Penganugerahan Bintang Jasa Utama pada Eurico Guterres sebagai pejuang pro integrasi ketika Timor-Timur (Tim-tim) lepas dari Republik Indonesia menarik untuk dikaji ulang. Problemnya, penganugerahan itu terkesan membenarkan bahwa perusakan, pembakaran, dan pembantaian terhadap sebagian besar warga Tim-tim pasca jajak pendapat di tahun 1999 bukanlah sebuah kejahatan kemanusiaan.
Penting untuk diketahui bahwa pada peristiwa “September Kelabu” itu telah terjadi perburuan dan pembunuhan terhadap warga Tim-tim yang anti integrasi, termasuk siapapun yang melindunginya. Di antaranya adalah dua rohaniwan Katolik, yaitu Romo “Karim” Albrecht Arbi, S.J. dan Tarcisius Dewanto, S.J., yang berdasar catatan seorang wartawan dalam bukunya yang berjudul Timor Timur: Satu Menit Terakhir (2008), keduanya telah dibunuh dan jasadnya dibuang begitu saja.
Para pelakunya jelas adalah gerombolan milisi, seperti Aitarak, yang dikomandani oleh sang penerima bintang jasa di atas. Pertanyaannya sekarang, sudah lupakah bangsa ini terhadap kekejian dan kekejaman yang telah dikerjakan terhadap sesama warganya di Tim-tim hanya demi nasionalisme atau NKRI yang 76 tahun lalu memproklamasikan diri sebagai bangsa yang merdeka?
Cukup jelas bahwa kejahatan kemanusiaan yang dilakukan di pulau kecil yang semula adalah koloni dari Portugis dan dianeksasi oleh pemerintahan rezim militer Orde Baru pada tahun 1975 telah menghabisi kurang lebih sepertiga dari penduduknya. Maka masuk akal ketika jajak pendapat yang diselenggarakan pada pemerintahan Presiden B.J. Habibie dimenangkan oleh pihak yang pro kemerdekaan di Tim-tim, kemarahan dari pihak yang anti kemerdekaan sulit untuk dikendalikan, bahkan difasilitasi oleh pihak militer Indonesia yang telah berjuang mempertahankan Tim-tim sebagai bagian dari NKRI.
Itulah mengapa tampak tidak ada pencegahan yang dilakukan terhadap gerombolan milisi di Tim-tim hingga misi perdamaian dari PBB, yakni UNTAET (The United Nations Transitional Administration in East Timor) yang dikomandani oleh pasukan dari Australia tiba di sana. Oleh karena itu, amuk massa yang dikerjakan oleh para milisi di Tim-tim lebih dipandang sebagai luapan atas kekecewaan terhadap hasil jajak pendapat tersebut.
Namun menarik bahwa, sebagaimana dicatat oleh James T. Siegel dalam kajiannya yang berjudul “Yang Hilang di Zaman Bung Karno” (Basis, 2001), sesungguhnya para mantan pejabat Orde Baru sudah tidak tertarik lagi dengan Tim-tim. Hal itu diakui oleh Emil Salim ketika berkunjung ke Ithaca, New York, Amerika Serikat dan selalu ditanyai tentang Tim-tim.
Dalam konteks ini, pengakuan itu menjadi amat kontras dengan apa yang pernah diamanatkan oleh Bung Karno sebagai “Penyambung Lidah Rakyat”. Kontrasnya bahwa terhadap Tim-tim yang sebelumnya direbut dengan mengorbankan ratusan ribu nyawa, baik dari pihak Indonesia maupun Tim-tim, setelah itu tampak tidak lagi diperhatikan, apalagi diperhitungkan, dan dibuang begitu saja dari pikiran.
Bahkan salah seorang menteri di era Orde Baru pernah menyatakan bahwa Tim-tim hanyalah ibarat “kerikil dalam sepatu”. Akan tetapi, ketika Tim-tim telah memilih dan menetapkan untuk merdeka, para elit politik, terutama militer, di Indonesia justru menjadi begitu reaktif dan beraksi dengan semena-mena untuk menghancurkan, bahkan jika perlu menghabisi, segala yang ada di sana. Melalui tangan dari gerombolan milisi bersenjata, reaksi dan aksi yang termasuk dalam kejahatan kemanusiaan itu diwujudkan atas nama slogan “NKRI Harga Mati”.
Sementara dalam kajian Benedict Anderson dalam bukunya yang berjudul Hantu Komparasi. Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (Qalam, 2002), politik yang dijalankan di Tim-tim seperti ungkapan “benci tapi rindu”. Artinya, para elit politik, baik sipil maupun militer, di Indonesia sebenarnya memang tidak tertarik lagi dengan Tim-tim, namun tetap berambisi untuk diakui sebagai “pahlawan”.
Pada titik ini, kepahlawanan dari rezim militer Orde Baru yang menempatkan posisi “Bapak” di atas segalanya, termasuk anak buah, adalah warisan politik masa lalu. Khususnya dalam konteks kebudayaan Jawa, warisan itu dinubuatkan dan diwasiatkan dalam ungkapan “hormat pada yang lebih dituakan”. Politik inilah yang dimanfaatkan dan dipraktikkan di era Orde Baru dan terbukti ampuh, bahkan mujarab, untuk membangun “keamanan dan ketertiban” di negeri ini selama lebih dari 30 tahun.
Di sinilah kajian yang dikerjakan oleh Saya Sasaki Shiraishi dalam bukunya yang berjudul Pahlawan-pahlawan Belia. Keluarga Indonesia dalam Politik (KPG, 2001) menjadi penting untuk mengamati dengan jeli dan waspada momentum penganugerahan bintang jasa di atas. Dengan demikian, bukan semata-mata bahwa di Indonesia kekurangan nama yang bersedia untuk dijadikan pahlawan, namun persoalannya bahwa tidak sedikit yang sudah terlanjur disebut sebagai pahlawan juga kerap tampil sebagai penjahat.
Inilah paradoks dari sang bintang yang bukan kebetulan dianugerahkan kepada salah seorang pejuang di Timtim. Pejuang yang disatu sisi dibenci karena dipandang gagal untuk mempertahankan Tim-tim sebagai bagian dari NKRI, namun sekaligus dirindukan lantaran masih dapat memperlihatkan bahwa Indonesia sama sekali tidak pernah kekurangan pahlawan.
Kenyataan semacam ini justru menjadi pelajaran sejarah yang menantang untuk dikisahkan secara informal atau “di luar kelas”, sebagaimana oleh dianjurkan oleh Seno Gumira Ajidarma dalam salah satu cerpennya tentang Tim-tim pada buku yang berjudul Saksi Mata (Bentang Budaya, 1994).
Pada cerpennya yang berjudul “Pelajaran Sejarah” itu, Seno menunjukkan bahwa sejarah yang diajarkan “di luar kelas” akan lebih dapat merasuk dan menusuk jantung persoalan kemanusiaan yang selama ini telah diabaikan, disembunyikan, bahkan dihilangkan. Melalui tragedi yang terjadi di pemakaman Santa Cruz, Dili, Tim-tim, pada tahun 1991, sejarah yang biasanya hanya menjadi cerita bagi para pemenang justru mampu dipecundangi oleh cerpen yang mengisahkan kebiadaban sebuah bangsa demi membangun peradaban.
Di sanalah segala ambisi dan kejahatan kemanusiaan dipertontonkan dengan telanjang, meski hanya dalam kisah yang dianggap fiksi belaka. Masalahnya, masih adakah kisah yang akan ditulis ulang untuk menyambung lidah dan suara dari mereka yang kepentingan, bahkan nyawanya, telah dibuang dari pikiran pihak-pihak yang sedang berkuasa di Indonesia masa kini? Mari kita nantikan saja apakah ketika jurnalisme dibungkam, sastra akan tampil untuk berbicara.