Dalam surat kiriman yang bergandengan dengan salam tahun baru untuk Lie Tie Gwan, selain berbicara mengenai perintisan Sastra Revolusioner, Sastrawan Pramoedya Ananta Toer bermanifestasi ihwal kerja-kerja sastra. Dalam duduk soalnya, ketika politik kadung buntu, tak bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri, maka sastra harus merebut panggung. Sastra mengambil pimpinan.
Bukan untuk memantulkan suatu kejadian, melainkan “Mengubah kenyataan-kenyataan hulu menjadi kenyataan sastrawi, yang membawa pembacanya lebih maju daripada yang mapan,” tandasnya, dalam tulisan yang berbeda.
Dalam keyakinan saya, jika setiap bidang —untuk kebutuhan kemanusiaan— dapat dipandang melalui sudut terjauh dan terluar sekalipun, maka sahihlah apabila fungsi sastra dipandang dan dijalankan sesuai politik identitas suatu kelompok manapun.
Seperti yang dikehendaki Pram tersebut, misalnya: menghindarkan sastra dari kaul kesucian, yang larut dalam petapaannya di atas gunung, yang terkurung dalam sangkar stereotip “seni hanya untuk seni”.
Mungkin itu bisa menjadi praduga yang lebih subtil, “tidak terlalu serampangan” bagi penulis apolitis manapun, jika memang, mereka yang di seberang sana enggan didakwa tidak cukup nyali untuk menghadapi politik.
Tentu, tafsiran politik bisa dibentangkan seluas-luasnya. Keinginan mendorong dunia ke arah tertentu, atau mengubah paradigma masyarakat tentang sebuah gagasan atas dunia macam apa yang seharusnya diperjuangkan pun tak berada di luar mainstream dari arti politik itu sendiri.
Sebagaimana yang dahulu gencar dilakukan Orwell: mengusik kemapanan sastra yang asyik-masyuk dengan dirinya sendiri tersebut. Alih-alih membenamkan diri pada kesusastraan yang mendayu-dayu, ia justru mengawinkan sastra dengan politik secara gamblang. Ia bermain-main seserius mungkin dengan sastra, untuk mencapai politik pengaruh pada masanya.
Orwell jelas-jelas jahanam, keblinger tiada ampun. Tak termaafkan oleh penulis-penulis moralis.
Politik Bahasa Orwellian
Jalan menuju kemahsyuran George Orwell diratakan oleh kehadiran dua novelnya, 1984 dan Animal Farm. Kedua karya agungnya tersebut menjadi novel propaganda, alegori satir atas situasi perpolitikan rezim Stalin di Uni-Soviet. Orwell yang mendukung sosialis-demokrat itu merasa jijik, dan berteguh melawan totalitarianisme lewat tulisannya.
Animal Farm lahir mendahului saudaranya, 1984. Bagi Eka Kurniawan, salah seorang penulis kontemporer Indonesia, magnum opus Orwell tersebut dapat dikatakan sebagai novel yang buruk, tapi hebat. Buruk, karena membuat revolusi tampak pesimistis: berakhir pada pengkhianatan, hilang kendali dan menjadi otoriter.
Tapi sekaligus hebat, karena pesan propaganda ditampilkan dalam bentuk fabel, sehingga ramah dibaca oleh anak-anak. Anak-anak adalah anak-anak, tapi “sekali pesan masuk ke kepala mereka […] akan sulit dikeluarkan kembali,” tutur Eka.
Dalam 1984, Orwell mendongengkan sebuah kisah distopia. Kematangan narasi politiknya, serta bahasa yang dimaksimalkan untuk menggambarkan keadaan, membuat pembaca seperti saya menjadi geram. Dibanding novel pendahulunya, jelas kengerian dunia totaliter yang dibangun Orwell begitu pekat dalam setiap lembarnya. Seolah hari esok benar-benar tak menawarkan apa-apa. Jangankan kebebasan untuk bersuara, melawan sejak dalam pikiran pun dapat mengundang pembinasaan yang tak berbekas.
Orwell memang piawai mendongeng. Tapi ia tidak tenggelam sepenuhnya dengan mendongeng, tentunya. Ada semacam peringatan (dari sekian banyak pesan yang disisipkan), dalam kedua dunia imajinatif yang dibangunnya: kekuasaan berkaitan erat dengan bahasa.
Bahwa sampai titik di mana panggung kekuasaan sudah mulai digelar, di situ bahasa bukan lagi menjadi alat komunikasi dan argumentasi semata. Melainkan, meminjam istilah a la Rocky Gerung, sebagai: alat rejimentasi. Ini mengacu pada medan politisasi penguasa untuk menciptakan kontrol, kepatuhan.
Dalam politik, bahasa menjadi instrumen untuk meneguhkan, mengoperasikan dan “membudayakan” kekuasaan melalui aparatus pengetahuan. Sebab dengan cara itu kekuasaan menjadi aktivitas sosial yang diterima sebagai kebutuhan umum. Sebagai sesuatu yang meluruhkan nalar. Meninabobokkan perlawanan.
Semisalnya. Sebagai tokoh penguasa, Bung Besar dalam 1984, mencoba memonopoli “kebenaran absolut” versinya. Dengan teknologi hegemoni yang sistematik, dikerahkannya pemerintah Oceania membuat kamus bahasa Inggris versi Newspeak. Ini merupakan usaha penguasa untuk merobek-robek pikiran massa, dan kemudian, mempertautkannya kembali menjadi bentuk baru sesuai pilihannya.
Dalam tataran yang lebih elementer, Bung Besar yang selalu mengawasi itu, mempermainkan bahasa dalam slogan yang tersebar di segala tempat secara ironis: “Perang adalah damai; Kebebasan adalah perbudakan; Kebodohan adalah kekuatan” Ini mengingatkan saya pada menjamurnya slogan “NKRI harga mati.”
Betapa pun hanya slogan, tapi ia dapat mengubah warna moral sebuah tindakan. Coba bayangkan, berbekal pledoi slogan tersebut, maka membunuh segala yang berbau anti-NKRI diharapkan dapat diterima secara lumrah. Kengerian ini adalah bom waktu, yang sewaktu-waktu dapat meledak secara monumental.
Laiknya yang sudah-sudah: baik dirayakan dengan sukacita sembari merapal doa; atau sambil menghisap sedikit ekstasi, goyang cha-cha, dan membunuh di bawah kendali fantasi. Untuk urusan itu, Anwar Congo pasti mengerti betul.
Jangan kira hanya manusia saja yang mampu. Seekor Babi Napoleon yang culas pun sanggup memainkan bahasa sehalus mungkin di peternakan hewannya. “Semua Binatang adalah setara, namun beberapa binatang lebih setara dari yang lainnya”. Hal semacam demikian diharapkan mendorong konsentrasi akses dan sumber penghidupan yang lebih kepada sang penguasa ketimbang binatang lainnya.
Seolah bercermin. Dengan dalih, “atas nama rakyat”, “pembangunan”, kerapkali para wakil rakyat pun diloloskan menghisap banyak uang dari kantung tuannya sendiri: rakyat. Dan kita, rakyat yang baik hati, hanya mengerti untuk mengamini saja.
Kredo praktik totaliterianisme Orwellian semakin mengemuka. Bahwa menaklukkan manusia adalah soal menaklukkan pikiran dan psikisnya, maka permainan bahasa menjadi sedemikian pentingnya. Politik bahasa Orwellian menawarkan keefektifan —yang diupayakan sama kuatnya — di samping opresi militer dalam mengamankan politik rejimentasi.
Belakangan, peradaban berkembang. Pesta demokrasi memang sudah seharusnya digalakan. Tapi ia justru dijadikan tirani oleh kebebasan yang kebablasan. Kontrol akan sarana artikulasi bahasa kian disiasati oleh elite dan pemodal dengan menguasai media.
Dan untuk menyingkirkan lawan mereka hari ini, cukup dengan bersenjatakan strategi linguistik yang menghujam, semacam ujaran kebencian, demagogi, hingga hoax, eh? Hoax membangun?
Di hari ini, tepat 68 tahun sudah usia kematian Orwell. Seketika, saya jadi membayangkan, diantara hiruk-pikuk persoalan yang semakin pelik, mungkin ia sedang berpesta, merayakan epiknya di dalam kubur. Sedangkan kita, menyesapi mimpi-mimpi buruk cerita distopianya—yang sayangnya kelewat nyata.
Referensi
[1] Ernst Ulrich Kratz, Sumber Terpilih Sejarah Sastera Indonesia Abad XX, (KPG), 2000
[2] Esai Eka Kurniawan, Animal Farm
[3] Esai George Orwell, Why I Write