Jumat, April 26, 2024

Orde Baru, Prabowo dan Minang

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang

Salah satu narasi politik yang tetap dianggap berpotensi “menganggu” elektabilitas capres Prabowo Subianto dalam kontestasi Pilpres 2019 adalah narasi politik tentang (ancaman) bahaya laten Orde Baru. Asumsinya, jika Prabowo menang dalam Pilpres 2019, mantan Danjen Kopassus itu akan menjadi “reinkarnasi” penguasa otoriter Orde Baru.

Namun mengapa narasi minor tentang Orde Baru yang dialamatkan pada sosok capres Prabowo itu tidak mangkus mempengaruhi beberapa kelompok masyarakat, di antaranya Sumatera Barat? Mengapa dalam isu yang bernuansa “kontestasi historis” ini, masyarakat Sumbar seolah lebih perhatian pada isu ancaman kebangkitan komunis dan PKI dibandingkan bahaya laten Orde Baru?

Pada Pilpres 2014 lalu, narasi bahaya laten Orde Baru ini juga sudah dimunculkan, tapi hasilnya Prabowo yang berpasangan dengan Ketua Umum PAN Hatta Radjasa memperoleh dukungan 77 persen suara di Sumbar, berbanding 22 persen yang diperoleh Jokowi yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, politisi senior yang notabene sumando (beristrikan) perempuan Minang.

Perspektif Historis

Kecenderungan preferensi warga Sumbar pada narasi “antikomunis” dibandingkan narasi “anti-Orde Baru” tentu tentu memiliki latar belakang sejarahnya sendiri. Pengalaman daerah Sumbar menunjukkan, bahwa masa-masa yang dianggap sebagai “kejayaan” kaum komunis di era Demokrasi Terpimpin (1958-1965) justru berbarengan dengan masa-masa “keterpurukan” peran politik dan intelektual Minang di pentas nasional.

Sejarah mencatat, penumpasan pemberontakan PRRI (1958-1961) dan pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia oleh Presiden Soekarno tahun 1960 karena sejumlah pemimpin kedua partai dituduh terlibat dalam gerakan politik kedaerahan tersebut justru telah menjadi “titik balik” bagi peran kesejarahan Sumbar dan Minang secara umum.

Jika di masa sebelumnya suku bangsa Minang dianggap pionir bagi kelahiran negara kebangsaan Indonesia modern, maka pasca-PRRI, peran-peran kepeloporan tersebut dianggap sudah jauh merosot.

Tidak hanya itu, banyak kesaksian menceritakan tentang bagaimana masyarakat Sumbar yang banyak terlibat dalam PRRI melihat dan merasakan beban   psikologi sosial yang berat pascagerakan itu. Beban psikologis itu tak hanya karena banyaknya korban jiwa di kalangan warga Sumbar dan kerusakan fisik (infrastruktur) yang luar biasa pasca-PRRI, tetapi juga munculnya stigma sosial politik sebagai “pemberontak” (Zed et al, 1996).

Orde Baru

Keadaan kemudian berubah pasca-runtuhnya Demokrasi Terpimpin dan tampilnya rezim Orde Baru sebagai pemegang kekuasaan baru menyusul kegagalan Gerakan 30 September 1965 yang menempatkan PKI dan idiologi komunis sebagai “terdakwa resmi” dalam peristiwa makar itu.

Orang Minang justru melihat tampilnya Orde Baru di atas “reruntuhan” rezim Demokrasi Terpimpin sebagai kesempatan “membangkitkan batang terendam”.

Dukungan maksimal masyarakat Minang terhadap rezim Orde Baru pada akhirnya tidak hanya dipahami dalam konteks pragmatisme politik, tetapi juga idiologis. Secara pragmatis, mendukung penuh pemerintahan Orde Baru adalah pilihan rasional sebagai kesempatan membangun kembali Sumbar dari keterpurukan akibat pergolakan politik masa-masa sebelumnya. Secara idiologis, kuatnya resonansi warga Minang atas kehadiran negara Orde Baru lebih karena adanya pertautan sikap antikomunisnya.

Terlepas adanya rekayasa politik, namun kemenangan besar Golkar di Sumbar selama pemilu-pemilu Orde Baru dapat dipahami dalam konteks bahwa daerah ini memang mengalami kemajuan pembangunan yang pesat di era pasca-Soekarno.

Begitu pula konteks banyaknya tokoh Minang bergabung dalam pemerintahan, terlepas hal itu sebagai bagian politik akomodasi Soeharto. Bahkan sejumlah tokoh Minang, seperti Emil Salim dan Alfian, bahkan ikut menjadi tim arsitek pembangunan ekonomi maupun politik di masa awal Orde Baru.

Tidak heran pula ketika datangnya era reformasi (1998) yang meruntuhkan kekuasaan Orde Baru, kalangan Minang tidak serta merta tertarik dengan narasi “anti-Orde Baru” sebagaimana disuarakan kalangan reformis kota maupun para korban politik rezim Soeharto lainnya. Kemenangan Partai Gokar dalam Pemilu 1999 yang demokratis justru menunjukkan kurang populernya narasi anti-Orde Baru di kalangan masyarakat Sumbar, terutama di nagari-nagari (desa-desa di Minangkabau).

Menarik juga melihat, bahwa gerakan reformasi di Sumbar juga tak serta merta membalikkan orientasi politik Minang lama. Partai-partai Islam yang untuk sebagian diasosiasikan dengan politik Islam dalam spektrum politik idiologis dekade 1950-an kalah suara dari Beringin dalam Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004.

Hasil Pilpres 2004 (dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla) dan Pileg/Pilpres 2009 (Partai Demokrat/SBY-Boediono) di Sumbar secara umum juga kembali menggambarkan orientasi politik masyarakat Minang yang cenderung pada corak politik warisan “semangat” Orde Baru.

Antagonisme Politik

Pilpres 2014 juga kembali mewartakan betapa narasi minor tentang Orde Baru tidak banyak mengubah corak orientasi politik mayoritas masyarakat Minang. Bahkan di tengah suasana polarisasi politik yang tajam, antara pendukung kubu Jokowi dan Prabowo,  narasi tentang Orde Baru di kalangan Minang justru dipandang lebih positif, karena dikontraskan dengan narasi minor tentang “Orde Lama”.

Bagi masyarakat Sumbar, narasi positif tentang Orde Baru itu bahkan akhirnya seolah melengkapi narasi mayor tentang kepemimpinan (Prabowo) yang tegas, kuat, berwibawa dan pro-pribumi yang mereka “kontraskan” dengan kepemimpinan (Jokowi) yang dipersepsikan sebaliknya, sekalipun persepsi yang muncul itu lebih banyak didasarkan pada kampanye hitam dan liar di media sosial.

Kini dalam suasana antagonisme politik akut menjelang Pilpres 2019, narasi apapun akan segera mendapatkan kontra-narasinya bahkan dengan amplifikasi lebih kuat. Seolah politik menjadi soal pilihan hitam putih, tapi tanpa dasar yang kuat.

Sayangnya di kalangan masyarakat Minang yang selama ini dianggap lebih rasional, belakangan sebagian mereka nampaknya juga terjebak dalam tindakan dan sikap (politik) yang didasarkan pada logika biner tersebut. Tak heran, muncul persepsi di kalangan Minang bahwa pihak (termasuk dari Minang sendiri) yang mendukung Jokowi dikaitkan dengan “komunis”,  “anti-Islam”, “pro-asing”, “antek-Cina” dan seterusnya.

Apapun, Pilpres 2019 akan menjadi batu ujian bagi kematangan demokrasi kita, yang notabene (sebagian) bersumber dari kearifan masyarakat lokal di Indonesia, termasuk Minangkabau.

Israr Iskandar
Israr Iskandar
Dosen Departemen Ilmu Sejarah Fakultas IImu Budaya Universitas Andalas Padang
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.