Jumat, Maret 29, 2024

Pandangan Hukum terhadap Bjorka di Era Digital

Shada Nida Safitri
Shada Nida Safitri
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Hukum Pidana Islam

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi. Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Kemajuan ilmu dan teknologi ikut membuat jenis dan bentuk kejahatan semakin canggih, ragam, rumit, dan sulit untuk dipecahkan.

Tak hanya itu, kejahatan yang terjadi juga makin mengabaikan batas-batas negara. Seperti pada Perusahaan telekomunikasi asal Australia, Optus terserang hacker. Chief Executive Optus, Kelly Bayer Rosmarin mengumumkan pihaknya akan menghubungi sekitar 10 juta pelanggan yang datanya diretas hacker.

Hacker Bjorka adalah nama yang digunakan peretas yang beberapa kali mengaku membobol data milik pemerintah, Mulai dari surat atau dokumen Badan Intelijen Negara (BIN) untuk Presiden Joko Widodo hingga beberapa data pribadi menteri, seperti Luhut Binsar Pandjaitan, Erick Thohir sampai Menkominfonya sendiri, Johny G. Plate. Adapun sosok bjorka saat ini menjadi bahan pembicaraan semua orang baik pemerintahan maupun warga Negara dan perlu diwaspadai akan kebobolan informasi pribadi lainnya yang terus berkepanjangan.

Keberanian Seorang peretas yang berhasil melancarkan aksinya untuk membongkar rahasia-rahasia negara yang muncul di dunia maya. Rahasia yang telah ia bongkar tidak main-main, seperti data pribadi milik warga negara Indonesia, hingga data pribadi milik petinggi negara Indonesia.

Peristiwa pembocoran data oleh Bjorka ini seharusnya jadi momentum bagi pemerintah untuk membereskan masalah keamanan siber dan mengoptimalkan pelibatan talenta siber lokal. Kejadian Bjorka dalam membagikan data pribadi adalah sinyal nyata berupa kritik membangun kepada pemerintah untuk berbenah diri dan mengatur ulang prioritas keamanan dan perlindungan privasi. Reskilling juga mutlak dilakukan agar secara berkala sistem keamanan kita dikaji dan disempurnakan.

Menurut pandangan hukum, tindakan yang membobol data pribadi jelas sangat melanggar hukum. Akibat dari perbuatan Bjorka, masyarakat menjadi korban atas eksploitasi data seperti pembocoran data pengguna layanan internet dan registrasi SIM Card hingga memperlihatkan kurangnya tanggung jawab dari pihak yang mungkin mengelola data. Dalam Pasal 30 dan 31 Undang-undang (UU) ITE telah secara rinci ditegaskan bagaimana hukum mengatur tindakan delik terkait informasi elektronik, Pasal 30 UU ITE tersebut berbunyi

  • Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun.
  • Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan tujuan untuk memperoleh Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
  • Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

Selanjutnya pada Pasal 31 UU ITE menerangkan bahwa:

  • Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain.
  • Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas transmisi Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sedang ditransmisikan.
  • Kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
  • Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).

Dalam UU Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik Pasal 46 juga disebutkan bagaimana hukum menjeret pihak yang melakukan tidakan hacker tersebut yang menyebut bahwa:

  • Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
  • Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
  • Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).

Masalah kejahatan mayantara dewasa ini sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat.

Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan moderen dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital, “perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya

Pemeritah dalam melakukan upaya menanggulangi kejahatan mayantara dengan skala nasional telah menerapkan peraturan Perundang-Undangan yang mengatur secara khusus mengenai IT. Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Kejahatan yang tanpa mengenal batas ini bisa saja sangat membahayakan jika tidak ditanggulangi dan tidak memiliki payung hukum yang kuat untuk mengakomodirnya.

Upaya penanggulangan kejahatan tersebut dapat berupa upaya preventif dan upaya represif (Alam & Ilyas, 2018).

  • Upaya preventif Upaya ini merupakan upaya pencegahan yang dilakukan guna mencegah timbulnya suatu kejahatan didalam lingkup masyarakat. Beberapa hal yang dapat dilakukan guna mencegah terjadinya suatu kejahatan adalah dengan melakukan edukasi terhadap masarakat, melakukan pemblokiran, membentuk Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN).
  • Upaya represif Upaya ini merupakan salah satu upaya yang bersifat konsepsional, dimana upaya ini dilakukan setelah terjadinya suatu kejahatan. Upaya ini bertujuan untuk menindak pelaku kejahatan seperti penjatuhan sanksi atau penjatuhan pidana sesuai dengan pelanggaran yang telah dilakukan.

Daftar Pustaka 

Barda Nawawi Arief, 2006, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia. PT Gafindo Persada hlm. 2

Hartono, B. (2014). Hacker Dalam Perspektif Hukum Indonesia. MMH, 43(1), 23–30.

 

Shada Nida Safitri
Shada Nida Safitri
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Jurusan Hukum Pidana Islam
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.