Secara kasat mata, umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Sementara umat beragama lain dianggap minoritas. Dalam berbagai ranah, termasuk pada hukum misalnya, mayoritas kerap dipandang sebagai sebuah keistimewaan. Sedangkan minoritas sering sekali dipandang diskriminatif. Dan untuk mencegah terjadinya diskriminasi tersebut, maka dimunculkanlah afirmasi.
Kalau ditelisik secara radikal, sebenarnya ada permasalahan paradigma dalam memandang dan memaknai mayoritas dan minoritas. Lalu sebagai kaum mayoritas, sebenarnya bagaimana paradigma Islam tentang mayoritas dan minoritas?
Asal Mula “Minoritas”
Istilah “minoritas” (aqalliyah) yang sekarang sering digunakan dalam berbagai ranah seperti kebudayaan, sosial, hingga politik, sebenarnya adalah istilah impor dari pemikiran Barat. Istilah “minoritas” ini datang dari pemikiran Barat untuk mengomentari peristiwa budaya dan sosial yang terjadi di dunia Timur, khususnya Islam, sejak terjadinya hubungan antara peradaban Islam dan peradaban Barat. Dalam kerangka pemikiran Barat, istilah “minoritas” ini memiliki berbagai makna yang terkandung di dalamnya—seperti rasisme, etnis, kesukuan—yang biasa dipergunakan di dalam masyarakat Barat.
Di Barat, istilah “minoritas” digunakan untuk menunjukkan: sekelompok orang yang menganggap diri mereka atau dianggap orang lain menjadi bagian dari beberapa ciri kekhususan yang berbeda dengan banyak kelompok lainnya di dalam suatu masyarakat, namun mampu berkembang dengan ciri kekhususannya itu.
Istilah “minoritas” dalam pemikiran Barat tidak hanya mengacu atau bertolak ukur pada kuantitas jumlah saja, dan juga tidak hanya mengacu pada minoritas politik saja. Akan tetapi istilah “minoritas” di Barat mengacu pada identitas kebudayaan yang berbeda dengan identitas kebudayaan mayoritas yang hidup bersama-sama, dan identitas kebudayaan tersebut berkembang secara istimewa ataupun berbeda dengan identitas kebudayaan mayoritas.
Pandangan Islam
Penggunaan istilah “minoritas” ala Barat itu pun kemudian menuai kritikan dan penolakan ketika masuk dan digunakan di dunia Timur. Ketika masuk ke Mesir, penolakan tidak hanya dari umat Islam, melainkan juga dari umat Kristen Koptik.
Inilah yang disampaikan oleh Anba Musa, uskup di Gereja Ortodoks Mesir: “Kami sebagai umat Koptik tidak merasa bahwa kami minoritas, karena tidak ada perbedaan etnis dan kesukuan antara kami dan umat Islam. Sebab, kita semua orang Mesir, mengalir di dalam tubuh kita darah yang satu sejak masa Firaun dan dari sisi identitas Arab. … Kita hanyalah minoritas jumlah saja. Dan ini tidak membuat kita merasa ada keretakan antara kita dan saudara kita umat Islam.”
Maka yang perlu diingat dan digarisbahwai di sini adalah, sesungguh khazanah klasik Islam—baik agama, peradaban, sejarah, maupun bahasa—tidak pernah mengenal dan menggunakan istilah “minoritas” ala pemikiran Barat.
Khazanah klasik Islam hanya mengenal istilah “minoritas” dalam pengertian jumlah saja, atau hanya mengacu kepada kuantitas jumlah saja. Jadi yang dikenal dan diakui hanyalah minoritas jumlah, bukan minoritas identitas seperti yang ada pada pemikiran dan peradaban Barat. Minoritas jumlah tepatnya digunakan sebagai lawan kata dari mayoritas jumlah.
Namun meski demikian, antara minoritas jumlah dan mayoritas jumlah tidak ada perbedaan dan keistimewaan satu sama lainnya. Tidak berarti mayoritas selalu lebih baik dan lebih unggul. Bahkan di dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang justru memberikan stigma dan konotasi negatif untuk mayoritas jumlah. Misalnya di dalam Surat al-Hadid ayat 16, al-Baqarah ayat 243, al-An’am ayat 116, al-A’raf ayat 187, al-Zukhruf ayat 78, Surat Ali Imran ayat 11, Surat al-Maidah ayat 103, dan lainnya yang intinya mensifati mayoritas dengan sifat yang negatif.
Kemudian sebaliknya, justru istilah minoritas di dalam beberapa ayat al-Quran disifati Allah dengan sifat yang positif. Misalnya Allah berfirman di dalam Surat Saba’ ayat 13 yang artinya: “ Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.”. Dalam Surat al-Baqarah ayat 249 Allah juga berfirman yang artinya: “Barapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”; Dalam Surat Hud ayat 40 Allah juga berfirman yang artinya: “Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit.”
Dengan demikian di dalam khazanah Islam, istilah “mayoritas” dan “minoritas” hanya dipakai untuk menunjukkan kuantitas jumlah saja, tidak untuk menunjukkan yang lainnya seperti yang dipakai oleh Barat. Sedangkan mengenai pujian atau celaan, sifat positif dan negatif, tolak ukurnya bukanlah soal kuantitas jumlah, sehingga golongan mayoritas belum tentu lebih baik daripada minoritas.
Utamakan Persatuan
Dalam Islam, tidak mengenal adanya pembeda-bedaan kasta dan keistimewaan berdasarkan kuantitas jumlah mayoritas dan minoritas. Yang pertama dan utama di dalam Islam adalah persatuan. Dalam konteks keindonesiaan, berarti persatuan seluruh rakyat Indonesia.
Jika pun ada perbedaan dan kekhususan-kekhususan tertentu, maka itu semua diakomodir di dalam persatuan tersebut. Dan hal itu tentu saja tidak terkait sama sekali dengan kuantintas jumlah. Sebab, semua perbedaan manusia itu sejatinya adalah ciptaan Allah. Sehingga semua perbedaan itu harus tetap berada di dalam lingkup konsep umat manusia yang satu.
Maka bagi umat Islam, marilah kita kembali kepada pemahaman terhadap mayoritas dan pandangan terhadap minoritas yang sesuai dengan paradigma Islam. Marilah kita rawat rasa kebersamaan sebagai sesama manusia. Dan kita jauhi iklim perbedaan yang diskriminatif sekecil apapun. Sebab perbedaan yang diskriminatif hanya akan memupuk rasa permusuhan antar sesama umat manusia. Wallahu’alam.