Soekarno memiliki obsesi unik terhadap kehadiran negara Republik Rakyat Tiongkok saat era pasca kemerdekaan. Model pembangunan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) diyakini oleh Soekarno sebagai jalan alternatif modernisasi Indonesia yang berada di tengah pusaran Perang Dingin antara Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Pada saat itu, Soekarno tampil sebagai pemain yang mengatur lalu lintas interaksi politik Indonesia-Tiongkok di pentas global. Tidak tanggung-tanggung dalam pidato yang terkenal bertajuk To Build World A New, di New York, 30 September 1960, nama Republik Rakyat Tiongkok diusulkan sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pertimbangan Soekarno cukup realistis, Republik Rakyat Tiongkok memiliki sejarah peradaban yang kuat dan memiliki daya kekuatan ekonomi politik sehingga sangat layak untuk diikutsertakan dalam perbincangan masalah dunia.
Pun di masa mudanya, Soekarno memberi tempat khusus bagi nasionalisme Asia yang salah satunya terwakili dalam pemikiran Sun Yat Sen. Soekarno berpendapat nasionalisme atas dasar “Roch Asia” sebagai eksemplar nasionalisme Ke-Timur-an yang berupaya mencari selamatnya manusia dan kesejahteraan sosial.
Dalam tulisan berjudul Indonesianisme dan Pan-Asiatisme yang dirilis Suluh Indonesia Muda tahun 1928, Soekarno menuliskan munculnya kesadaran persatuan serta persaudaraan antara bangsa Indonesia dan bangsa Tionghoa yakni sebagai sesama bangsa Timur, sesama bangsa yang sengsara dan berjuang menuntut kehidupan yang bebas. Melalui teks tersebut mulai bisa diraba garis politik luar negeri yang bakal dijalani oleh Soekarno semasa kepemimpinannya yaitu bersahabat dengan Tiongkok.
Hong Liu, seorang sejarawan dalam bukunya berjudul Sukarno, Tiongkok dan Pembentukan Indonesia (1949-1965) memberikan istilah menarik yaitu Metafora Tiongkok. Metafora yang meletakkan Tiongkok sebagai arena perdebatan alternatif pembangunan ekonomi, politik, budaya yang nantinya merembes ke dalam kebijakan politik dan keseharian masyarakat Indonesia.
Interaksi antara Indonesia-Tiongkok saat era pasca-kemerdekaan ini menarik sebab Tiongkok justru tidak dilihat sebagai kehadiran negara komunis namun kedekatan geografis dan historis yaitu sesama bangsa Timur, kesamaan nasib yaitu pernah dijajah dan teladan etos kerja yang setidaknya berguna bagi negara-negara yang baru saja merdeka.
Soekarno sebagai intelektual politik dalam amatan Hong Liu menjadikan Tiongkok referensi model revolusi, sistem politik, penataan sosial-budaya dan solidaritas sesama bangsa. Tiongkok dibayangkan sebagai perwakilan dari apa yang dinamakan membangun negara sesuai dengan karakter “Ke-Timur-an”.
Kelak cita-cita ini diwujudkan dalam istilah Poros Jakarta-Beijing. Setelah Indonesia-Tiongkok sama-sama naik daun dalam Konperensi Asia-Afrika 1955, Soekarno mulai tertarik mempelajari pengalaman RRT dalam hal bagaimana menata formasi negara. Tahun 1956, setelah kunjungan pertamanya ke RRT sebagai Presiden Republik Indonesia, Soekarno mengambil contoh demokrasi Tiongkok sebagai jawaban atas kacaunya Demokrasi Parlementer.
Eksperimen politik dalam negeri yang kelak dinamakan Demokrasi Terpimpin ini terinspirasi model kenegaraan dari pemimpin RRT, Mao Tse Tung yaitu kepemimpinan yang kuat.
Model kenegaraan macam ini dianggap ideal sebab merupakan kombinasi antara harmoni sosial, kepemimpinan ideologis, mobilisasi politik warganegara, serta kesatuan nasional. Benih gagasan ini mulai muncul saat Soekarno merilis pidato berjudul Indonesia, Pilihlah Demokrasimu jang Sedjati tahun 1956 dan dengan alasan mengembalikan elan revolusi Indonesia yang belum selesai dinyatakanlah pidato Menjelamatkan Republik Proklamasi: Konsepsi Bung Karno, tanggal 21 Februari 1957.
Pidato ini semacam kata pengantar menuju Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan periode Demokrasi Terpimpin. Inti utama naskah pidato ini adalah rencana untuk merombak struktur politik Indonesia yang semula Demokrasi Parlementer menuju Demokrasi Terpimpin. Soekarno berpendapat demokrasi ini sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Hal ini bisa dicapai melalui pembentukan Kabinet Gotong Royong dan Dewan Nasional.
Format politik ini semakin mengeras saat idiom baru diperkenalkan dalam struktur kenegaraan Indonesia yaitu Manipol Usdek (Manifesto Politik-UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Pelan-pelan haluan negara Indonesia memusatkan Soekarno panglima tertinggi politik Revolusi Indonesia hingga di akhir masa kekuasaannya tahun 1966.
Setelah Soekarno jatuh dari kursi kekuasaan, gagasan yang melingkupi sosok Presiden pertama ini dilucuti dan dianggap “menyeleweng” dari ajaran Pancasila oleh Orde Baru. Setali tiga uang, segala inspirasi modernisasi Tiongkok yang diserap Soekarno turut terinterupsi.
Kondisi ini semakin diperparah dengan Tiongkok yang dituduh dalang peristiwa Gerakan 30 September sehingga berujung pada penyerbuan Kedutaan Besar RRT tahun 1966, sentimen anti-warga keturunan Tionghoa disusul pembekuan kegiatan diplomatik hingga awal 1990-an. Membicarakan gagasan Poros Beijing-Jakarta yang sebenarnya sah-sah saja dalam khazanah diplomatik dianggap terlarang. Ironisnya, meski relasi diplomatik sudah dipulihkan antara Indonesia-Tiongkok.
Sampai sekarang, frasa Tiongkok selalu ditempatkan dalam perspektif paranoid dan dicurigai sebagai ancaman. Kita bisa mengurutkan beragam desas-desus yang dianggap sebagai ancaman Tiongkok, semisal tenaga kerja asing yang dibalut ujaran kebencian bernada rasial. Walhasil, niat untuk menjadikan hubungan antar bangsa kembali berlandaskan saling berbagi inspirasi akan semakin jauh panggang dari api.