Lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh presiden pertama Indonesia, Soekarno dalam sidang “Dokuritsu Junbi Cosakai”, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945, merupakan bentuk persiapan yang dilakukan oleh The Founding Fathers.
Memasuki umur Tujuh Puluh Lima (75) tahun, Pancasila bukan lagi barang baru di Indonesia. Bahkan umur tersebut mengklusterkan bahwa ia tidak lagi muda atau bahkan dewasa, jika masuk kategori umur manusia ia digolongkan pada kaum lanjut umur (rentan).
Umur lanjut tersebut, nyatanya kita belum final dalam hal pengamalan Pancasila hingga saat ini. Berbagai usaha kian dilakukan oleh pemerintah pun non pemerintah dalam menggaungkan nilai dalam Pancasila, bahkan presiden Jokowi sendiri selalu menekankan hal tersebut. Tapi, tampaknya sia-sia, bahkan jauh dari harapan.
Momentum lahirnya Pancasila di tengah pandemi Covid-19, memberikan pesan sarat pada tatanan ‘New Normal’ dengan harapan membubuhi momentum kali ini, harus jauh berbeda. Bukan sekedar seremoni musiman, tidak kala jargon ‘Saya Indonesia, Saya Pancasila’ yang dipopulerkan oleh Jokowi tersebut hanya sebatas buah bibir di masyarakat.
Persoalan fatal Pancasila masih didominasi pada mengakarnya sikap Intoleransi dan Radikalisme. Perihal sikap ini, kita masih jauh tertinggal. Tercatat dari Global Terrorism Index (GTI) untuk tahun 2019, Indonesia berada diangka tertinggi sepanjang sejarah, yaitu 5,07, dengan tahun sebelumnya berada diangka 4,55 (2017) dan 4,54 (2018).
Peningkatan ini, tentu juga diikuti dengan naiknya peringkat terorisme Indonesia di mata dunia. Jika semulanya tercatat di peringkat 42 pada tahun 2017 dan 2018, maka pada tahun 2019 Indonesia telah jauh berada di peringkat 45 global. Bahkan, Indonesia masuk ke dalam daftar 10 negara dengan angka kematian tertinggi akibat kejahatan terorisme.
Sikap dasar untuk menghargai perbedaan yang ada dimasyarakat masih menjadi barang mahal, bahkan tergolong langka. Padahal jika merujuk kepada nilai-nilai dari Pancasila, ada tiga (3) Sila mengandung makna kemanusiaan, Sila Pertama, Kedua dan Kelima begitu erat dalam menopang rasa kemanusiaan.
Permasalahan pancasila sudah begitu kompleks di negeri ini. Nilai tawar untuk Pancasila sendiri sudah dipandang kuno dibanyak masyarakat, bahkan untuk sekedar mengucapkan saja kita masih latah dan tidak jarang lupa, pun pengurutan ke-5 sila tersebut ditemukan berantakan ihwal penyebutan.
Pendidikan Pancasila dewasa ini dipandang membosankan dan membuang-buang waktu, apalagi dengan generasi muda yang tidak sabaran dan individualis saat ini, menganggap bahwa Pancasila itu tidak berdampak kepada prestasi atau pendapatannya. Indikasinya banyak orang sekelas artis tidak hafal ke-lima sila, apalagi untuk memahaminya.
Jika dari segi pendidikan, sejak era reformasi untuk pendidikan Pancasila memang sudah banyak mengalami degradasi. Penataran P4 dihapuskan serta nilai-nilai Pancasila diperkecil menggantikannya dengan mata pelajaran PPKn yang tidak memiliki pengaruh terhadap kenaikan kelas, berbeda dengan P4 sebelumnya yang memiliki pengaruh besar.
Merebaknya sikap intoleransi menjadi catatan penting bahwa nilai dalam Pancasila tidak lagi dipandang sakral. Pelarangan ibadah yang masih masif, pembakaran/pengeboman rumah ibadah, penistaan agama secara verbal maupun virtual menjadi barang biasa di tengah masyarakat kita.
Tindakan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) lebih jauh harus dilihat sebagai suatu perilaku perusakan kemanusiaan, yang dengan tentu sebagai kegagalan dari pengalaman nilai Pancasila. Nyatanya tindakan yang korup dari segi materi, waktu dan sebagainya berkorelasi penuh dengan tingkat kemiskinan yang masih menjadi masalah bersama dari hulu ke hilir.
Sepadan dengan hal tersebut, hingga Desember 2019 terdapat enam puluh satu (61) triliun rupiah aset negara yang diselamatkan akibat tindakan korup tersebut. Belum lagi beberapa kasus yang masih mandek ditangan KPK maupun lembaga lainnya kian belum terselesaikan, apalagi saat pandemi seperti demikian.
Senjakala kemanusiaan tampaknya masih menjadi persoalan berlapis di negeri ini. Bahkan sadar atau tidak negara menjadi suluh dari sumber dari intoleransi tersebut. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PMB) No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 Tentang Pendirian Rumah Ibadat, seringkali menjadi alat bagi kaum intoleran.
Persoalan pendirian rumah ibadat sudah menjadi bulan-bulanan dihampir seluruh pelosok negeri. Konflik yang sering muncul ihwal pendirian, selalu dikaitkan dengan Peraturan Bersama Menteri (PBM) 2006 tersebut, seakan menjadi instrumen yang diberikan pemerintah kepada kaum intoleran.
Lemahnya penegakan hukum menjadi masalah klasik yang kian tidak berujung. Lemahnya penegakan masih menjadi penyebab kentalnya sikap intoleran di negeri ini. Pembiaran ruang kepada kelompok intoleran menjadi bentuk bahwa lemahnya penegakan hukum dalam perlawanan terhadap intoleransi di Indonesia.
Jika melirik dari instrumen pendidikan, kurikulum ihwal Pancasila harus dikembalikan kepada ruh yang sebenarnya. Menjadikan pendidikan Pancasila sebagai mata pelajaran yang sangat berpengaruh masih menjadi solusi cerdas, demi menolong berlanjutnya kemanusiaan.
Momentum di umur ke-75 tahun Pancasila harus menjadi suatu yang berbeda, sejalannya kata dan perbuatan. Kemanusiaan harus menjadi agenda utama negeri ini. Seperti pemikir novelis ulung kemanusiaan, Pramoedya Ananta Toer yang ‘Menempatkan Manusia Sebagai Yang Utama’. Selamat Hari Lahir Pancasila ke-75 tahun.