Kamis, Maret 28, 2024

Pandemi Dapat Melemahkan Populis, Tapi Bukan Populisme

Arrizal Jaknanihan
Arrizal Jaknanihan
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.

“Demokrasi atau otoriter?” Masa awal pandemi diwarnai dengan perdebatan mengenai tipe rezim mana yang paling efektif dalam menghadapi wabah Covid-19. Namun memasuki kuartal ketiga 2020, deretan negara dengan kasus tertinggi tidak berkaitan dengan tingkat kebebasan sipil ataupun hak politik masing-masing negara.

Amerika Serikat, Brazil, dan India sebagai tiga negara yang menampung setengah dari seluruh kasus global dipersatukan oleh tokoh populis sebagai kepala pemerintahan. Donald Trump dan Jair Bolsonaro mendapatkan sorotan. Dengan status AS dan Brazil sebagai dua negara dengan kasus terparah, kedua pemimpin memilliki respon yang masih terlewat abai dalam menghadapi pandemi.

Bolsonaro, bahkan setelah positif terjangkit, secara konsisten menyebut Covid-19 hanya sebagai “flu ringan” dan mendukung penolakan terhadap diterapkannya protokol kesehatan. Trump, bahkan, mengambil langkah yang lebih ekstrem dengan menarik keanggotaan AS dari WHO. Dengan respon abai dan korban jiwa yang tak terhitung sebagai konsekuensinya, pandemi dipandang sebagai “hukuman” bagi para pemimpin populis. Gerakan yang sebelumnya mengalami popularitas ini diperkirakan akan melemah akibat ketidakmampuan pemimpin populis dalam menghadapi pandemi.

Akan tetapi, klaim bahwa populisme akan mengalami pelemahan merupakan perkiraan yang masih terlalu dini. Spekulasi tersebut juga kurang menimbang dampak jangka panjang dari pandemi yang justru dapat mendorong popularitas gerakan ini. World Bank memperkirakan ekonomi dunia akan mengalami kontraksi sebesar 5,2% pada akhir 2020, terburuk sejak Perang Dunia II.

Sebagaimana Great Depression mendorong munculnya fasisme pada 1930-an dan Krisis Finansial Global memicu populisme setelah 2008, pandemi kali ini dapat memberikan hasil yang serupa. Meningkatnya angka pengangguran, kesenjangan ekonomi, dan turunnya kepercayaan pada rezim perdagangan a la WTO menjadi lahan subur bagi populisme dalam politik pascapandemi.

(Over)generalisasi Tokoh Populis

Pemberitaan mengenai tokoh populis kerap kali terlalu berfokus hanya pada figur Trump dan Bolsonaro. Kedua tokoh tersebut menjadi epitom liputan yang menunjukkan seberapa buruk suatu pemimpin populis dapat merespon pandemi.  Akan tetapi, respon tokoh populis di wilayah lain memiiliki variasi yang jauh lebih beragam. Dibandingkan Brazil dan AS, beberapa negara dengan pemimpin populis lain seperti Hungaria dan Turki menerapkan respon yang jauh lebih efektif, bahkan dibandingkan pemimpin demokratis.

Berbeda dari tulisan John Danizweski dan yang banyak dipercayai oleh publik, hanya sebagian kecil pemimpin populis yang menyepelekan pandemi.  Meskipun Trump dan Bolsonaro menunjukkan kasus ekstrem dari buruknya respon negara, pemimpin lain seperti Erdogan di Turki, Viktor Orban di Hungaria, dan Narendra Modi di India menunjukkan keseriusannya dalam menghadapi pandemi. Berdasarkan laporan Brett Meyer dalam Institute of Global Studies, bahkan, hanya 5 dari 17 pemimpin populis yang memberikan respon abai dalam menangani wabah COVID-19. Selebihnya dari 12 pemimpin lain, respon untuk menghadapi pandemi bervariasi.

Beberapa negara seperti Italia dan Ceko menerapkan cara yang lebih demokratis. Namun di sisi lain, pandemi menjadi momentum bagi tokoh populis untuk memperkuat kekuasaannya dengan membatasi kebebasan sipil atas alasan kesehatan. Contoh ekstrem dari hal tersebut terjadi di Hungaria. Viktor Orban selaku perdana menteri mendapatkan kekuasaan mutlak atas putusan parlemen pada 30 Maret atas alasan penanganan pandemi. Meskipun putusan tersebut akhirnya ditarik kembali setelah mendapatkan kritikan keras dari Uni Eropa, kondisi tersebut menunjukkan bagaimana pandemi dapat memperkuat posisi tokoh populis.

Meskipun respon bernuansa denial ditunjukkan oleh Trump dan Bolsonaro, populis lain secara keseluruhan menunjukkan keseriusannya dalam menghadapi pandemi. Beberapa pemimpin seperti Orban bahkan mengalami peningkatan popularitas, meskipun pendekatan yang digunakan memiliki tendensi otoriter. Pola serupa juga dialami pemimpin populis lain yang dapat menghadapi pandemi dengan baik—sekaligus melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi internasional yang dinilai gagal dalam menanganinya.

Akar Masalah yang Tidak Terselesaikan

Meskipun populisme baru mendapatkan sorotan kemblai setelah kemenangan tak terduga Trump dalam pemilu AS, populisme merupakan gerakan yang telah lama muncul bahkan sebelum berakhirnya Perang Dingin. Seiring dengan meningkatnya arus globalisasi, beberapa kalangan yang merasa dirugikan akhirnya melakukan resistensi. Beberapa isu yang muncul, terutama Krisis Finansial Global tahun 2008 dan Krisis Pengungsi Eropa tahun 2015, mendatangkan keraguan terhadap sistem internasinoal bagi sebagian kelompok masyarakat yang disebut Kaltwasser sebagai para “losers of globalization” — pecundang dari globalisasi.

Pandemi dapat menurunkan dukungan masyarakat terhadap pemimpin populis seperti Trump yang November nanti akan menghadapi Joe Bidden dalam pemilu AS. Akan tetapi, populisme dapat resurgensi bila dampak jangka panjang dari pandemi tidak dapat diatasi. Selain isu terkait identitas, Norris & Inglehart dalam Cultural Backlash: Trump, Brexit, and Authoritarian Populism menyebutkan bahwa populisme pada dasarnya muncul akibat adanya economic insecurity.

Insecurity tersebut, baik dalam wujud resesi ataupun meningkatnya kesenjangan ekonomi, mendorong terjadinya munculnya gerakan populisme setelah pandemi Covid-19. Meski akhirnya pemimpin populis dapat digantikan, populisme masih memiliki pengaruh besar di tengah masyarakat.

Selain ekonomi, isu-isu mendasar lain seperti partai tradisional yang tidak representatif juga identitas nasional yang dianggap luntur akibat migrasi juga menjadi hal yang tidak dapat terselesaikan hanya dengan mengganti pemimpin populis. Selama permasalahan tersebut masih tidak tersentuh, populisme tetap menjadi salah satu alternatif utama bagi mereka yang dirugikan olehnya. Belum lagi, terdapat beberapa pemimpin populis dapat menangani pandemi secara efektif dan mengalami peningkatan popularitas.

Menuju Deglobalisasi?

Mengutip Richard Haas, “Pandemi tidak mengubah sejarah, ia mempercepatnya.” Lepas dari disrupsi yang pandemi berikan, tren-tren yang berlangsung pada ranah global masih berada dalam trajektori yang sama, termasuk turunnya kepercayaan terhadap institusi internasional dan ekonomi neoliberal. Meskipun pandemi melanda dalam skala global, penanganannya masih terkonsentrasi pada level nasional. Alih-alih memperkuat kerja sama negara melalui regionalisme ataupun organisasi internasional, pandemi sejauh ini belum menunjukkan tren menuju global governance yang lebih baik. Dalam kata lain, deglobalisasi.

Memasuki kuartal ketiga dari 2020, McKee menemukan suatu pola ketika pandemi mendorong munculnya populisme, dan keberadaan populisme dapat memperburuk dampak pandemi. Meskipun terdapat obsesi untuk membingkai populisme dalam wujud Trump dan Bolsonaro sebagai ‘virus’ asli dalam wabah ini, gerakan tersebut kemungkinan besar tetap dapat bertahan selama isu-isu mendasar yang mendorong munculnya gerakan populisme tidak dapat diatasi.

Arrizal Jaknanihan
Arrizal Jaknanihan
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.