Jumat, Maret 29, 2024

Pantaskah Mengolok-ngolok dalam Sepakbola?

Raden Muhammad Wisnu Permana
Raden Muhammad Wisnu Permana
Aku adalah aku. Tidak kurang dan tidak lebih

Rasanya, hampir Semua orang setuju jika sepak bola adalah olahraga yang paling digemari di dunia ini, tidak terkecuali di Indonesia. Dilansir dari CNN Indonesia, dalam penelitian yang dilakukan oleh Nielsen Sport, 77% penduduk Indonesia memiliki ketertarikan pada olahraga ini.

Dari menggandrungi klub sepak bola lokal di kota masing-masing hingga tim nasional Indonesia, hingga menggandrungi klub sepakbola asal Eropa, hingga fanatik pada tim nasinal negara lain. Ini jelas, karena prestasi sepakbola Indonesia yang belum dapat dibandingkan dengan negara yang maju sepakbolanya.

Sebagai seorang penggemar sepakbola, tentu saja kita memiliki pemain, klub, manajer, atau tim nasional favorit kita, bukan? Kita menggemari mereka karena kemampuan sepakbola mereka di lapangan, strategi mereka yang brilian dalam bermain, hingga hal-hal di luar aspek sepakbola, seperti ketampanan dan sifat kedermawanan mereka di luar lapangan hijau, yang kita kagumi.

Dan tentu saja, baik pemain, klub, manajer, atau tim nasional favorit kita tentu saja memiliki rival. Mereka juga tidak selamanya menang. Seringkali kita kecewa, marah, menangis, melihat mereka gagal meraih kemenangan, terutama di saat-saat krusial. Ditambah, emosi kita disulut oleh mereka, sesama penggemar sepakbola, penggemar rival dari tim kesayangan kita, yang mengolok-ngolok pemain, manajer, maupun tim kesayangan kita tersebut. Baik secara langsung, maupun via sosial media.

Kita, sebagai penggemar sepakbola, tentu saja tidak asing dengan kalimat-kalimat berikut bukan?

“Klub Spanyol sih gak ada apa-apanya! Lihat aja, final Liga Champions dan Liga Eropa tahun ini klub Inggris semua!”

“Mang Ujang (sebuah ejekan untuk Manchester United) seketika cuma jadi penonton doang hahaha.”

 “Kalau dia mau menang terus tiap tahun, pindah ke Juventus atau Paris Saint Germain aja, udah auto juara disana. Liga petani. Gak ada persaingannya sama sekali.”

“Next year will be our year. Gitu aja terus. Dari zaman gua belum lahir, Liverpool belum pernah juara lagi tuh.”

Contoh-contoh kalimat tersebut adalah olokan dari kita, penggemar sepakbola kepada penggemar sepakbola tim rival. Penggemar Liverpool akan mengolok-ngolok penggemar Manchester United ketika Manchester United berada di musim terburuknya.

Sebaliknya, Manchester United akan mengolok penggemar Liverpool karena sejak Ryan Giggs memulai debutnya pertama kali saat masuk squad utama Setan Merah tahun 1991, Liverpool belum pernah juara lagi Liga Inggris.

Belum lagi, yang mengolok-ngolok individu pemain sepakbola. Penggemar Lionel Messi dan penggemar Cristiano Ronaldo selalu berseteru tentang siapa pemain sepakbola terbaik selama bertahun-tahun.

“Liat tuh, Messi  udah nyetak 600  gol dan 600an pertandingannya. Ronaldo nyetak 600 gol dalam 800 pertandingan. Cupu!”, ujar penggemar Lionel Messi.

“Lah, Messi cemen, Cuma berani di zona nyamannya doang, di Barca. Berani gak pindah klub? Ronaldo lebih sportif dan fairplay kalau main, dia juga dermawan, beda sama Messi!”, ujar penggemar setia Cristiano Ronaldo.

Padahal, baik Messi dan Ronaldo saling menaruh hormat satu sama lainnya dan tidak pernah meributkan apa yang para penggemarnya lakukan. Dan perdebatan lainnya seperti ini:

“Itu Suarez udah ngasih operan ke Messi, gak masuk, padahal depan gawang! Bodoh sekali dia! Kalau gua di posisi Messi, pasti gol itu!”, ujar netizen random di sosial media.

Lah, sekelas Lionel Messi dimaki maki. Maunya apa? Kalau Anda ada di posisi Lionel Messi, yaitu di depan gawang, saya jamin tidak akan gol juga. Lionel Messi, salah satu pemain terbaik dunia, dimaki-maki! Ya Tuhan.

Belum lagi, yang memaki tim nasional sepakbola negara lainnya yang kalah.

“Ah Inggris cupu. Cuma liganya doang yang bagus. Regenerasi pemain sepakbolanya gak ada. Dari zaman David Beckham juga mentalitas dan skillnya gak ada sama sekali!”

“Brazil juga sama. Bisa dibantai 7-1 sama Jerman. Neymar Cuma bisa diving doang sih. Banyak gaya gak ada skill!”

Lalu, yang memaki manajer dan klub sepakbola nasional seperti berikut:

“Mourinho gak ada apa-apanya. Special One apanya? Kemarin hampir degradasi tuh Mang Ujang!”

“Halah, Inter Milan dan A. C. Milan bisa apa sih? Stadion aja sewa, berbagi pula sama rival sekotanya. Sekalian aja main di Liga 1 Indonesia! Hahaha.”

Dan ribuan umpatan dan olokan lainnya baik kepada pemain, manajer, klub, hingga tim nasional negara lainnya yang tidak akan ada habisnya. Pantaskah kita melakukan itu semua?

Perlu disadari, kita bukanlah pemain sepakbola profesional. Bukan juga manajer atau pelatih seoakbola yang bersertifikasi FIFA. Yang paham psikologi olahraga dan ilmu keolahragaan.

Kita juga bukanlah manajemen atau pemilik klub yang berhak memaki-maki manajer dan pemain sepakbola bila bermain tidak becus. Kita juga bukan federasi sepakbola negara dari tim nasional yang kita olok-olok tersebut, yang jauh lebih berhak mengatur dan mengomentari performa sepakbola tim nasionalnya.

Sesering-seringnya kita menonton pertandingan sepakbola, kemampuan sepakbola kita tidak ada apa-apanya dibandingkan Neymar yang sering kita olok-olok karena sering diving dan dianggap banyak gaya tapi gak ada skill tersebut.

Kemampuan ktia sebagai kiper juga tidak ada sepersen pun dibandingkan David de Gea yang diolok-olok karena sudah 60 kali kebobolan dalam pentas Liga Primer Inggris musim ini.

Apalagi dengan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo yang sudah puluhan tahun berlatih sepakbola setiap harinya, digaji miliaran per pekannya, dan dianugerahi penghargaan sebagai pemain sepakbola terbaik dunia berkali-kali. Kita ini, main futsal atau sepakbola seminggu sekali juga nggak, apalagi mau mencetak gol?

Dan, Ilmu keolahragaan kita juga tidak ada apa-apanya dibandingkan Jose Mourinho atau Pep Guardiola yang berkali-kali menerima penghargaan sebagai salah manajer terbaik dunia yang sudah berkali-kali membawa tim asuhannya juara.

Lagipula, mereka ini sudah memiliki sertifikasi manajer sepakbola profesional yang sudah belajar dan berlatih bertahun-tahun tentang ilmu olahraga, psikologi olahraga, dan ilmu medis olahraga, lho. Lah, kita punya sertifikat seminar dasar-dasar olahraga dari dari Kementerian Pemuda dan Olahraga juga kagak!

Lalu untuk apa kita mengolok-ngolok dan mengejek-ngejek mereka, sih? Apa hak kita sebagai penggemar? Tentu saja, klub sepakbola dan pemainnya tidak bisa hidup tanpa kita, penggemar sepakbola.

Lantas, apakah itu pantas dijadikan alasan untuk mengolok-ngolok dan mengejek mereka? Apalagi, tidak sedikit olokan dan ejekan tersebut berbau rasisme SARA dan berujung anarkisme. Tidak bisakah kita duduk manis dan diam sebagai penonton sepakbola yang budiman?

Kita sudahilah olokan dan ejekan tersebut. Kritikan dan saran bagi pemain dan tim sepakbola kesayangan kita boleh saja, asal tidak membawa isu rasisme SARA, apalagi aksi anarkisme.

Meskipun, tentu saja, kita tidak lebih banyak tahu dibandingkan mereka (pemain sepakbola profesional) yang sudah puluhan tahun berlatih sepakbola setiap harinya, dan mereka (manajer sepakbola profesional) yang sudah puluhan tahun belajar teori dan praktik kepelatihan olahraga, ilmu psikologi olahraga, dan ilmu medis olahraga.

Raden Muhammad Wisnu Permana
Raden Muhammad Wisnu Permana
Aku adalah aku. Tidak kurang dan tidak lebih
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.