Lahirnya UU No. 3 tahun 2006 sebagai hasil atas amandemen UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa perubahan besar dalam eksistensi lembaga Peradilan Agama saat ini. Salah satu perubahan yang mendasar adalah penambahan wewenang lembaga Peradilan Agama antara lain dalam sengketa bidang ekonomi syari’ah.
Tapi tulisan ini tidak akan mengupas perihal kewenangan tersebut, penulus justru ingin mendiskusikan perihal izin poligini menurut pandangan masyarakat Banyuwangi. Kebetulan satu bulan sudah penulis sempat PPL di PA Banyuwangi dan ini membuka cakrawala baru tentang peradilan agama di Bumi Blambangan. Tidak melulu menangani perceraian saja. Penulis juga cukup tertarik melihat penerbitan Surat Izin Poligini yang terkadang banyak menemui kendala.
Pun penulis mengakui bahwa Banyuwangi pada era dewasa kini masih melihat tabunya praktik poligini di tengah masyarakat. Rata-rata banyak masyarakat Banyuwangi yang terbiasa dengan praktik monogami sehinga begitu ada satu dua warga yang melakukan poligini seperti ada hal yang keliru pada warga tersebut.
Padahal jika melihat nash Al-Qur’an masalah poligini disinggung dalam surat An-Nisa ayat 3 dan ayat 129. Poligini diperbolehkan jika memang keadaan membutuhkan poligini. Pada tulisan ini penulis akan sering menggunakan istilah poligini, sebab jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) poligami terbagi dalam tiga bentuk. Pertama, Poliandri merupakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.
Kedua, Poligini merupakan sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan. Ketiga, pernikahan kelompok yang merupakan kombinasi poligini dan poliandri. Pada benyak literatur ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, tetapi poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi.
Tidak Sepemahaman
Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita. Namun perdebatan tersebut tidak akan penulis ungkap dalam opini ini.
Fokus penulis akan menitik beratkan pada poligini yang terjadi ditengah masyarakat yang berfaham monogami. Utamanya berkaitan izin poligini di Pengadilan Agama (PA) Banyuwangi yang tidak jarang berujung pada ketidak sepahaman keduapihak untuk bisa memutuskan hal yang win-win solution. Pun begitu penulis akan mengurai benang merah mengapa hal tersebut terjadi di Indonesia sehingga bisa terlihat aspek kendala dalam izin poligami.
Penulis akui sulitnya izin poligini bukan lantaran sistem, namun lebih kearah pola fikir yang masih tidak sejalan dengan cara pandangpoligini. Padahal jika melihat konsekuensi hukum yang terjadi jika izin tersebut tidak berjalan mulus. Maka tidak akan sulit kita temui dalam praktiknya ketika poligini tak mendapat izin, justru pernikahan siri yang jadi pilihan.
Sebab dalam nomenklaturnya, dalam pengajuan izin poligini di PA Banyuwangi mewajibkan adanya persyaratan menyertakan izin dari istri pertama. Nahas, praktik yang ditemui di lapangan kadang justru istri pertama tidak mememberika izin. Akibatnya poligini yang bisa dicatatkan resmi dengan dokumen negara
Jika ditelisik mendalam poligini dalam kehidupan masyarakat kita sering dipandang sebagai suatu problem yang sangat ditakuti kaum wanita. Padahal justru karena paradigma yang keliru tentang sistem poligini, maka problem terus meningkat dikalangan kaum wanita. Namun, amat mengherankan karena justru problem ini tidak ditakuti walaupun telah membuat wanita menderita.
Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman makna dan sasaran poligini serta kurangnya persiapan bagi yang melakukan praltik ini. Sebab ada problem sosial yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya sehingga poligini menjadi hal asing meski ada ketetapan hukum yang benar. Pandangan aneh melihat poligini ditengah masyarakat menjadikan diskurus dalam perkembangannya.
Derajat Terbaik
Hemat penulis poligini sangat berperan dalam mengatasi problem pribadi yang muncul dengan beberapa sebab seperti isteri mandul, sementara suami mengharapkan untuk memiliki keturunan, isteri memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan, suami yang sering keluar kota atau negeri yang tidak mungkin membawa istri, dan suami yang memiliki kekuatan seksual yang tinggi.
Hal itu merupakan pilihan tepat untuk berpoligami dari pada isteri di ceraikan dan menjadi janda, dalam kondisi seperti inilah yang akan menjadi problem lagi bagi wanita. Secara umum, poligini sesuai dengan syariat akan diantarkan kepada kehidupan yang istiqamah, dan hidupnya jauh dari kesesatan.
Bagaimanapun, poligini mampu memelihara kebaikan akhlak, memperkuat hubungan kemasyarakatan, serta menciptakan ketenangan dan keamanan hidup. Poligini merupakan solusi syariat untuk memelihara manusia agar tidak jatuh kepada kehidupan yang asusila Allah SWT telah mensyariatkan poligini untuk hamba-Nya. Dalam hal ini, Islam telah mengatur dan membatasi praktik poligini dengan syarat-syarat yang ditentukan.
Implikasi tentu ingin memberikan ruang bagi perempuan untuk memperoleh derajat yang lebih baik. Sebab jika dibandingkan dengan sebelum datangnya Islam praktik ini tentu lebih masih dan cendrung tidak terkontrol. Pada akhirnya penulis pun memberikan asumsi bahwa izin poligini yang sering mendapat kendala bukan pada akadnya. Namun kesiapan dari kedua belah pihaklah dalam hal ini istri pertama yang punya kewenangan untuk mau atau menolak praktik poligini.