Rabu, Oktober 9, 2024

Panjang Umur Intoleransi dan Jalan Buntu Rekonsiliasi Sampang

Fiqh Vredian
Fiqh Vredian
Mahasiswa Magister di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pernah menerima research fellowship dari Maarif Institute for Culture and Humanity, tahun 2015.

Together for Peace: Respect, Safety and Dignity for All merupakan tema hari perdamaian internasional yang jatuh pada tanggal 21 September 2017. Tema ini diusung terutama untuk mendukung penerimaan non-diskriminatif terhadap para pengungsi dan migran seluruh dunia. Selain penting untuk kasus pengungsi Rohingya yang tengah ramai diperbincangkan, momen peringatan tahunan ini seharusnya juga sangat penting bagi Indonesia, yang masih menyisihkan pengungsi internal (internally displaced person [IDPs]) muslim Syiah Sampang. Mereka terus menderita di pengungsian Puspa Agro Sidoarjo dengan tidak adanya skema pemulihan pasca konflik yang jelas dan seolah kian terlupakan.

Sekitar 81 kepala keluarga atau 335 jiwa, selama lima tahun, masih terpaksa menyingkir dari kampung halaman di Kabupaten Sampang, Madura. Akibat relokasi paksa. Padahal, hak kebebasan memilih tempat tinggal diamanatkan konstitusi (Pasal 28 E [1]) dan panduan penanganan komunitas yang terpaksa tersirkir dari PBB (guiding principles on internal displacement) mengharuskan pemerintah memfasilitasi pemulangan para pengungsi internal dengan aman.

Apalagi di tengah kondisi bangunan rusun yang bocor di semua titik, air merembes, dan setiap saat bisa saja rubuh. Banyak dari mereka juga tidak lagi punya pekerjaan. Pekerjaan sebagai buruh kupas kelapa selama ini dengan penghasilan yang kecil berhenti. Seiring para juragan yang tidak lagi mengirim kelapa ke rusunawa. Sementara mereka harus terus menafkahi keluarga dan menyekolahkan anak mereka. Belum lagi akses kesehatan yang tidak memadai.

Saling lempar tanggung jawab terjadi antar tingkatan pemerintah dan membentuk ‘lingkaran setan’. Masing-masing level pemerintahan dari lokal, daerah, sampai nasional seringkali menyatakan tidak memiliki kapasitas untuk menyelesaikan kasus ini. Karena tak punya solusi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, yang menjadi tumpuan harapan, justru menyerahkan sepenuhnya kasus Sampang kepada pemerintah daerah dengan menjalin koordinasi.

Di level regional, pemerintahan Jawa Timur sanggup memenuhi kebutuhan tempat tinggal, keperluan administrasi atau ekonomi bagi pengungsi, meskipun dalam praktiknya masih banyak sekali kekurangan. Namun, dalam menangani arus penolakan pemulangan pengungsi Syiah oleh beberapa kelompok konservatif-intoleran, baik pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten menyatakan ketidaksanggupan. Apalagi, kiyai-kiyai intoleran memberikan “syarat pertaubatan” sepihak sebagai syarat pemulangan pengungsi dengan mengkonversi faham Syiah menjadi Sunni.

Pemerintah terkesan tidak kuasa dan enggan menangani kekuatan kelompok konservatif-intoleran. Tanpa kemauan politik untuk menghormati martabat kelompok rentan dan menjunjungtinggi kemanusiaan, maka rekonsiliasi akan terus mengalami jalan buntu dan para pengungsi internal (IDPs) Syiah Sampang akan terus terzalimi, tersingkir dan termarjinalkan. Absennya politik penghormatan dan pengakuan akan berdampak pada krisis keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi para pengungsi.

Pemerintah seharusnya dapat lebih berinisiatif untuk membangun dialog langsung yang setara dan terbuka antar kedua belah pihak. Terutama antara para pemimpin pengungsi internal Syiah dan elite kiyai Sampang. Jika Kementerian Agama merasa tidak sanggup berjalan sendiri dan takut terlabeli sebagai pendukung Syiah-isasi, seperti “fiksi politik” kelompok koservatif-intoleran, seyogyanya dapat melibatkan pemerintahan terkait lainnya secara bersamaan. Kementerian Politik, Hukum dan HAM; Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; dan Kementerian Sosial memiliki tanggungjawab yang sepadan dalam pemulihan pasca konflik sesuai amanat UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.

Lebih jauh, perlu deagregasi atau integrasi penanganan multi-level rekonsiliasi. Baik level kelembagaan (pemerintahan lokal sampai nasional), masyarakat politik (elite agama dan politik Sampang dan Jawa Timur), masyarakat sipil (LSM lokal sampai nasional), maupun level intrapersonal (antar aktor utama kasus Sampang). Norma-norma fundamental rekonsiliasi juga perlu ditekankan, yakni kebenaran, akuntabilitas, pengakuan dan penghormatan atas korban, dan landasan hukum (Verdeja, 2012). Apalagi beberapa kelompok garis keras sektarian terus bekerja mereproduksi kebencian dan intoleransi.

Potensi Modal Sosial Perdamaian

Terdapat relasi hegemonik untuk mempertahankan muslim Syiah Sampang tetap teralienasi di pengungsian. Akan tetapi, dalam kasus Sampang, hegemoni yang dibangun oleh elite negara dan sosial-keagamaan sebenarnya tidak terbangun secara total, solid dan esensial. Hegemoni mengalami keretakan (crack), dengan memunculkan agensi pendukung Syiah Sampang, baik dari negara maupun masyarakat sipil, sekalipun dari mantan penyerang (Vredian, 2015). Keretakan hegemonik ini antara lain nampak pada disepakatinya Piagam Perdamaian Rakyat pada 23 September 2013.

Sekitar 70 orang yang dulu ikut memusuhi, menyerang dan membakar rumah komunitas Syiah Sampang mengunjungi, meminta maaf dan mengajak islah atau damai. Namun sayangnya piagam perdamaian ini diabaikan oleh para penguasa kontra-perdamaian, karena dianggap tidak melibatkan pemerintah dan ulama.

Saat itu, dalam deklarasi ini kedua belah pihak menyatakan bahwa mereka sudah lelah dengan konflik. Mereka berkomitmen membangun perdamaian dan menghormati keyakinan masing-masing seraya tetap menjunjung kultur dan tradisi yang menjadi kearifan lokal. Para mantan penyerang sadar, kekerasan komunal yang pernah mereka lakukan tidak dilatarbelakangi secara signifikan dengan masalah Sunni-Syiah. Namun, lebih karena adanya kepentingan para elite yang memanfaatkan isu ini. Konflik komunal tersebut, mereka sadari, telah menjauhkan mereka dari saudara dan tetangga mereka sendiri, yakni pengungsi Syi’ah Sampang.

Islah ini benar-benar terjadi secara faktual dan tanpa rekayasa. Hertaning Ichlas, ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Universalia (YLBHU) menceritakan, awalnya, para warga Sampang yang akan datang ke pengungsian Syiah masih menaruh kecurigaan. Mereka merasa takut pengungsi Syiah akan membalas dendam dan menyerang mereka. Keraguan ini membuat mereka bersiasat, rombongan tiga mobil terlebih dahulu yang mendatangi tempat pengungsian. Sisanya, rombongan dua mobil, menunggu di sekitar pengungsian untuk berjaga-jaga seandainya terjadi sesuatu. Ketika sampai, kecurigaan mereka seketika lenyap dengan sambutan yang damai.

Selain itu, kiyai-kiyai di Sampang sebenarnya tidak satu suara melakukan gerakan anti-Syiah dan menolak kepulangan mereka. Masih banyak kiyai dan ustad toleran yang menyayangkan kekerasan terhadap komunitas Syiah Sampang. Selain juga, sebenarnya terdapat kalangan pemerintah, kepolisian dan militer yang memiliki perspektif rekonsiliasi.

Upaya islah dan dukungan besar berbagai kalangan dalam pelembagaan perdamaian dan pemulangan komunitas muslim Syiah Sampang akhirnya masih belum menemukan titik terang. Oleh karena lemahnya konsolidasi dan ketidaktegasan pemerintah di level lokal sampai nasional dalam mendorong pengakuan dan penghormatan terhadap komunitas rentan minoritas faham keislaman yang mengalami pelecehan politik, fitnah dan stigmatisasi ini.

Fiqh Vredian
Fiqh Vredian
Mahasiswa Magister di Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS), Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pernah menerima research fellowship dari Maarif Institute for Culture and Humanity, tahun 2015.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.