Selasa, Desember 2, 2025

Pangan Ultra-Olahan (UPF) Berbahaya dan Tidak Sehat?

Hanny Srimulyani Dulimarta
Hanny Srimulyani Dulimarta
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pangan IPB University dan Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Madya BPOM
- Advertisement -

Kontroversi pangan ultra-olahan atau Ultra-Processed Food (UPF) mencuat setelah beberapa kejadian viral menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dibagikan kepada siswa menggunakan produk UPF dinilai “berbahaya dan tidak sehat”. MBG seharusnya bisa memberikan makanan yang bergizi bukan makanan sampah. Sehingga akhirnya BGN menerbitkan surat edaran yang melarang penggunaan produk UPF kecuali jika diproduksi oleh UMKM.

Di tengah kontroversi ini, muncul pertanyaan: Bagaimana mungkin UPF dianggap “berbahaya dan tidak sehat”, tetapi juga menjadi bagian dari program perbaikan gizi? Apakah masalah kesehatan disebabkan proses ultra-pengolahannya, ataukah pada kandungan gula, garam dan lemak yang berlebih? Tulisan singkat ini akan mencoba menelaah duduk perkaranya.

Apa itu UPF?

Klasifikasi UPF ini digunakan dalam sistem NOVA yang digagas oleh Center for Epidemiological Studies in Health and Nutrition, University of Sao Paulo, Brazil. Sistem NOVA membagi pangan berdasarkan tingkat pengolahannya, yaitu Grup 1: Pangan Tanpa/Minimal Pengolahan, Grup 2: Bahan Kuliner Olahan, Grup 3: Pangan Olahan dan Grup 4: Pangan Ultra-Olahan (UPF). Semua pangan olahan yang telah diformulasikan, diekstraksi dan mendapatkan pengolahan lanjutan dikelompokkan dalam UPF. Pada kelompok UPF ini mi instan, minuman bersoda yang berpemanis, keripik kentang bergaram tinggi ditempatkan bersama dengan pangan yang difortifikasi dengan zat gizi tertentu, makanan pendamping ASI, susu formula dan susu UHT. Penyamarataan  produk UPF yang bergizi dengan UPF yang kurang bergizi dalam satu kelompok yang sama berpotensi menggeser perbedaan fungsi dan manfaat serta akar masalah yang sesungguhnya dari UPF.

 

Masalahnya Bukan pada Prosesnya, tapi Komposisinya!

Terdapat studi yang menunjukkan dampak negatif terhadap kesehatan mengonsumsi UPF seperti obesitas dan penyakit kardiovaskular, tetapi hubungan sebab akibatnya belum dipastikan secara ilmiah karena jumlah sampel sedikit dan waktu intervensi yang cukup singkat. Selain itu terdapat penelitian konsumsi UPF yang dikorelasikan dengan peningkatan asupan kalori, namun penyebab utamanya adalah komposisinya yang mengandung densitas energi tinggi, kandungan gula, garam dan lemak (GGL) yang berlebihan, bukan karena proses pengolahannya. Makanan UPF yang menarik, nyaman dan mudah didapatkan diduga dapat mendorong orang mengonsumsi secara berlebihan, akibatnya GGL yang dikonsumsi semakin meningkat.

Waspadai Makanan Non-UPF yang Berisiko untuk Kesehatan

Berdasarkan hasil Riskesdas, konsumsi gula dan garam di rumah tangga naik secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir. Data Riskesdas (2018) menunjukkan sebanyak 61,27% penduduk usia ≥ 3 tahun mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari. Data kemenkes juga menunjukkan 28,7% masyarakat Indonesia mengkonsumsi GGL melebih batas yang dianjurkan.

Aneka makanan rumahan dan kuliner seperti aneka gorengan, kerupuk, jajan pasar, aneka es dan minuman atau aneka kue tradisional yang tidak diklasifikasikan UPF dianggap “tidak berisiko” sesungguhnya mengandung GGL yang berlebihan. Pola konsumsi pangan dengan GGL tinggi menyebabkan prevalensi obesitas, hipertensi, dan diabetes menjadi naik. Data Riskesdas memperlihatkan bahwa prevalensi obesitas untuk usia ≥18 tahun meningkat dari 15,4% (2013) menjadi 21,8% (2018).

Bukan Pangan Jika Tidak Aman

Klasifikasi UPF juga sering dikaitkan dengan penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) seperti pengemulsi, pewarna, perisa dan pengawet, sehingga identik dengan pangan yang tidak sehat. Apakah kemudian semua pangan yang menggunakan BTP tidak aman dan sehat?

Keamanan pangan adalah yang utama dalam proses pengolahan pangan, karena Bukan Pangan Jika Tidak Aman. Walaupun pangan enak, menarik dan bergizi tapi jika tidak aman, maka tidak akan memberikan manfaat yang baik untuk yang mengonsumsinya.

Keamanan penggunaan BTP sudah diatur, baik secara global oleh Codex dan JECFA. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pengawasan keamanan, mutu dan gizi yang ketat untuk pangan olahan, termasuk penggunaan BTPnya. UPF yang telah memenuhi ketentuan penggunaan BTP-nya maka aman dikonsumsi. Tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya UPF yang melanggar batas maksimum yang diizinkan sehingga berbahaya jika dikonsumsi. Oleh karena itu pelaku usaha pangan harus memastikan bahwa penggunaan BTP telah sesuai dan menginformasikan komposisi pada label kemasan secara jujur dan bertanggung jawab.

- Advertisement -

Pendekatan yang Lebih Realistis 

Stigma negatif terhadap UPF dapat mengalihkan perhatian dari permasalahan konsumsi GGL yang berlebih. Jika kesehatan masyarakat menjadi prioritas, maka pendekatan yang lebih tepat adalah mengatur komposisi pangan, bukan menolak teknologi pengolahannya. Teknologi pengolahan pangan seharusnya dilihat sebagai cara untuk menghadirkan ketahanan pangan, penyediaan pangan untuk kebutuhan darurat, dan ketersediaan pangan dengan beragam pilihan harga untuk masyarakat. Bukan sebagai ancaman. Dampak kesehatan tidak ditentukan oleh proses pengolahannya, tetapi oleh jumlah gula, garam, dan lemak yang dikonsumsi.

Jangan mengiring masyarakat untuk tidak mengonsumsi seluruh UPF tanpa membedakan mana yang memberikan manfaat dan mana yang berdampak buruk. Peningkatan literasi untuk kenali, baca label dan memilih pangan yang aman, bermutu dan bergizi akan lebih berdampak pada upaya perbaikan kesehatan masyarakat. Panduan BPOM untuk menggunakan Cek KLIK (Kemasan, Label, Izin Edar dan Kedaluarsa) adalah contoh yang dapat digunakan dalam memilih pangan olahan. Membatasi kandungan GGL melalui regulasi pemerintah dan reformulasi komposisi oleh pelaku usaha pangan adalah cara yang lebih realistis dan aplikatif. Promosi dan iklan yang memberikan dampak terhadap kesalahan konsumsi dan informasi yang menyesatkan terkait komposisi dan gizi harus dihindari.

UPF dengan komposisi zat gizi dan penggunaan BTP yang tepat telah digunakan untuk program pangan fortifikasi dalam penanganan masalah gizi di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia. WFP dan UNICEF juga menggunakan UPF untuk menangani gizi buruk akut seperti halnya Kementerian Kesehatan RI juga menggunakan biskuit yang dikategorikan UPF sebagai makanan PMT untuk balita dan ibu hamil. Oleh karena itu mengeneralisasi UPF sebagai pangan olahan yang harus dihindari karena berbahaya dan tidak sehat juga dapat menghambat pelaksanaan intervensi gizi ke depannya.

Berdasarkan hal diatas maka tidak tepat menggeneralisasi UPF sebagai pangan olahan yang harus dihindari karena dianggap berbahaya dan tidak sehat, sebab hal ini berisiko menghambat intervensi gizi secara luas dan mengalihkan perhatian dari permasalahan konsumsi GGL yang berlebih.

Dampak kesehatan tidak ditentukan oleh proses pengolahannya, melainkan oleh jumlah gula, garam, dan lemak yang dikonsumsi, serta densitas energi yang dikandungnya. Oleh karena itu, pengaturan komposisi pangan melalui pembatasan kandungan GGL yang diregulasi pemerintah dan reformulasi komposisi oleh pelaku usaha adalah solusi yang baik. Semua produk UPF layak dikonsumsi selama memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi oleh BPOM. Pilihan ada di tangan kita untuk memilih pangan yang memberi manfaat atau tidak.

Hanny Srimulyani Dulimarta
Hanny Srimulyani Dulimarta
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Pangan IPB University dan Pengawas Farmasi dan Makanan Ahli Madya BPOM
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.