Desember kemarin saya dan mungkin anda semua mendengar penyelenggaraan acara akbar COP-28 di Dubai, UEA. Acara ini merupakan lanjutan hasil perundingan iklim dari masa ke masa yang menemui titik terang berupa Paris Agreement 2016. Salah satu agenda utama yang di gaungkan Paris Agreement adalah transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan.
Hal yang sulit bagi negara berkembang yang sudah dalam titik kenyamanan memakai energi fosil. Negara berkembang sudah mapan dalam pengelolaan energi fosil. Melakukan transisi sama halnya memulai dari awal mekanisme dan pola-pola berbagai sektor sesuai dengan pengelolaan energi baru dan terbarukan.
Indonesia sebagai negara berkembang turut sulit bertransisi. Kesulitan ditempuh untuk memperoleh atensi internasional yang seringkali agendanya mengikuti ambisi negara maju. Sementara, di sisi lain Indonesia beserta negara berkembang lainnya tidak bisa menutup mata, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) kian nyata dan dampaknya kian terasa.
Meski COP sudah menyentuh angka 28, bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia masih sangat tipis. Bauran yang di targetkan 23% pada 2025 tercium tidak tercapai, kemungkinan di turunkan targetnya.
Di sisi lain, target Nationally Determined Contribution (NDC)—penurunan emisi—menyusul dengan narasi pesimis ketercapainnya. Indonesia memiliki tanggung jawab penurunan emisi pada 2030 sebesar 31,89% (dengan usaha sendiri) dan 42,20% (dengan bantuan internasional). Namun, target tersebut berbau pesimistik dengan keadaan hutan yang masih terbabat sana-sini, terbakar tanpa salah, dan tergerus terus-menerus.
Paradoks Transisi Energi Indonesia
Ketidakseriusan pemerintah disebabkan kebijakan yang dikeluarkan berujung paradoks. Bukannya bertransisi, pemerintah malah bercumbu mesra dengan batubara yang di poles agenda transisi energi. Tindak-tanduk pemerintah cenderung mengamankan esensi batubara sebagai energi kedepannya. Bisa kita amati dari kebijakan yang dikeluarkan akhir-akhir ini.
Kebijakan teknis seperti penerapan Co-Firing yang berkebalikan dengan esensi transisi energi. Co-Firing merupakan teknik substitusi batubara di PLTU menggunakan bahan biomassa dengan rasio tertentu. Gampangnya, biomassa ikut di masukin bersamaan batu bara ke boiler pembakaran.
PLN mengklaim cara ini dapat mengurangi emisi karbon dan meningkatkan bauran EBT. Padahal dalam penelitian Trend Asia, penerapan Co-Firing menyebabkan deforestasi yang malah berujung penambahan emisi.
Biomassa yang disubtitusikan berasal dari tumbuhan Hutan Tanaman Energi (HTE). HTE di bangun dengan membabat hutan alami dengan alasan lebih menyerap emisi karbon. Trend Asia mengungkapkan besaran emisi yang diserap HTE tidak sebanding dengan hilangnya stok emisi hutan alam yang diberangus.
Paradoks selanjutnya datang dari penerapan Carbon Capture and Storage (CCS). Istilah CCS yang di singgung Gibran dalam debat cawapres merupakan salah satu rencana pemerintah untuk mengurangi emisi sekaligus menjadi ladang cuan. Mencermati penelitian Greenpeace, mereka berkata CCS adalah harapan palsu.
CCS justru memberikan argumen kepada PLTU untuk membangun boiler-boiler baru pembakar batubara. Buang-buang energi, begitulah ungkapan selanjutnya dari Greenpeace menyoroti CCS. Pasalnya PLTU batubara yang menggunakan CCS membutuhkan 90% lebih energi air bersih. Ujung-ujungnya meningkatkan resiko kekurangan air bersih.
Kebijakan di atas diperkokoh dengan Perpres (Peraturan Presiden) mengenai EBT. Perpres nomor 112 Tahun 2022 yang menyimpang dari misi aslinya. Katanya ditujukan untuk EBT dan upaya mengurangi ketergantungan energi fosil, tapi isinya berkebalikan. RUU ini secara tersirat mengulur waktu transisi dan memberikan nafas panjang PLTU batubara.
Di dalamnya terdapat agenda memperpanjang pembangunan PLTU baru yang tersisa dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), dari 2023 menjelma 2032. Padahal listrik mengalami oversupply sebesar 6-7 Giga Watt yang bisa menimbulkan kerugian bagi negara. Memperpanjang nyawa PLTU, berarti sama saja pemerintah tak peduli krisis iklim.
Paradoks kebijakan ini semestinya segera dihentikan. Pemerintah perlu melek terhadap krisis iklim yang sudah menapakkan dampaknya. PLTU batubara harus dipensiunkan lebih cepat, sementara EBT lebih digencarkan jumlah perannya. Penerapan EBT masih terkendala sana-sini, dan cenderung tidak menemui kemajuan. Tantangan penerapan EBT seharusnya menjadi fokus utama kebijakan pemerintah.
Tantangan yang Perlu di Jawab
Tantangan transisi energi sudah diprediksi oleh Aslepias RS Indriyanto dalam majalah PRISMA edisi “Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban”, ketahanan energi menjadi tantangan untuk melakukan transisi energi. Terdapat 4 aspek yang perlu diperhatikan, yakni availability, accessibility, affordability, dan acceptability.
Dalam hal availability, setiap daerah Indonesia memiliki beragam potensi EBT yang melimpah. Namun, kendalanya dalam ketersediaan teknologi pengelolaannya. Hal itu berkaitan dengan pendanaan, teknologi EBT sangatlah mahal, dan negara kita belum mampu membuat atau membeli.
Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi dalam EBT tidak mengalami peningkatan, sekitar US$1,6 miliar di tahun 2022, masih sama dengan tahun sebelumnya. Jumlah tersebut jauh dari target yang direncanakan sebesar US$4 miliar. Investasi ke EBT perlu di gencarkan, tidak perlu investasi ke teknologi yang memoles batubara seolah bersih dan ramah lingkungan.
Di sisi accessibility, konteksnya penggunaan kendaraan listrik yang pasti mengubah pola kehidupan masyarakat yang cenderung mapan menggunakan kendaraan bermotor. Saat ini, jumlah Electric Vehicle (EV) yang digunakan mencapai 33.461 unit di tahun 2022. Target pemerintah sebesar 15,7 juta unit pada tahun 2030.
Pertanyaannya apakah semua masyarakat dapat mengakses kendaraan listrik? Transisi energi sepatutnya berkeadilan dan menyeluruh bagi masyarakat dalam hal aksebilitasnya. Pemerintah perlu menggencarkan produksi kendaraan listrik, membangun pom-pom listrik di seluruh lokasi, atau pemerintah meningkatkan kualitas-kuantitas moda transportasi umum berbasis ramah lingkungan.
Aspek affordability berkesinambungan dengan acceptability harga EBT yang mahal menjadi permasalahannya. Eksplorasi EBT yang sulit, serta ketidakstabilan dalam ketersediaannya akan menyebabkan harga listrik lebih mahal dibanding menggunakan energi fosil. Dampaknya berakibat terhadap industri, dan ekonomi masyarakat.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan harga listrik EBT berkisar di atas Rp 1.000 per KWh, sementara harga listrik menggunakan batubara berkisar di bawah Rp 1.000 per KW. Harga ebt yang mahal apakah masyarakat bisa menerima. Mahalnya listrik memicu inflasi yang berujung aksi penolakan dari masyarakat. Pemerintah menurut saya perlu mengeluarkan kebijakan yang bisa menjaga kestabilan harga listrik, atau melakukan sosialisasi yang transparansi terhadap masyarakat.
Transisi energi perlu dipercepat, mengingat krisis iklim sudah berdampak. Indonesia sebagai negara berkembang perlu mengevaluasi kebijakan yang berbau paradoks. Keempat aspek di atas layak di pertimbangkan untuk merumuskan suatu kebijakan.