“Ya jangan ngentot dan jangan punya anak 3 orang. Kalau miskin tau diri dan kendalikan hidup sendiri, ga usah nyalahin kemampuan orang lain. Gitu aja kok repot.” ujar pengguna Twitter @RistyRianda.
Dia menjawab tweet sebelumnya dari @Jokoland1 yang menulis, “Lucu tapi miris Bayangkan kl keluarga pas2an anak 3 semua pelajaran online pake gadget , wifi kudu kenceng, bs jebol keuangan ortu,” Adapun @Jokoland1 menjawab tweet @RottingOldWreck yang mengunggah foto tiga adiknya berseragam SD di depan laptop masing-masing dan tentu dengan akses internet yang cukup baik disertai teks, “Lucu banget sekolah dari rumah”.
Anehnya, saya terheran-heran banyak yang mendukung tweet Mbak Risty itu dengan dalih bahwa dia hanya menyampaikan hal yang rasional atau masuk akal. Padahal, hal yang rasional itu tidak mesti punya nilai empati. Bahkan bisa termasuk sebagai sikap cold killer. Kalau kata sosiolog Max Weber, tindakan rasional (instrumental) itu tidak punya nilai selain kalkulasi untung-rugi.
Dalam kasus tweet Mbak Risty, dia adalah cold killer (pembunuh berdarah dingin) yang menggunakan kata-kata sebagai senjatanya. Dia tidak peduli dan bahkan tidak sadar bahwa kicauan @Jokoland1 (saya tidak bisa mengidentifikasi jenis kelamin pemilik akun twitter ini) itu adalah curhatan kelompok kelas yang mengalami pengalaman tertentu saat pandemi ini.
Kita akan membahas satu persatu “pembunuhan” yang terdapat dari kicauan Mbak Risty ini. Pertama,“Ya jangan ngentot dan jangan punya anak 3 orang.” Apakah soal punya anak tiga orang itu memang hanya soal syahwat yang tidak bisa ditahan?
Apa Mbak Risty tidak pernah dengar kepercayaan kelas bawah, khususnya petani, yang masih banyak berlaku sampai sekarang, bahwa “banyak anak banyak rezeki?” Para petani itu punya sawah dan kebun yang cukup luas, yang pemanfaatannya bisa efektif dan efisien jika dikelola oleh banyak orang yang merupakan anggota keluarga sendiri. Dan apakah semua orang di negeri ini telah tersosialisasikan dengan baik soal penggunaan kontrasepsi?
Fakta lain, di wilayah tertentu negara-negara Afrika, dimana masyarakatnya banyak yang tidak sering keluar rumah (untuk bekerja, berlibur, dll), ditemukan angka kehamilan yang tinggi. Jadi soal hamil dan tidak hamil, punya anak dan tidak punya anak, itu tidak melulu soal syahwat. Ada banyak variasi penyebabnya.
Kedua, “Kalau miskin tau diri dan kendalikan hidup sendiri, ga usah nyalahin kemampuan orang lain.” Lah, kok orang miskin disuruh tau diri atas kemiskinannya? Ya, sudah barang tentu mereka memang sadar sesadar-sadarnya. Justru orang seperti Mbak Risti yang (mungkin) berasal dari minimal kelas menengah ini yang harus banyak sadar soal kemiskinan orang lain agar ucapan pembunuh berdarah dingin tidak keluar dari mulut atau jarinya.
Soal “mengendalikan hidup”, tidak semudah itu kalau kita memahami hidup secara struktural. Ada banyak hal yang diluar kendali kita, Pandemi Covid-19 ini adalah contoh yang paling konkrit. Si @Jokoland1 ini, yang mungkin sedang curhat akan pengalaman yang ia alami, tidak pernah memprediksi akan hadirnya pandemi. Bahkan sangat mungkin di dalam kepalanya tidak pernah ada pengetahuan tentang istilah “pandemi” yang pernah muncul sebelumnya.
Belum lagi kalau kita bicara pekerja harian yang mau tidak mau harus melawan rasa takutnya untuk tetap bekerja. Itu pun dengan pendapatan yang menurun. Seorang pekerja harian mungkin saja bisa membiayai anaknya tiga orang sekaligus untuk bersekolah, tetapi dia tak pernah punya ide bahwa dia harus menyediakan tiga gawai dalam waktu yang dekat beserta akses internet untuk memastikan anaknya tetap bersekolah. Tega sekali kalau saja Mbak Risty ini melanjutkan ujarannya semacam kalimat, “Ya, itu tanggung sendiri. Kan anaknya gak mesti sekolah kalau ga punya uang.”
Menurut saya yang terdampak secara finansial dari pandemi ini bukan cuma kelas bawah, kelas menengah juga ada, misalnya pekerja seni seperti penyanyi. Tetapi ya, mereka punya banyak tabungan. Berbeda dengan kelas bawah.
Mbak Risty juga menuduh @Jokoland1 ini dengan kalimat “…ga usah nyalahin kemampuan orang lain.” Lah dia nggak sama sekali menyalahkan. Dia cuma bilang kalau situasi yang dihadapi oleh pemilik akun @RottingOldWreck itu tidak melulu akan lucu jika terjadi pada kondisi orang lain.
Sejak tweet itu disampaikan ke publik, maka publik juga berhak menilainya. Kalaupun dia tetap dianggap menyalahkan, apa tega harus membalasnya dengan kalimat menyakitkan semacam itu? Plis deh, kalau tidak bisa berempati, minimal jangan memaki. Kalau Anda kaya dan disalahkan orang lain, Anda tetap kaya. Kalau orang miskin yang disalahkan pun juga begitu.
Terakhir, Mbak Risty menutup “motivasi” yang ia berikan dengan slogan Gus Dur, “Gitu aja kok repot.” Saya berdoa semoga Gus Dur tidak kesal slogan yang ia ciptakan digunakan untuk menghina orang lain. Mbak Risty mungkin baik-baik saja tidak harus repot menangani masalah finansial dalam situasi pandemi ini. Sedangkan @Jokoland1, dan orang-orang lain, mau tidak mau harus repot melakukan banyak hal karena situasi yang tidak terduga.
Tweet Mbak Risty itu per 16.58 WIB telah disukai sebanyak 4.500 akun, sekitar dua belas jam setelah tweet dikirim. Saya jadi miris, kok tweet yang sama sekali tidak berempati ini bisa banyak mendapat dukungan? Apa memang betul masyarakat kita hanya senang berpikir sebagai kelasnya sendiri dan tidak pernah mencoba untuk melakukan verstehen (memahami) dengan saudaranya yang berbeda kelas?
Saya tetap berbaik sangka bahwa tweet seperti yang dilontarkan @RistyRianda beserta tweet pendukungnya ini tidak mewakili kelas menengah atau kelas atas secara keseluruhan. Saya berdoa semoga masih banyak orang-orang yang berkecukupan yang tetap mau merasakan bagaimana rasanya menjadi wong cilik, meskipun perasaan itu tidak sama persis dengan apa yang dirasakan oleh kelas yang memang mengalaminya.
Dari hal tersebut, diharapkan kalaupun tidak ikut membantu, minimal tidak ikut mengutuk. Sebagai penutup, ada benarnya pemilik akun @vierda yang ikut berseloroh, “Ckckck….Jeff Bezos aja rasanya belom pernah ngetwit begini.”
Apa jangan-jangan @RistyRianda memang lebih kaya dari Jeff Bezos?