Jumat, April 26, 2024

Partai Politik dan Eksistensi Kaum Muda (1)

Muh Taufiq Firdaus
Muh Taufiq Firdaus
Kabid Hikmah DPD IMM DIY// Pegiat Rumah Integritas//Maarif Institute

Partai Politik dan Demokrasi

Dalam sistem demokrasi yang dianut, salah satu proses yang perlu terjaga kesakralannya adalah proses kontestasi politik atau biasa disebut sebagai pemilihan umum. Dalam iklim demokrasi Indonesia, pemilihan umum menjadi primadona tersendiri oleh berbagai kalangan di masyarakat.

Bukan tanpa alasan oleh sebagian orang, pemilihan umum yang terjadi seperti pilpres, pileg atau pilkada bukan hanya soal ajang demokrasi belaka, tapi juga soal pertaruhan politik dan kekuasaan yang mentereng. Pemilu menjadi salah satu proses yang sah dalam menggulingkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaaan yang sah. Maka tak ayal apabila berbagai kalangan masyarakat menanti dan menunggu kontestasi empat tahun sekali tersebut. Ada yang menyambut antusias, namun tidak sedikit juga yang melihat hanya sebatas “omongan belaka” oleh bualan politikus.

Salah satu entitas yang terlibat dalam pemilu adalah partai politik. Partai politik menjadi salah satu kendaraan yang kerap menghiasi kepesertaan pemilu diberbagai level tingkatan. Sesungguhnya partai politik mempunyai peran yang sangat mulia pada kontestasi ini, mereka yang menyeleksi kandidat, mereka yang menghadirkan kandidat ke publik, mereka juga yang menjadi patron oleh masyarakat dalam memilih dan memberikan hak suaranya.

Peran tersebut menjadikan partai politik sebagai kendaraan oleh berbagai actor politik yang ingin berkontestasi. Sebagaimana yang disebutkan oleh Thomas Meyer (2012), partai politik berfungsi untuk mengagresikan kepentingan khalayak publik, mengarahkannya dan merancangnya dalam bentuk legislasi. Menurutnya Meyer, partai politik menjadi hal yang tak terpisahkan dalam sistem demokrasi. Meskipun sebenarnya, partai politik kerap tidak berfungsi secara demokratis.

Hal ini juga telah ditegaskan dalam Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik “organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita utnuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara kebutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Kehadiran partai politik dalam sistem demokrasi sendiri juga diharapkan mengambil peran dalam mendidik publik sehingga tidak menjadi apolitic. Meskipun realitasnya, publik menjadi apolitic juga karena tingkah laku pejabat publik dan partai politik yang mengkhianati kepercayaan masyarakat.

Problematika Partai Politik

Meskipun partai politik menjadi bagian yang sentral dalam sistem demokrasi, nampaknya kehadiran partai politik juga mengalami tantangan yang sangat besar dalam menarik simpati publik. Berdasarkan survey LSI tahun 2021, Partai politik sulit untuk mengidentifikasi dirinya dan berbaur kepada publik.

Tidak jarang publik justru acuh terhadap kehadiran partai politik tersebut. Sebagaimana yang dirilis oleh LSI, hanya 12%  masyarakat Indonesia yang mengetahui keberadaan dan aktivitas partai politik diluar kontestasi pemilu. Fakta ini justru membuka sekelumit problematika partai politik bahwa antara ide dan realitas politik kerap tidak bertemu. Keberadaan dan aktivitas partai politik hanya dirasakan tatkala kontestasi pemilu akan atau sedang berlangsung. Selain soal keberadaan partai politik yang dirasa semu, partai poltik juga kerap tidak menggunakan prinsip demokrasi dalam merekrut kandidat bakal calon. Beberapa justru mempunyai previllege dalam mendapatkan simpati partai politik.

Tindakan nepotisme dalam menjaring bakal calon justru mereduksi makna demokrasi. Adagium hukum “equality before the law” menjadikan semua warga negara mempunyai hak yang sama dengan tidak melihat latar belakangnya termasuk dalam urusan politik. Paling tidak, menurut riset Negara Institute (2019), sekitar 17,22% anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dinasti politik, karena mempunyai pertalian keluarga, pernikahan atau kombinasi keduanya. Seperti DPR, potret dinasti politik juga terpampang jelas pada konstestasi pilkada di beberapa daerah di Indonesia.

Contoh yang paling nyata adalah kontestasi Pilwalkot tahun 2020, yang menyita perhatian publik karena kuat dugaan adanya dinasti politik, yaitu Pilwalkot Solo yang dimenangkan Gibran Rakabumi (Putra Presiden Jokowi) dan Pilwalkot Medan yang juga berhasil dimenangkan Bobby Nasution (Menantu Presiden Jokowi). Meskipun Presiden Jokowi menampik adanya keterlibatan dalam pemenangan keduanya, fakta bahwa dia masih Presiden tidak bisa dinegasikan sebagai pejabat politik yang mempunyai pengaruh politik yang sangat luas.

Persoalan yang lain ialah partai politik tidak mampu membendung arus perilaku koruptif buat kader-kadernya yang terpilih secara struktual di lingkup eksekutif dan legislatif. Potret tindakan korupsi yang melibatkan sejumlah kader partai politik, semakin menegaskan disfungsi dari partai politik tersebut.

Mayoritas partai politik di Indonesia, paling tidak pernah terseret kasus akibat ulah dari kader-kadernya. Indonesia Corruption Watch (ICW), pernah merilis berita pada tahun 2019, bahwa ada 238 DPR periode 2014-2019 yang terlibat kasus korupsi. Partai Golkar menjadi partai teratas adanya keterlibatan korupsi dengan 52 kasus, diikuti oleh PDIP dan Demokrat yang masing-masing keduanya terlibat 34 kasus salama 5 tahun tersebut.

Muh Taufiq Firdaus
Muh Taufiq Firdaus
Kabid Hikmah DPD IMM DIY// Pegiat Rumah Integritas//Maarif Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.