Jumat, Maret 29, 2024

Pandemi Virus Corona dan Krisis

Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya
Alumni studi Jurnalistik, berkarya sebagai pengelola konten untuk website sebuah organisasi non-profit di Jakarta.

Agaknya tidaklah lebay untuk mengatakan kalau tahun 2020 terasa lebih menegangkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tepat di 1 Januari, Jakarta diguyur hujan dengan intensitas terekstrem. Alhasil, banjir melumpuhkan hampir seluruh megapolitan.

Masih di Januari, dunia gempar dengan kemungkinan Perang Dunia Ketiga yang dipicu serangan AS terhadap Iran yang menewaskan Mayor Jenderal Qasem Soleimani. Kini, virus corona Covid-19 yang awalnya merebak di Wuhan kini menjadi pandemi global yang menyebar dengan cepat. Indonesia yang awalnya dengan pede mengatakan zero case, kini berpacu dengan waktu untuk membendung penyebaran virus ini.

Kita tidak tahu kapan pandemi corona ini akan ditaklukkan. Tentunya itu amat bergantung pada kesigapan pemerintah dan perkembangan sains untuk menemukan vaksin pemutus rantai penyebaran virus ini. Tapi, jika kelak pandemi ini berakhir, akankah dunia menjadi adem-ayem dan damai sentosa?

Mungkin kita optimis dan menjawab “ya” dengan iman teguh. Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian.

Pertama, kemajuan teknologi informasi membuat peristiwa di belahan bumi paling terpencil sekalipun dapat diketahui dengan mudah dan cepat di seluruh dunia. Isu-isu lokal maupun global akan terekspose dengan cepat, mengisi linimasa media sosial kita dan juga pemberitaan media-media massa.

Kedua, hadirnya virus corona yang menjadi topik utama pemberitaan di seluruh dunia tidaklah melenyapkan masalah-masalah yang telah ada sebelumnya. Ia hanya membuat isu-isu tersebut tenggelam sejenak untuk kelak muncul kembali. Pasca pandemi corona teratasi, Indonesia masih harus berjibaku dengan penyakit demam berdarahnya yang saban tahun selalu terjadi.

Masalah-masalah menyangkut HAM yang masih terwariskan sedari masa lalu. Korupsi-korupsi yang telah mengakar kuat dalam berbagai lini kehidupan. Kasus-kasus intoleransi dan politik identitas yang menguat. Serta masalah substansial lain yang jarang muncul ke permukaan, seperti bagaimana sistem pendidikan kita, regulasi ojek online yang sampai sekarang masih belum menemukan win-win solution, dan sederet lainnya.

Dunia pun serupa. Kita masih akan melihat bagaimana konflik geopolitik mewarnai pemberitaan, yang bukan tidak mungkin dapat memicu meletusnya perang. Perang hegemoni antara AS dan Tiongkok yang kini mencuat dalam wujud perang dagang dan saling tuding teori konspirasi penyebab virus corona.

Carut-marut Brexit yang hingga kini masih tak menemukan titik temu. Korea Utara yang masih getol dengan senjata perangnya, Afrika yang berjibaku dengan milisi-milisinya, dan sederet konflik-konflik lainnya yang jika ditulis semuanya mungkin akan membuat artikel ini lebih mirip menjadi skripsi ketimbang artikel lepasan.

Selain itu, permasalahan lingkungan hidup pun tak kalah pelik. Semakin tahun melaju, krisis iklim akan terlihat semakin jelas. Pemanasan global yang terus terjadi mengobrak-abrik iklim yang sedianya telah mempunyai siklusnya sendiri. Tengoklah hujan lebat di awal tahun 2020 ini. Bukan semata-mata drainase dan tata kota yang buruk yang menjadi penyebab banjir, melainkan curah hujan itu sendiri (377 mm/hari)  yang memang paling ekstrem sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866.

Di dekade ini kita tak lagi hanya menghadapi perubahan iklim, tetapi krisis iklim! Tiza Mafira, Direktur Diet Kantong Plastik dan Climate Policy Initiative pada acara Indonesia Butuh Anak Muda 19 Februari lalu memaparkan data bahwa bumi telah memanas 1,1 derajat celcius. Batas maksimal kenaikan suhu bumi yang masih dapat ditoleransi adalah 1,5 derajat saja.

Artinya, kita punya waktu yang terbatas untuk mencegah bumi semakin panas. Dampak dari kenaikan yang mungkin cuma beberapa derajat itu bisa fatal. Terumbu karang dapat mati, iklim berganti, cuaca tak stabil, hingga krisis pangan dan lingkungan hidup lainnya. Belum lagi dengan sampah plastik yang terus bertambah banyak, polusi udara dari pembakaran fosil, dan sebagainya.

Kita tak tahu seberapa ganas alam akan bereaksi akibat kerusakan-kerusakan yang telah dibuat manusia. Ketika air laut meningkat akibat pencairan es dan iklim menjadi kacau, bukan tidak mungkin penyakit-penyakit lain dan juga krisis pangan akan terjadi dan menelan banyak korban. Ketika plastik-plastik mengotori samudera dan meracuni rantai makanan, bukan tak mungkin manusia pun akan terimbas. Mikroplastik masuk ke dalam tubuh, sumber air tercemar, dan buruk-buruknya kematian dapat menyapa lebih cepat.

Membaca paparan di atas mungkin rasanya utopia untuk melakukan perbaikan pada bumi, apalagi masalah-masalah tersebut bersifat global dan rumit. Apa yang bisa kita lakukan sebagai individu untuk turut menanggulanginya?

Kita tak bisa mengelak dari krisis, tapi kita bisa menghadapinya dan menyiasatinya. Mengenai krisis lingkungan kita dapat membangun kesadaran bijak berplastik dan menerapkan gaya hidup ramah lingkungan sedari diri kita sendiri, lalu menularkannya kepada kerabat-kerabat terdekat kita. Proses ini mungkin susah dan lama, tetapi melakukan satu proses jauh lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa. Menyalakan lilin jauh lebih baik daripada mengutuki kegelapan.

Menyiasati problema Indonesia yang amat beragam tak ada solusi tunggal dan instan, diperlukan koordinasi yang terarah dan masif dari segala lapisan. Sebagai individu, integritas dan teladan kita mungkin tak akan mengubah atau mempengaruhi ribuan orang dalam sekejap, tetapi setidaknya ia dapat menginspirasi orang-orang di sekitar kita untuk lebih peka bahwa perubahan memang cuma bisa dimulai dari diri sendiri.

Ketika kita ingin Indonesia bebas korupsi, sudahkah kita mengikuti prosedur saat ditilang? Atau malah salam tempel lalu damai? Ketika kita rindu Indonesia disiplin, sudahkah kita tidak menerobos jalur busway saat macet? Ketika kita rindu kemacetan dan polusi berkurang, sudahkah kita berkontribusi untuk naik kendaraan umum?

Seraya kita mengusahakan diri menjadi warga negara yang baik, kiranya Yang Kuasa berkenan mengarahkan pandangan-Nya atas negeri kita, juga atas bumi tempat kita tinggal, agar anak cucu kita di masa depan kelak dapat tetap tinggal dan menikmati bumi ini.

Aryanto Wijaya
Aryanto Wijaya
Alumni studi Jurnalistik, berkarya sebagai pengelola konten untuk website sebuah organisasi non-profit di Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.