Jumat, April 26, 2024

Paperless Culture

Muhammad Iqbal Suma
Muhammad Iqbal Suma
Menyelesaikan Studi Magsiter Hukum di IAIN Manado. Chief Kelompok Studi Alternatif, Science Communicator, Kurator di Sunday Speaks, editor dan Penerjemah buku-buku Sains Populer. Pernah Bekerja sebagai Tenaga Ahlil di KPU Provinsi Sulawesi Utara (2019-2021)

Kertas adalah benda ajaib yang membantu dan memudahkan banyak hal dalam hidup kita. Mulai dari pembungkus makanan, buku catatan, tisu hingga struk belanja, kehidupan kita dikelilingi kertas. Bahkan dalam sejarahnya, kertas mengambil bagian penting peradaban manusia. Setiap pesan dikirim dan setiap peristiwa dicatat dalam lembaran-lembaran kertas. Tidak mengherankan, konsumsi kertas di seluruh dunia begitu tinggi. Ini pula sebabnya, industri kertas adalah salah satu industri paling maju di dunia.

Menurut data FAO sejak 2006 hingga 2016, secara rata-rata, konsumsi kertas cetak dunia turun atau negatif 4,6%, sedangkan konsumsi kertas untuk kebutuhan tulis-menulis secara rata-rata turun atau negatif 1,3%. Sementara itu, konsumsi tisu selama 10 tahun terakhir memperlihatkan kenaikan rata-rata sebesar 2,8% dan konsumsi kertas kemasan tumbuh rata-rata sebesar 2,3%.

Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Perindustrian dan Perdagangan, konsumsi kertas di dunia se-banyak 394 juta ton per tahun dan diperkirakan akan meningkat menjadi 490 juta ton pada 2020.

Konsumsi kertas di Indonesia per kapita masih sangat jauh dari rata-rata konsumsi negara lainnya sehingga masih sangat potensial untuk berkembang. Indonesia sendiri adalah negara peringkat 6 produsen kertas di dunia, dengan produksi kertas mencapai total 14 juta ton per tahun.

Indonesia berpeluang besar untuk meningkatkan kapasitas produksi karena pemerintah mengalokasikan sepuluh juta hektare lahan untuk hutan tanaman industri. Di antara jumlah tersebut, 3–4 juta hektare digunakan sebagai bahan baku bubur kertas.

Meski telah memasuki era digital dan internet, pada kenyataannya tidak menghambat perkembangan industri pulp dan kertas. Ini karena penduduk dunia diproyeksikan menjadi 9 miliar orang pada tahun 2050 dan hampir 60%-70% berada di Asia yang diprediksi masih menggunakan kertas untuk berbagai keperluan, termasuk di dalamnya adalah konsumsi tisu yang cukup tinggi.

Meski terbukti secara efektif membantu manusia selama ratusan tahun, tapi meningkatnya konsumsi kertas membawa efek destruktif jangka panjang bagi lingkungan. Ini terutama, karena bahan utama kertas diambil dari pohon yang ditebang dalam jumlah besar.

Sementara produksi kertas tidak tumbuh secara signifikan, permintaan konsumsi kertas justru meningkat seiring perubahan gaya hidup dan meningkatnya kebutuhan akan tisu serta benda-benda kertas sekali pakai. Meskipun dalam sektor lain, bangkitnya era digital yang paperless mendorong orang untuk beralih dari kertas ke produk digital, tapi ini belum mampu menekan angka konsumsi kertas dengan cukup signifikan. Efeknya jelas, kita akan semakin kekurangan pohon yang menjadi bahan dasar kertas.

Merujuk pada data WWF Indonesia, Satu rim kertas setara dengan satu pohon berumur 5 tahun. Untuk setiap ton pulp membutuhkan 4,6 meter kubik kayu, dan 1 ton pulp menghasilkan 1,2 ton kertas. 1 hektar hutan tanamanan industri (acacia) dapat menghasilkan kurang lebih 160 meter kubik kayu. Jika pertahun diproduksi 3 juta ton pulp, maka membutuhkan 86.250 hektar hutan.

Jika dahulu Indonesia termasuk dalam 3 negara dengan hutan terluas di dunia, bahkan diyakini 84% daratan Indonesia adalah hutan, maka saat ini Indonesia telah menjadi negara dengan laju perusakan hutan yang cukup tinggi. Bisa kita bayangkan efek kerusakan lingkungan jika kita tidak mulai memikirkan upaya-upaya untuk pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.

Salah satu yang perlu dilakukan untuk menjaga lingkungan dari kerusakan dan penggundulan dan mengurangi ketergantungan kita terhadap kertas adalah dengan memulai gaya hidup atau budaya baru yang disebut paperless culture.

Paperless culture adalah lingkungan kerja atau gaya hidup, di mana penggunaan kertas dihilangkan atau sangat dikurangi. Ini dilakukan dengan mengubah dokumen dan kertas lain menjadi bentuk digital, proses yang dikenal sebagai digitalisasi.

Budaya paperless ini dapat menghemat uang, meningkatkan produktivitas, menghemat ruang, membuat dokumentasi dan berbagi informasi lebih mudah, menjaga informasi pribadi lebih aman, dan membantu merawat lingkungan secara berkelanjutan. Konsep ini dapat diperluas tidak hanya dalam lingkungan kantor, tapi dalam lingkungan sehari-hari.

Dalam pandangan saya, mengambil langkah menuju paperless culture ini harus menjadi langkah yang dilakukan secara alami — seperti yang telah kita lakukan dalam kehidupan pribadi kita hari.

Banyak dari kita tidak lagi terkejut ketika diminta untuk mendaftar di bagian register dan diminta untuk menggunakan jari Anda untuk menandatangani surat melalui perangkat seluler atau perangkat digital yang digunakan untuk mencatat transaksi pada kartu kredit Anda atau mendaftarkan diri anda dalam program kesehatan?

Biasanya, Anda kemudian kemudian akan ditanya apakah Anda ingin tanda terima dikirimkan melalui email kepada Anda. Bagi banyak orang yang membaca ini, jawabannya adalah ya. Atau ketika saya menerima surat pemberitahuan dari redaktur Qureta, saya tak perlu repot-repot membuka kertas surat lalu sesudah itu menumpuknya dengan kertas-kertas lain yang siap dikirim ke tempat sampah. Jadi sebenarnya, kita dapat mulai mempraktekkan peperless culture ini, dengan menyadari betapa banyak manfaatnya, selain menjaga lingkungan.

Paperless culture memiliki banyak keuntungan bagi pemilik bisnis. Meski begitu, ada risiko bahwa beberapa pemilik bisnis bertanya-tanya persis apa yang harus mereka simpan dalam ruang digital, dan hal-hal apa saja yang harus tetap dalam model kuno menggunakan kertas.

Menyimpan dalam format digital, baik di drive komputer, flash drive atau dalam sistem berbasis cloud, lebih murah daripada mencetak dan menyimpannya di atas kertas. Ini mengurangi biaya produksi dan ini dapat menghemat banyak. Beberapa bisnis memiliki unit penyimpanan yang dikhususkan untuk dokumen dalam bentuk kertas, dan ini meningkatkan biaya. Paperless culture menghilangkan biaya ini.

Keuntungan lainnya, ketika semuanya disimpan secara digital, dibandingkan di atas kertas, aksesibilitas menjadi cepat dan mudah. Karyawan, konsumen, dan pemilik bisnis memiliki akses ke semua data, kontrak, dan file konsumen hanya dengan beberapa klik mouse. Ini menghilangkan keharusan untuk mencari file atau formulir, yang akan menghemat waktu.

Dan keuntungan yang paling jelas adalah, ketika kita beralih ke dalam format digital, kita membantu mengurangi penggunaan kertas yang secara otomatis mengurangi penggunaan kayu dan penebangan hutan secara besar-besaran.

Selain itu, kita turut membantu menjaga hutan agar mampu menyediakan pasokan udara yang bersih bagi populasi. Paperless culture tidak sekedar meningkatkan efisiensi, keuntungan dalam bisnis dan menghemat waktu kerja. Paperless culture adalah upaya kita menjaga lingkungan secara berkelanjutan untuk masa depan bumi yang lebih baik.

Muhammad Iqbal Suma
Muhammad Iqbal Suma
Menyelesaikan Studi Magsiter Hukum di IAIN Manado. Chief Kelompok Studi Alternatif, Science Communicator, Kurator di Sunday Speaks, editor dan Penerjemah buku-buku Sains Populer. Pernah Bekerja sebagai Tenaga Ahlil di KPU Provinsi Sulawesi Utara (2019-2021)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.