agent). Problem korupsi di negara tersebut seharusnya dapat juga dilihat dalam perpektif “collective action”. Dimana biaya (upaya) memerangi korupsi dalam jangka pendek lebih besar daripada keuntungannya.
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Perilaku koruptif menjadi tindakan yang diinginkan oleh para aktor pada sistem yang korup. Profit melakukan korupsi jauh lebih besar dibandingkan risiko hukuman yang didapatkan. Hal ini menguak gagalnya program antikorupsi karena hal yang mendasar yakni kesalahan identifikasi masalah. Lebih spesifik karena tidak melihat problem korupsi sebagai masalah “tindakan kolektif”.
Jalan Rasional Melawan Korupsi
Pendekatan rational choice melihat aktor individu yang rasional memiliki komitmen berkontribusi dalam bentuk perilaku kolektif. Seseorang dapat membuat keputusan rasional dalam situasi yang tidak menentu. Pendekatan dilakukan dengan logis dan empiris melalui analisa cost and benefit. Polanya adalah kepentingan individu – menghasilkan tindakan kolektif – menghasilkan barang kolektif (publik).
Dalam melihat korupsi, pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa semua aktor: penguasa, birokrat, dan warga negara – memiliki keinginan mendapatkan keuntungan untuk kepentingan pribadi. Namun hal ini tidak berarti bahwa semua aktor pastilah korup. Pendekatan tindakan kolektif adalah rasionalitas timbal balik – sangat bergantung pada harapan bersama tentang cara individu lain untuk bertindak (Ostrom 1998).
Banyaknya aktor yang berperilaku koruptif di lingkungan yang memandang korupsi adalah perilaku yang diinginkan akan berdampak nihilnya aktor yang mau mengambil peran memberantas korupsi. Seperti yang digambarkan peraih nobel Gunnar Myrdal tentang “keadaan lunak” di Asia. Menurut Myrdal aktor yang mementingkan diri sendiri (baik pejabat maupun warga negara biasa) akan beralasan “jika semua orang korup, mengapa saya tidak menjadi korup.”
Gagasan tentang sistem pemberantasan korupsi dengan membangun sinergitas koordinasi dan supervisi serta pengawasan antar sektoral. Dimana KPK menjadi pusat kendali pemberantasan korupsi menurut UU KPK 2019 tidak akan cukup efektif. Mengapa demikian?. Dalam lingkungan yang benar-benar korup, biaya yang harus dibayar untuk bersikap jujur menjadi sangat tinggi karena ini tidak akan mengubah permainan korupsi sistemtik (Della Porta & Vannucci, 1999). Alhasil orang akan terus memilih menjadi korup.
Larry Diamond (2007) pernah mengungkapkan: “Korupsi endemik bukanlah cacat yang dapat diperbaiki dengan perbaikan teknis atau dorongan politik. Ini adalah cara sistem bekerja dan tertanam kuat dalam norma dan harapan kehidupan politik dan sosial. Upaya mengurangi ke tingkat yang tidak terlalu merusak – membutuhkan perubahan revolusioner dalam institusi.”
Diperlukan upaya perbaikan institusionalisasi gerakan antikorupsi. Upaya memerangi korupsi harus memberikan manfaat yang lebih besar dibandingkan biaya (risiko) yang ditanggung. Perlu strategi bersama dengan memberi reward baik secara moril atau materiil bagi aktor-aktor pengungkap korupsi. Jika ini menjadi gerakan semesta di semua institusi dan dilakukan semua aktor serta dukungan political will pemimpin, akan menjadi langkah rasional memberantas korupsi.