“Banyak peristiwa perubahan sosial yang bersifat negatif dan merusak masyarakat justru memberi keuntungan yang amat besar terhadap PDB..”
Pernyataan paradoks itu ditulis oleh seorang ahli ekonomi-politik yang bermarkas di Kampus Pretoria Afrika Selatan, Lorenzo Fioramonti, di dalam buku terjemahannya “Produk/Problem Domestik Bruto”.
Menarik menyimak evaluasi Fioramonti tersebut jika sembari merefleksikan dengan kondisi Indonesia saat ini, yaitu usia kapitalisme yang selalu awet muda dan merentang sejak Hindia Belanda, yang notabene menjadi fondasi ekonomi dan politik negeri ini.
Tanggal 8 Februari lalu, di kolom Tajuk Rencana media koran harian Kompas diinformasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia (melalui skala Produk Domestik Bruto/PDB) mengalami peningkatan sejumlah 5,07%.
Angka tersebut meski terbilang tinggi bilamana dibandingkan dengan biaya sosial yang telah ditukar untuk mencapai angka sekian persen itu (misalnya berupa konflik agraria yang terus menganga dari tahun ke tahun), tetapi rupanya masih belum sampai pada angka yang ditargetkan pemerintah, sejumlah 5,2%. Artinya masih kurang 0,13%.
Dalam disiplin keilmuan yang cenderung menggunakan metode kualitatif sebagai alas berpikir, kekurangan 0,13% barangkali bukanlah sesuatu yang besar dan mesti dipermasalahkan. Sebab 0,13% bisa dibulatkan menjadi nol.
Pembulatan ini bisa saja terjadi, karena yang menjadi fokus dari kualitatif memang bukan angka, melainkan sebaliknya, yaitu apa saja yang tidak terwakili oleh angka, yang telah ditiadakan perannya dalam suatu tema masalah yang sedang ditangani. Hal itu pula yang coba diuraikan oleh Fioramonti di dalam beberapa seri bukunya yang mengulas tentang pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, tanpa mengurangi pentingnya metode kuantitatif dalam disiplin keilmuan yang kian hari kian terasa hegemonik, barisan angka memang diperlukan di dalam melakukan suatu pengukuran. Di dalam ilmu-ilmu yang menggunakan metode kuantitatif, hasil yang didapat saat mencoba memecahkan suatu persoalan bisa saja menghasilkan kesimpulan yang berbanding terbalik dengan metode kualitatif.
Karena memang di dalam metode kuantitatif seperti ilmu ekonomi misalnya, ada indikator berbeda dan seolah menjadi aturan umum tidak tertulis bahwa rumusan angka mesti dikedepankan sebagai perangkat untuk menerjemahkan kompleksitas sosial.
Walaupun jauh hari seorang ekonom terkemuka peraih IZA Prize in Labor Economics, Richard Easterlin, di dalam makalahnya yang terbit di jurnal ekonomi tahun 1997 berjudul “Happiness and Economic Performance”, telah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya dibayangkan paling-tidak melalui gambaran logika sederhana: jika diagram ekonomi (PDB) meningkat, maka kebahagiaan turut naik karena asumsinya kebutuhan masyarakat (konsumsi) dapat tercukupi dan dengan demikian iklim ekonomi memungkinkan akumulasi kapital – di dalam realitanya tidaklah demikian.
Menurut Easterlin – melalui apa yang dijelaskan Fioramonti, hal itu disebabkan karena angka pertumbuhan ekonomi ternyata sama sekali bukanlah jaminan untuk mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat. Logika itulah yang di dalam perbincangan tentang ekonomi dijuluki sebagai “Paradoks Easterlin”.
Di Indonesia paradoks ini akan terlihat jelas manakala kita membandingkan naiknya PDB yang juga diikuti dengan naiknya suhu kecemasan publik, situasi sosial yang tidak stabil, apalagi memasuki tahun politik, yang berujung pada tindakan intoleransi dan pertunjukan aksi kekerasan.
Tulisan ini tidak akan menginterogasi rezim kuantitatif dalam mengatur dinamika ekonomi melalui berbagai produk kebijakan, karena memang bukan menjadi bagian dari kajian yang saya pelajari. Alih-alih mengevaluasi hitungan ekonomi dengan rumus yang tak dikuasai, saya ingin menyinggung apa yang selama ini luput tidak terwakili dan tidak banyak dibicarakan di dalam indikator pertumbuhan ekonomi.
Melalui berbagai pemberitaan di media, pola pemerintahan saat ini dapat dikelompokkan ke dalam jenis yang menempatkan ekonomi sebagai panglima. Berbagai macam infrastruktur yang mendukung angka pertumbuhan ekonomi dibangun di berbagai wilayah dari ujung timur sampai ujung barat Indonesia.
Namun infrastruktur yang lebih mendasar seperti keadilan sosial masih juga luput dari perhatian. Asumsi keliru yang dirawat oleh para arsitek pembangunan selama ini, dengan membangun infrastruktur ekonomi, maka seolah dengan serta-merta telah membangun akses menuju keadilan sosial.
Padahal kenyataannya, atas nama infrastruktur itu, seperti halnya atas nama pembangunan di Orde Baru, penataan ruang mendapatkan tiket untuk memindahkan ruang hidup warga yang telah turun-temurun menghuni suatu daerah (baca: penggusuran).
Dalam regenerasi kapitalisme di Indonesia, jika membaca penelitian Richard Robison yang dibukukan dalam judul “Indonesia: The Rise of Capital” (dulu, buku ini pernah dilarang beredar di Indonesia), akan dapat dijumpai bagaimana rekam-jejak pemerintah di setiap masa dalam lenggak-lenggok asumsi ekonomi yang dipraktikkan oleh para arsitek pembangunan.
Setidaknya terdapat dua momentum penting yang bisa ditandai dari pertumbuhan kapitalisme di Indonesia. Pada masa Presiden Soekarno, dikenal istilah program benteng, yaitu suatu langkah kebijakan untuk menumbuhkan kapitalis pribumi dengan mengalienasi pengusaha asing.
Pada masa ini api nasionalisme memang sedang besar-besarnya dan itu ditunjukkan dengan strategi ekonomi berdiri di atas kaki sendiri. Bahkan tidak sedikit kapital-kapital milik perusahaan asing dinasionalisasi meskipun itu dilakukan dengan menumpuk jumlah hutang luar negeri. Tetapi cara itu tidak lama bertahan karena kemudian ketika terjadi krisis, berlangsung pembalikan arus.
Saat itu terjadi peralihan kekuasaan presiden dari Soekarno ke Soeharto – dengan pemerintahan baru yang dapat ditandai dengan istilah “open door policy”. Walaupun kompleksitas ekonomi semacam ini mustahil tuntas dijabarkan hanya dengan satu paragraf, tetapi sejak saat itu, meski pemerintahan telah berganti berkali-kali, agaknya model ekonomi yang diterapkan Orde Baru selama 32 tahun telah nyaris sempurna membentuk jagad pandang arsitek pembangunan. Seolah hanya ada dua parameter: jika tidak orbais, maka sebaliknya, anti-orbais.
Saya jadi ingat pada satu kelakar yang pernah diucapkan seseorang asal Sumatera. Ia bercerita, pada suatu hari ada orang bertemu di perantauan dan berkenalan. Keduanya lalu saling bertanya. “Dari mana asalmu?” “Pulau Sumatera, Bang,” jawabnya. “Sumatera? Jadi tanahmu di sana?”. Bingung dia, mau menjawab apa, karena sejujurnya ia tak punya tanah di kampung kelahirannya. Memang benar tanah air kita tanah air Indonesia. Tapi tanah bukan kita punya. Air juga begitu.
“Lah terus, berapa banyak lagi kira-kira lahan yang akan dialihfungsikan buat menuhin rikues pembangunan?” tanya Billowo yang tiba-tiba datang dan menyela, membuyarkan percakapan.