“Tanpa disadari atau tidak, lambatnya kemajuan suatu negara karena dipengaruhi oleh politik praktis”
Terbentuknya Partai Mahasiswa Indonesia merupakan suatu hal yang memilukan dan memalukan dalam dunia pendidikan, tak hanya mahasiswa yang menyesali munculnya partai tersebut, namun akademisi juga menyanyangkan adanya partai yang mengatasnamakan mahasiswa. Kini mahasiswa tak lagi aktif dalam politk kampus sebagai miniatur terkecil dalam sebuah negara, namun juga berhasil membuat partai tersendiri meskipun hal tersebut dipandang tak sesuai dengan eksistensi mahasiswa sebagai agen perubahan.
Peran mahasiswa dalam upaya mengawal kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan masyarakat sejak dulu sangat berdampak positif terhadap masyarakat. Masyarakat memandang mahasiswa sebagai pengawal demokrasi yang bebas dari afiliasi politik manapun. Streotip keagungan mahasiswa seakan-akan sirna ketika terdaftarnya Partai Mahasiswa Indonesia sebagai partai politk di Kementerian Hukum dan HAM.
Partai Mahasiswa Indonesia yang berlokasi di Jalan Duren Tiga Raya Nomor 19D Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan dengan kode pos 12760 berada pada daftar ke 69 dari 75 partai politik yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM RI. Lambang partai tersebut ialah bidang bundar berwarna merah dengan gambar topi toga hitam dan terdapat simbol sayap di tengah. Partai dengan ketua umum Eko Pratama dan Mohamad Al-Hafiz sebagai Sekretaris Jenderal ini telah menyederai nama mahasiswa sebagai akademisi muda yang independen.
Difisit Gagasan
Keterlibatan mahasiswa dalam kontestasi politik sangatlah tidak tepat dan menyalahi statute universitas. universitas merupkan tempat kebebasan akademik. Karena itu, persoalan negara harus disikapi dengan gagasan ilmiah, bukan dengan cara ikut andil dalam politik praktis. Masuknya beberapa mahasiswa dalam partai politik tersebut merupakan ancaman besar terhadap keberlangsungan dunia pendidikan Indonesia.
Mahasiswa dan Perguruan tinggi dalam kedudukannya seharusnya lebih mengutamakan aktivitas tri dharmanya, yakni pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat. Di dalam pelaksanaan tri dharma itu perguruan tinggi (mahasiswa) harus melakukan aksi-aksi ilmiah, kerja-kerja akademik, dan juga hasil-hasil pemikiran yang dapat digunakan serta dinikmati oleh masyarakat. Pandangan-pandangan moral dan arahan untuk kebaikan penyelenggaraan negara dan kesejahteraan rakyatlah yang justru ditunggu oleh mereka. Bukan malah mendirikan suatu partai atas nama mahasiswa.
Politik bersifat dinamis, kebijakan yang dilakukan hanya untuk keuntungan kelompknya sendiri, tak ada kebijakan politik yang absolut atas nama kepentingan rakyat. Ketika mahasiswa menjadi aktor politik yang otomatis ia akan terpengaruh oleh kontrak politik (koalisi) dengan partai lain, maka di situlah awal dari kesenjangan dan kesengsaraan suatu masyarakat terjadi.
Mahasiswa yang terafiliasi dalam partai mahasiswa indonsia seharusnya belajar sejarah lagi bahwa kejamnya rezim orde baru akibat arogansi politik. Semakin banyak partai politik maka semakin buram masa depan reformasi. Mereka harus melakukan refleksi bahwa pembentukan partainya akan berdampak terhadap pecahnya mahasisawa di masa yang mendatang.
Tergoda Politik Praktis
Dosen yang juga seorang analis sosial dan politik di Universitas Negeri Jakarta, Ubedillah Badrun, menganggap kelahiran Partai Mahasiswa Indonesia akan berbahaya dalam dunia pendidikan, Jika ada sekelompok mahasiswa membuat partai, ada kepentingan politik praktis yang bertentangan dengan hakikat universitas sebagai magistrorum scholarium atau entitas kaum terpelajar yang selalu bergumul dengan ilmu pengetahuan.
Pemakaian kata mahasiswa dalam nama partai tersebut merupakan pelecehan terhadap mahasiwa sendiri, pasalnya tidak semua mahasiswa menyetujui terbentuknya partai mahasiswa Indonesia tersebut. Bahkan BEM Universitas Padjajaran menantang debat terbuka kepada pengurus Partai Mahasiswa Indonesia, ia menilai terdaftarnya partai tersebut tidak merepsentasikan gerakan mahasiswa yang ada (detik jabar, 23/04/2022).
Politik merupkan tindakan yang harus dilakukan oleh setiap orang, namun jika mahasiwa ingin berpoltik, maka harus di luar kampus dan tidak mengatasnamakan mahasiswa untuk kepentingan kampanyenya. Baik membawa jabatan maupun membawa identitas atau simbol perguruan tinggi dalam kegiatan kampanye, misalnya membawa logo, jaket almamater, bahkan toga kampus.
Mahasiswa harus menjadi pengawal jalannya demokratisasi agar supaya tidak melenceng dari tujuannya yang hakiki untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sepenuhnya demi mencapai keadilan dan kesejahteraan sosial seluas-luasnya. Sejatinya, demokrasi ialah dari dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Bukan dari pejabat, oleh pejabat, dan untuk pejabat.