Persoalan Papua sampai hari ini menggoreskan sejarah mendalam betapa rapuhnya hubungan Pemerintahan Pusat dengan daerah. Gejolak yang terjadi di Papua memperlihatkan betapa banyaknya masalah-masalah serius yang belum diselesaikan oleh pemerintah pusat sampai hari ini.
Berbagai persoalan seperti kemiskinan, pendidikan, infrastruktur, kesehatan, pengelolaan sumber daya, ekonomi, sosial, politik, rasisme, kesejahteraan, Hak Asasi Manusia, pengangguran dan lainnya menjadi masalah yang mewarnai silang sengkarut gejolak-gejolak konflik di Papua. Masalah Papua tidak semudah dalam mengatur kebijakan desentralisasi asimetris seperti halnya di DI Yogyakarta, Aceh, atau DKI Jakarta.
Namun, dengan format ekonomi, geografis, politik, sosial, dan budaya yang ada di Papua justru akan menambah keruwetan konflik di Papua. Pemerintah pusat dalam hal ini dituntut untuk menemukan format dalam mengatur hubungan pemerintah pusat dengan daerah, khusus Papau. Ada perlakuan yang memang harus ditemukan bagaimana meredam dan meminimalisir gejolak di Papua.
Berbagai kebijakan telah ditempuh untuk meredam masalah di wilayah ini, seperti yang santer didengung-dengungkan adalah kebijakan desentralisasi asimetris melalui turunan kebijakan yang dikenal dengan otonomi khusus Papua. Pertanyaanya adalah setelah dua dekade berjalan, apakah otonomi khusus Papua dalam rangka implementasi kebijakan desentralisasi asimetris sukses dan berhasil di laksanakan di Papua?
Kebahagaian yang ilusi
Perjalanan dana otonomi khusus Papua tidak mampu mengubah Papua menjadi lebih baik. Jika dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia, Papua menjadi cenderung tertinggal dari segala aspek. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah Papua menjadi salah satu wilayah di Indonesia dengan kaya akan sumber daya alam yang melimpah? Ke mana kekayaan itu mengalir?
Pertanyaan yang kerap kali membingungkan jika diukur secara logika. Hal ini didasarkan pada asumsi kesejahteraan bagi Papua. Bagaimana bisa merasa miskin di wilayah yang kaya sumber daya alam. Semestinya kekayaan sumber daya alam itu justru semakin menguatkan kapasitas fiscal di Papua itu sendiri.
Hari ini otonomi khusus hanya menjadi wacana kesejahteraan Papua belaka. Terlebih isu actual Gubernur Papua tersandung kasus korupsi dana otonomi khusus. Data BPS menunjukkan bahwa Papua di tahun 2020 menjadi provinsi termiskin di Indonesia dan diikuti oleh angka Human Development Index (IPM). Tingkat kemiskinan di Bumi Cenderawasih ini mencapai 26,8% dengan diikuti oleh Papua Barat sebesar 21,7%. Angak tersebut di atas rata-rata nasioan pada Sepetember 2020 yang hanya mencapai 10,19%. Sementara dalam angka HDI di Papua tahun 2020 sebesar 60,44.
Angka tersebut menurun sebesar 0,40 poin dibandingkan tahun 2019. Jika keadaan tersebut terus berlanjut maka kesejahteraan Papua tidak akan terwujud dengan baik. Hadirnya desentralisasi asimetris mungkin bisa menyelesaikan persoalan di Yogyakarta, Aceh, namun tidak untuk Papua. Maka dalam hal ini perlu kesungguhan pemerintah pusat dalam menemukan format yang cocok dalam menyelesaikan masalah Papua. Ini adalah pembelajaran berharga bagi pemerintah pusat untuk menyelaraskan kebijakan yang adaptif bagaimana menata hubungan pusat dan daerah.
Mengurai atau mempertahankan konflik?
Kebijakan otonomi khusus Papua sebetulnya diciptakan untuk mereduksi gejolak konflik di Papua. Namun, nampaknya pemerintah gagal memahami bahwa otonomi khusus Papua tidak mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Ada kegagapan Pemerintah Pusat dalam menata Papua sebagai satuan pemerintahan daerah.
Justru dengan otonomi khusus yang tidak dikawal dengan baik dan cenderung dikelola secara elitis maka akan semakin melebarkan kesenjangan yang ada di Papua. Refleksi kritis kebijakan otonomi khusus Papua hanya menjadi kebijakan jangka pendek dan itu tidak mampu menjangkau kesejahteraan di tingkat bawah. Jika kondisinya seperti itu, maka konteks dan realitas itu sangat bertentangan dengan semangat desentralisasi asimetris.
Desentralisasi yang digadang-gadang mampu menjadi penyelesaian atas segala persoalan hubungan pemerintah pusat dan daerah dengan melihat faktor kewilayannya. Oleh karenanya otonomi khusus sebagai kepanjangan desentralisasi asimetris perlu dikaji kembali dengan mempertimbangkan kembali format apa yang sesuai dengan karakter persoalan yang ada di Papua.
Kebijakan otonomi khusus Papua setelah berjalan dua dekade lamanya nampaknya tidak mengubah keadaan Papua yang sangat signifika. Padahal bersamaan dengan otonomi khusus maka berimbas pada digelontorkanya dana otonomi khusus bagi Papua. Tidak maian main bahwa jumlahnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang sangat fantastis.
Tahun ini dana otonomi khusus bagi Papua akan habis di tahun ini. Namun lagi lagi dana otonomi khusus Papua dan Papua Barat oleh pemerintah pusat akan diperpanjang kembali hingga 20 tahun ke depan. Dana otonomi khusus tersebut dinaikkan dari 2% menjadi 2,25% dari dana alokasi umun (DAU) sehingga total dana yang akan dikucurkan hingga 2041 berpotensi mencapai Rp. 234,6 triliun.
Semangat UU No 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Papua yang kemudian diterjemahkan dalam kebijakan turunan seperti pengucuran dana otonomi khusus perlu dievaluasi kembali. Jika melihat capain dan output yang diharapkan dengan adanya regulasi ini, maka ada pertentangan dengan seharusnya.
Melalui kucuran dana otonomi khusus Papua yang dari tahun semakin meningkat, maka secara rasional juga akan diikuti oleh elemen lainya. adanya peningkatan kehidupan warga Papua yang layak, akses kesehatan yang merata, akses pendidikan yang kredibel, bahkan pembangunan sarana dan prasarana yang menutup kesenjangan antara Papua dengan wilayah lainya. itu adalah realitas yang seharunya terjadi. Namun lagi dan lagi kebijakan otonomi khusus terus dilanjutkan tanpa hasil yang tidak cukup menggembirakan.