Sabtu, Juli 27, 2024

Palestina-Israel dalam ICC: Bagaimana Yurisdiksi Statuta Roma?

Yuvan Adhe Ananta Wibowo
Yuvan Adhe Ananta Wibowo
Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Airlangga

Pengenalan Konflik Palestina-Israel

Sengketa wilayah antara Israel dan Palestina merupakan konflik berkepanjangan yang berakar pada Deklarasi Balfour tahun 1917 yang mendukung pendirian negara Yahudi di Palestina. Setelah disetujui Liga Bangsa-Bangsa pada 1922 dalam Mandat Inggris atas Palestina, banyak imigran Yahudi berdatangan dengan semangat menduduki tanah leluhur mereka.

Pasca berakhirnya mandat Inggris pada 1948, Israel memproklamasikan kemerdekaan, memicu konflik bersenjata antara Faksi Yasser Arafat dan PLO, serta Faksi Fatah. Upaya perdamaian seperti Perjanjian Oslo yang menjanjikan kemerdekaan Palestina gagal diwujudkan Israel, sehingga konflik terus bergejolak hingga saat ini dengan perundingan-perundingan yang belum menemui titik terang.

Limitasi Kekuasaan ICC

Kewenangan yudikatif ICC terbatas pada wilayah dan waktu tertentu, sehingga hanya dapat mengadili individu berdasarkan yurisdiksi personal (ratione personae) setelah pendiriannya.

Tanggung jawab individu berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan di bawah yurisdiksi ICC, termasuk pegawai negeri dan komandan militer serta sipil. Menurut Statuta Roma, yurisdiksi ICC bersifat komplementer terhadap yurisdiksi nasional, dan ICC menghubungkan pengadilan nasional dan internasional untuk menangani kejahatan paling serius seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.

Pelanggaran Kejahatan Perang oleh Israel Terkait Penargetan Serangan

Pasal 8 Statuta Roma 1998 yang menjadi kodifikasi terbaru untuk menentukan kejahatan perang, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, serangan tidak sah terhadap warga sipil, penjarahan, dan penghancuran properti sipil.

Konvensi Jenewa memperluas perlindungan ini kepada semua orang yang tidak terlibat dalam permusuhan, termasuk warga sipil dan mereka yang berada di kamp pengungsi. Kejahatan perang dapat mencakup aksi yang disengaja maupun tidak, seperti yang terjadi dalam serangan oleh Israel terhadap warga sipil Palestina, termasuk penggunaan fosfor putih dan pengeboman yang menargetkan atau menghancurkan komunitas secara keseluruhan yang merupakan kejahatan perang sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (2) huruf (b) bagian (i) Statuta Roma 1998 dalam hal menargetkan serangan kepada warga sipil.

Selama konflik yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023, telah dilaporkan serangan-serangan yang menyebabkan kematian hampir 7.000 warga Palestina, termasuk sekitar 3.000 anak-anak. Tindakan Israel yang menghalangi listrik, makanan, dan air serta menghalangi bantuan kemanusiaan juga termasuk kejahatan perang. Selain itu, evakuasi paksa warga sipil Gaza yang dilakukan oleh Israel, menurut ketentuan yang berlaku, adalah ilegal dan harus memungkinkan warga sipil untuk segera kembali ke tempat asal mereka setelah kondisi memungkinkan.

Hukum Humaniter Internasional (HHI), yang merupakan bagian dari hukum internasional, berfungsi untuk melindungi korban dalam konflik bersenjata serta membatasi taktik dan senjata yang digunakan dalam perang. HHI terdiri dari serangkaian konvensi dan protokol, seperti diatur dalam Konvensi Jenewa (IV) dan Protokol Tambahan I, yang melarang penggunaan senjata kimia dan menuntut perlindungan khusus bagi warga sipil dan infrastruktur vital seperti rumah sakit.

Israel, dalam konfliknya dengan Palestina, dituduh melanggar berbagai instrumen HHI dengan serangan yang menyasar warga sipil, pengeboman rumah sakit, penggunaan bom fosfor putih, serta blokade berkelanjutan terhadap Gaza yang mencakup kontrol atas perairan, ruang udara, dan pergerakan orang serta barang.

Di bawah HHI, negara harus memastikan hak-hak individu di bawah kendalinya tanpa memandang tindakan pihak lawan, dan pelanggaran terhadap norma ini, termasuk serangan sengaja atau hukuman kolektif, dianggap sebagai kejahatan perang. Jika suatu negara tidak mampu atau tidak mau menuntut pelanggaran ini, kasus tersebut dapat diadili oleh Pengadilan Kriminal Internasional.

Yurisdiksi ICC dalam Mengadili Konflik Palestina-Israel

Pada serangan balik di Gaza pada Oktober 2023, serangan udara menyebabkan banyak korban jiwa di kalangan warga sipil dan kerusakan fasilitas umum. Berdasarkan Pasal 7 Statuta Roma tentang “Kejahatan terhadap Kemanusiaan” dan Pasal 8 tentang “Kejahatan Perang”, tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis terhadap populasi sipil termasuk dalam kategori ini. Pasal 8 ayat 2 Statuta Roma menyatakan bahwa pelanggaran serius terhadap Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, yaitu tindakan tertentu terhadap orang atau properti yang dilindungi oleh Konvensi Jenewa, juga merupakan kejahatan perang.

Dalam hal ini, serangan militer Israel pada Oktober 2023 dianggap sebagai kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal tersebut memiliki arti bahwa ICC memiliki kewenangan penuh untuk menuntut pelanggaran ini. Menurut Statuta Roma, ICC berfungsi sebagai pelengkap yurisdiksi nasional, dan perjanjian ICC telah diratifikasi oleh 139 negara. Perjanjian ini membentuk sistem baru yang menghubungkan sistem pengadilan nasional dan internasional untuk menangani kejahatan berat seperti kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida.

Hambatan Terkait Tidak Diratifikasinya ICC oleh Israel

Melihat ketidakbertanggungjawaban Israel terhadap pelanggaran terhadap masyarakat sipil Palestina serta ketidakmampuan yurisdiksi ICC dalam menangani kejahatan perang dan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel terhadap penduduk sipil Palestina, penyebab utamanya adalah karena Israel tidak meratifikasi perjanjian ICC.

Awalnya, pada tahun 1950-an Pemerintah Israel sangat mendukung dan terlibat secara aktif dalam pengembangan Konsep Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan implementasinya dalam Statuta Roma terkait sejarah kelam negaranya, yakni Holocaust. Pemerintah tersebut dengan bangga mengakui pentingnya keberadaan pengadilan yang efektif untuk menegakkan hukum dan mencegah impunitas.

Namun, pada tahun 2002, Israel mencabut tanda tangannya dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) sesuai dengan ketentuan Pasal 127 Statuta Roma, yang mengizinkan suatu negara untuk mundur dari ICC dan berlaku efektif sejak 1 tahun setelah notifikasi diserahkan. Posisi Israel sebagai negara non-anggota membatasi ICC dalam melaksanakan yurisdiksinya, mengingat Israel sering kali menekankan prinsip kedaulatan negara sebagai pembatas yurisdiksi ICC, yang pada gilirannya menghambat kemampuan ICC dalam melakukan penyelidikan.

Kendati demikian, meskipun ICC tidak memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan di negara non-anggota, terdapat pengecualian di mana yurisdiksi tersebut dapat berlaku jika negara yang bersangkutan menyetujui atau jika Dewan Keamanan PBB mengarahkan kasus tersebut ke ICC sebagaimana diatur pada Pasal 13 Statuta Roma 1998.

Referensi

https://doi.org/https://doi.org/10.1163/18781527-bja10075

https://www.researchgate.net/publication/380352574_ICC_Jurisdiction_Against_Israeli_War_and_Humanitarian_Crimes_Targeting_Palestinian_Civilians_2023

https://www.icc-cpi.int/news/statement-icc-prosecutor-karim-aa-khan-kc-applications-arrest-warrants-situation-state

https://www.jurist.org/features/2024/03/19/explainer-part-ii-the-israel-hamas-war-and-the-international-court-of-justice/

Yuvan Adhe Ananta Wibowo
Yuvan Adhe Ananta Wibowo
Mahasiswa S1 Ilmu Hukum Universitas Airlangga
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.