Jumat, April 26, 2024

Pandemi dan HAM untuk Pengungsi Rohingya

Nurul Faqiriah
Nurul Faqiriah
Mahasiswa Hubungan Internasional. Universitas Islam Indonesia

Etnis Rohingya merupakan Muslim minoritas yang mendiami bagian Rakhine, Myanmar. etnis Rohingya sering mendapat diskriminasi dari masyarakat Myanmar yang merupakan mayoritas Budha, orang Budha menganggap mereka paling suci dan etnis Rohingya dianggap rendah, anggapan ini memberikan legitimasi untuk kelompok budha melakukan kekerasan terhadap etnis Rohingya.

Secara historis, ketegangan antara etnis Rohingya dan Myanmar sudah terjadi sejak zaman kolonialisme Inggris. Pada tahun 1942 upaya pengusiran etnis Rohingya dari wilayah Arakan atau yang saat ini dikenal Rakhine telah dilakukan

Tak hanya upaya pengusiran, etnis Rohingya juga dibantai oleh pasukan pro inggris yang mengakibatkan 100.000 muslim tewas pada waktu itu. Ketegangan antara etnis Rohingya dan Myanmar semakin meningkat setelah Burma merdeka pada 1948.

Sejak saat itu muslim Rohingya selalu mengalami diskriminasi dan pengusiran yang menyebabkan mereka mengungsi ke Bangladesh. Diskriminasi yang dialami etnis Rohingya semakin kompleks ketika pemerintah Myanmar menerapkan kebijakan yang mencabut kartu putih atau kartu identitas warga negara Myanmar terhadap etnis Rohingya pada 31 maret 2015 lalu, yang kemudian menandakan bahwa kewarganegaraan etnis Rohingya telah dicabut dan secara resmi mereka sudah bukan menjadi warga negara Myanmar lagi.

Pencabutan kartu Putih oleh pemerintah Myanmar tentu membuat etnis Rohingya menjadi stateless. Kekerasan struktural yang terus meluas menyebabkan etnis Rohingya kerap mendapat diskriminasi seperti pembunuhan, pelecehan seksual, penggusiran dan lain-lain.

Hal ini tentu menyebabkan mereka harus melarikan diri keluar dari Myanmar untuk mendapatkan rasa aman. Konflik antara etnis Rohingya dan pemerintah Myanmar semakin memanas pada  2017 membuat etnis Rohingya harus melarikan diri melintasi perbatasan dan kebanyakan dari mereka mengungsi di Bangladesh.

Menurut data UNHCR pada Agustus 2017 tercatat sebanyak 745.000 orang Rohingya memasuki Bangladesh dan tinggal di Kamp pengungsian Cox’s bazar. Kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap etnis Rohingya membuat mereka mengungsi dan mencari suaka ke negara-negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Bangladesh.

Namun, baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita bahwasanya Malaysia telah menolak kedatangan kapal pengungsi Rohingya yang membawa ratusan penumpang dengan alasan mencegah penularan Covid-19. Padahal, seharusnya Malaysia dapat menerima pengungsi Rohingya dengan mempertimbangkan sisi kemanusiaan.

Menurut IOM nasib para pengungsi Rohingya membahayakan karena saat ini cuaca sedang ekstrim yang meyebabkan angin topan maka dari itu perlunya pendaratan yang aman untuk memastikan keselamatan bagi para pengungsi Rohingya. Selain itu IOM juga meminta negara mitra untuk menjunjung tinggi komitmen deklarasi Bali 2016 serta janji ASEAN untuk melindungi yang paling rentan.

Solidaritas yang tak kunjung padam dari Indonesia

Indonesia bukanlah pihak yang menandatangani konvensi 1951 terkait status pengungsi atau protokol 1967. Namun bukan berarti Indonesia bebas menolak kedatangan pengungsi. Sejauh ini untuk melindungi para pengungsi Indonesia memiliki undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang keimigrasian yang mengatur mengenai orang asing.

Lebih lanjut Indonesia juga mempunyai regulasi mengenai pengungsi yang tertuang dalam pasal 28 G ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan ‘’ Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan dan berhak mendapat suaka dari negara lain.’’

Dengan mengacu peraturan undang-undang diatas maka sudah sepatutnya Indonesia menerima pengungsi yang harus melarikan diri dari negaranya karena adanya kekerasan, diskriminasi dan persekusi.

Selama ini prinsip Non-Intervensi ASEAN membuat langkah negara-negara ASEAN untuk melindungi etnis Rohingya terbilang sulit. Prinsip non-Intervensi mengharuskan negara ASEAN menghormati kedaulatan masing-masing negara anggota.

Terlebih Aung San Suu Kyi pemimpin de facto Myanmar sering mengatakan bahwa persoalan yang terjadi di negaranya merupakan permasalahan internal dan dia kerap meminta negara lain tidak ikut campur.

Maka dari itu selama ini dalam melindungi etnis Rohingya Indonesia melakukan soft power diplomasi. Upaya Indonesia dalam melindungi etnis Rohingya dapat dilihat ketika Menteri luar negeri RI, Retno Marsudi melakukan dialog dengan pemerintah Myanmar untuk menghentikan konflik selain itu pemerintah Indonesia juga membentuk LSM, mendirikan rumah sakit, dan sekolah untuk korban terdampak konflik di Rakhine.

Semangat untuk melindungi etnis Rohingya tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, baru-baru ini kita telah menyaksikan nelayan Aceh atas desakan warga menyelamatkan kapal yang membawa pengungsi Rohingya.

Sebelumnya pengungsi Rohingya ingin memasuki Thailand dan Malaysia. Namun, mereka ditolak untuk mencegah penularan covid-19. Namun, ditengah wabah covid-19 tidak menyurutkan warga Aceh untuk membawa kapal pengungsi Rohingya ke daratan.

Ini bukan kali pertama nelayan Aceh menyelamatkan etnis Rohingya, pada April 2018 lalu nelayan Aceh juga menyelamatkan kapal yang mengangkut 79 pengungsi Rohingya yang terdampar di Pantai Kuala Raja, Biruen, Aceh.

Kedatangan pengungsi Rohingya dimasa Pandemi ini juga mendapat perlakuan humanis dari pemerintah Aceh. Mereka kini tinggal di tempat karantina milik kantor imigrasi, mereka juga telah melakukan rapid test.

Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi. Ia mengaskan Indonesia untuk sementara waktu menerima kedatangan Pengungsi Rohingya. Namun disisi lain Retno menegaskan Prioritas utamanya adalah mengembalikan pengungsi Rohingya ke Rakhine dan mendorong pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan konflik.

Namun, sebaiknya Indonesia tetap menampung pengungsi Rohingya tanpa mengembalikan mereka ke Myanmar. Mengingat kekerasan dilakukan secara historis dan terus berlanjut oleh negara ditambah lagi penyataan Aung San Suu Kyi yang kerap meminta pihak lain untuk tidak ikut campur bahkan Suu Kyi juga kerap menyangkal tuduhan bahwa Myanmar melakukan genosida kepada etnis Rohingya.

Dari sini dapat dilihat tidak ada jaminan keamanan dan penghormatan hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya jika ia kembali ke Myanmar, justru nyawa mereka akan semakin terancam.

Nurul Faqiriah
Nurul Faqiriah
Mahasiswa Hubungan Internasional. Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.