Kamis, Mei 9, 2024

Palestina dan Kematangan Mental

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.

Sutan Sjahrir, Perdana Menteri Indonesia pertama, di usia 17 tahun sudah aktif di sebuah kelompok teater, yang hasil pementasannya ia gunakan untuk mendirikan dan membiayai sebuah sekolah, Tjahja Volksuniversteit, Cahaya Universitas Rakyat. Sejak masih bersekolah di MULO (sekolah menengah), ia melahap buku-buku asing dan ratusan novel Belanda, dan pada malam harinya ia mengamen di Hotel De Boer, hotel khusus untuk tamu-tamu Eropa.

Semua kegiatan yang terlihat ‘dewasa sebelum semestinya’ tidak berhenti sampai di situ saja. Di usia yang sangat muda itu, ia membuat klub debat di sekolah. Sjahrir aktif membuat masyarakat sekitarnya melek huruf secara gratis, terutama anak-anak dari keluarga tak mampu. Aktivitas sosial itu mengantarkannya pada level yang lebih serius: aktivitas politik. Di usia 18 tahun, 1927, Sjahrir termasuk dalam 10 pemuda yang mendirikan Jong Indonesie, yang kelak bernama Pemuda Indonesia, motor penggerak Kongres Pemuda Indonesia pada 1928.

Di Eropa 1930, ketika melanjutkan pendidikan di Belanda, menggeluti pemikiran Sosialisme, dan aktif di Perhimpunan Indonesia, bersama Mohammad Hatta, Sjahrir yang berusia 20 tahun sudah aktif menulis kritik untuk Pemerintah Indonesia yang sedang bengis-bengisnya terhadap berbagai organisasi pergerakan nasional.

Sjahrir dan Hatta rajin menulis di Daulat Rakjat, majalah milik Partai Nasional Indonesia. Sjahrir sudah merumuskan idealnya pendidikan rakyat dan menghubungkannya dengan visi politik. “Pertama-tama,” katanya dengan lugas namun sederhana, “marilah kita mendidik, yaitu memetakan jalan menuju kemerdekaan.”

Seorang anak muda, di usia yang baru 20 tahun, sudah selangit itu untuk standar kebanyakan anak muda kiwari. Di usianya yang 25, dia sudah ditangkap Belanda karena aktivitas politiknya di Tanah Air, dan dibuang (bersama Mohammad Hatta) ke Boven Digoel, dan dipindahkan setahun kemudian ke Banda Neira, menjalani masa pembuangan selama enam tahun.

Tokoh bangsa yang melakoni tirakat ‘dewasa sebelum semestinya’ bukan hanya Sjahrir. Seorang Mohammad Ibnu Sayuti, atau yang lebih dikenal sebagai Sayuti Melik (tokoh yang mentik naskah proklamasi), sudah dibuang ke Boven Digoel pada 1927, di usianya yang 19 tahun karena aktivitas politiknya. Ia menikah dengan SK. Trimurti, tokoh pers perempuan Indonesia, dan keduanya mendirikan Koran Pesat di Semarang, yang terbit 3 kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Pasutri itu bergiliran masuk penjara karena tulisan-tulisan yang sangat kritis terhadap Belanda.

Soekarno, mungkin lebih banyak dikenal sebagai proklamator kemerdekaan dan presiden pertama yang berkuasa selama bertahun-tahun. Namun tak banyak yang tahu (karena tak banyak membaca?), Soekarno di usia 17 tahun sudah aktif menulis pandangan-pandangan politiknya di harian Oetoesan Hindia yang dipimpin oleh Tjokroaminoto, ‘bapak kos’ sekaligus guru politiknya. Ia aktif terlibat dalam diskusi dengan tokoh pergerakan bangsa saat itu, seperti Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker. Di usia yang muda itu, ia sudah punya visi pembebasan yang matang.

Sebagai anggota Jong Java sejak 1915 (di usianya yang 14 tahun), ia sudah sering menggemparkan sidang-sidang organisasi karena berpidato dengan bahasa Jawa ngoko (kasar). Ia juga menyebabkan perdebatan panjang dan sengit karena menganjurkan penggunaan bahasa Melayu untuk surat kabar Jong Java, tidak lagi berbahasa Belanda. Soekarno mendirikan sebuah partai politik, PNI, di usianya yang 25 tahun.

Tentu saja ada perbedaan antara visi politik dulu dan sekarang. Partai politik sekarang, menurut pendapat Francis Wahono (Direktur Yayasan Cindelaras Paritrana, Yogyakarta), adalah perwujudan feodal yang terang-terangan memihak kepentingan feodalistik dan kaum pemodal yang ada di baliknya. Sementara partai-partai politik yang didirikan di masa pergerakan nasional senada esensinya dengan ‘pergerakan’ itu sendiri. Partai politik adalah ‘jalan mulia mengayom rakyat’, dan kepemimpinan politik adalah seni menderita untuk melayani kepentingan orang banyak.

Poin menarik dari seluruh cerita di atas adalah, kehidupan yang sulit, seperti masa pahit kolonialisasi (yaitu masa ketika ruang hidup yang seharusnya luas menjadi sempit karena ada pihak yang memang secara sadar menyempitkannya demi meluaskan ruang hidupnya sendiri), sanggup melahirkan manusia yang matang dalam kepribadian. Rintangan yang berlapis-lapis menuntut manusia mengerahkan potensi-potensi tersembunyi. Ada kesadaran, semangat, dan energi berlebih yang mendorong agar tidak mau kalah (lagi), dan menjadi bebas (kembali).

Dorongan itulah yang membuat bumiputera yang beruntung bisa bersekolah memaksimalkan studi mereka.  Tan Malaka dan Haji Agus Salim adalah contoh mereka yang dikenal gemilang dalam prestasi akademik. Mereka dipandang sebelah mata, namun tumbuh mengalahkan putera puteri kolonial.

Tentu saja, kondisi sulit di masa pergerakan nasional berbeda dengan kondisi sulit pelosok-pelosok Indonesia di era Orde Baru. Rata-rata yang mengisi pemerintahan atau kontestasi politik hari ini adalah mereka yang dibesarkan dalam kondisi sulit daerah-daerah era 60 hingga 80-an. Mereka memilih sekolah saat sekolah masih bukan menjadi prioritas utama masyarakatnya. Mereka bersekolah sembari tetap bertani dan beternak, dan pekerjaan-pekerjaan sulit lainnya. Jarak jauh ditaklukkan dengan jalan kaki. Generasi tangguh muncul dari zaman itu, namun yang kurang adalah kesadaran politik progresif.

Bisa diambil kesimpulan bahwa, bukan sekedar kondisi sulit yang melahirkan kesadaran politik revolusioner, melainkan “Kesadaran akan adanya musuh bersama yang secara nyata merampas hak-hak dasar manusia.” Kondisi itu membuat percepatan perkembangan mental manusia zaman itu. Itulah yang terjadi pada Sutan Sjahrir, Sayuti Melik, Soekarno, Hatta, dan tokoh bangsa lain yang dibesarkan era pergerakan nasional. Generasi yang memperjuangkan tidak hanya kenyamanan mereka sendiri.

Itu pula yang sedang terjadi di Palestina, hari ini.

Dalam banyak video yang beredar, bocah Palestina bahkan mampu berorasi dengan sangat tegas dan lugas; mereka berbahasa dengan bahasa orang dewasa. Mereka mengekspresikan aspirasi politik di usia yang masih sangat belia. Di tengah kengerian dan kesedihan kita atas apa yang terjadi di Palestina, fenomena percepatan kematangan mental itu membuat kita terhibur. Di tengah huru hara, manusia-manusia besar yang akan meneruskan perjuangan, terus menerus bermunculan. Perjuangan tak akan pernah padam.

A.S. Rosyid
A.S. Rosyid
Penulis dan Peneliti di Komunitas Riset Akademi Gajah. Menekuni etika Islam, etika lingkungan hidup dan dunia literasi.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.