Sabtu, April 20, 2024

Pancasila “Mikrokosmos” Dunia

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta

Bukan kebetulan bahwa Pancasila lahir di tengah kecamuk Perang Dunia (PD) II. Perang yang ditandai dengan kehadiran Jepang sebagai angkatan perang dari Asia dan diakhiri dengan kekalahannya yang begitu telak lewat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.

Di tengah reruntuhan PD II itulah, sesudah memproklamirkan Indonesia sebagai Republik yang merdeka dan berdaulat penuh, Bung Karno (BK) memaparkan temuan filosofisnya mengenai dasar negara yang baru diproklamirkannya dengan nama Pancasila. Paparannya itulah yang saat ini diakui dan telah ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia (RI) dengan rumusan lima silanya yang begitu cemerlang.

Pertanyaannya, apakah Pancasila hanya digagas dan diperuntukkan bagi rakyat Indonesia belaka? Atau, sesungguhnya Pancasila juga dihadirkan sebagai “mikrokosmos” dunia?

Cukup jelas bahwa ide kebangsaan atau nasionalisme menjadi butir pertama dari apa yang dipidatokan BK sebagai dasar negara di depan sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Juni 1945. Ide ini menjadi penting lantaran nasionalisme bukan sekadar mengarah pada kebanggaan ras atau keturunan tertentu (chauvinisme).

Tetapi justru hal itu merupakan semangat untuk berkorban demi sesama yang lain. Semangat inilah yang mendasari mengapa kehadiran suatu bangsa bukan untuk menaklukkan yang lain, melainkan membantu sesama bangsa agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan secara bersama-sama. Maka dalam pidatonya, BK menyatakan nasionalisme bukan untuk menyerang, namun melindungi dan menjaga bangsa-bangsa yang belum mampu untuk menjadi tuan di negerinya sendiri.

Dengan nasionalisme yang luas dan melebar ini, maka segenap bangsa terikat pada nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Nilai-nilai itulah yang membentuk solidaritas di antara bangsa-bangsa dan menyimpulkannya dalam bahasa internasionalisme atau kemanusiaan yang beradabkan welas asih. Di sini segenap bangsa dituntut dan dituntun untuk solider terhadap sesama bangsa yang masih senasib-sepenanggungan berjuang untuk lepas dari ketidakadilan.

Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955 adalah contoh dari internasionalisme yang faktual dan aktual dalam memperjuangkan kemerdekaan setiap bangsa. Dengan internasionalisme itulah, segala bangsa diakui dan dihargai sebagai “komunitas-komunitas terbayang” (imagined communities) yang relevan dan signifikan. Itulah mengapa tiada lagi yang berhasrat untuk sekadar berkuasa atas yang lain, namun berkuasa atas segala hasrat yang cenderung untuk menguasai yang lain meski hanya secara terbatas.

Selanjutnya adalah mufakat atau demokrasi, yang dipakai sebagai wahana untuk mengelola segenap hasrat dengan kuasa yang ada pada setiap bangsa yang merdeka dan berdaulat. Tata kelola yang didasarkan pada permufakatan ini bukan sekadar mengakui hak di antara sesama bangsa, namun sekaligus juga menghargainya atas nama hidup bersama. Jadi, sesungguhnya tiada satupun bangsa yang berhak atas hidup sesama bangsa. Sebab hidup itu bukan hak bangsa manapun, tetapi adalah berkat kerelaan setiap warga yang ada dalam komunitas kebangsaan untuk berkorban demi kepentingan bersama.

Karena itulah, kemerdekaan dan kedaulatan suatu bangsa tidak dapat dirampas, bahkan ditiadakan, lantaran hal itu telah melekat dalam diri setiap warga yang sudah bersedia merelakan apapun demi kehidupan bangsa. Maka tak heran jika sebagai sebuah bangsa, Palestina telah merdeka dan berdaulat sejak permufakatan di antara warga sebangsanya terbentuk.

Dari permufakatan itu, bangsa yang hadir dengan/tanpa negara sekalipun bercita-cita untuk mencapai kesejahteraan sosial. Cita-cita ini merupakan wujud dari tanggungjawab kebangsaan yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, cita-cita itu adalah konsekuensi logis dari hidup berbangsa yang dengan pembayangan serba terbatas sekalipun tak bisa lepas dari manusia dan alam sekitarnya.

Dengan segala perkakas atau alat yang telah disediakan alam semesta, bangsa yang masih berbentuk embrio atau janin pun sejak semula sudah berikhtiar untuk mewujudkan cita-cita yang sebelumnya hanya mampu dibayangkan saja.

Dalam pidato BK tentang Pancasila sebagai dasar negara, cita-cita itu menjadi prinsip yang menunjukkan bahwa tidak ada yang tersingkir, bahkan terbuang, dari pikiran setiap warga bangsa hanya karena dipandang miskin. Inilah yang mendasari mengapa tidak boleh ada kemiskinan dalam sebuah bangsa karena alam semesta telah memberikan kecukupan bagi kehidupan setiap makhluk dalam kebersamaan. Jadi, sejahtera itu tidak sama dengan kelebihan atau kekurangan, melainkan cukup untuk semua.

Kecukupan itulah yang mampu menghadirkan kesadaran bahwa apapun yang ada di alam semesta ini tidak ada yang abadi, kecuali bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa. Maka, ketakwaan untuk selalu memuji dan menyembah-Nya adalah mutlak dan tak terbantahkan. Tidak peduli apa agama atau keyakinannya, sembah puji pada-Nya tidak dapat ditawar-tawar atau dinegosiasikan lagi.

Karena hidup sebagai bangsa bukanlah untuk sekadar melangsungkan kehidupan, namun menghadirkan Welas Asih-Nya yang tiada batas dan abadi. Dalam kajiannya mengenai Pancasila, filsuf Drijarkara membahasakannya dalam rumusan “Adaku ada bersama Cinta Kasih”.

Artinya, apa atau siapapun yang ada dalam kehidupan ini adalah penampakan dari alam semesta yang merupakan wujud nyata dari kebesaran, kemuliaan, dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kata lain, hidup sebagai bangsa yang berperikemanusiaan adalah wujud dari “mikrokosmos” alam semesta.

Karena itulah, Pancasila yang menjadi intisari dari hidup bersama dengan semangat kebangsaan dan kemanusiaan sejak semula telah dinobatkan sebagai pedoman bagi seluruh alam semesta dan segala isinya. Pedoman yang tidak diintensikan sebagai kitab suci, atau berpretensi menjadi para nabi, apalagi mesias bagi dunia yang telah hancur berantakan akibat kekerasan, kebebalan, dan kebodohan bangsa-bangsa di seluruh dunia. Dahsyat sekali, bukan?

Hanya sayangnya, seperti didendangkan oleh Iwan Fals dalam salah satu lagunya yang berjudul “Bangunlah Putra Putri Pertiwi” (1981), Pancasila hanya dihafal dan dijadikan rumus kode buntut. Akibatnya, Burung Garuda yang dijadikan simbol sebagai pelindung Pancasila di dadanya tak ubahnya hanya menjadi seperti burung perkutut.

Ironis, memang. Namun, tiada gunanya pula hanya meratap, bahkan menggugat, hari lahir Pancasila yang dulu pernah menggoncang dunia, tapi kini justru sekadar menjadi hari libur nasional belaka. Maka, daripada dikatakan tidak bisa berbuat apa-apa, lebih baik berteriak dengan lantang, Dirgahayu Pancasila!

Anicetus Windarto
Anicetus Windarto
Peneliti di Litbang Realino, Sanata Dharma, Yogyakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.