Sastra dan masyarakat hal yang susah untuk diuraikan, selalu terikat, selalu memengaruhi. Sastra selalu mengikuti perubahan alur kemajuan zaman, atau mungkin zaman yang mendorong sebagai alasan atas lahirnya sebuah sastra. oleh karena itu, sastra dikaitkat erat dengan ungkapan masyarakat, menurut dari frasa De Bonald literature is an expression of society.
Ikatan antara sastra dengan masyarakat itulah yang membuat peranan sastra semakin dominan dalam masyarakat, sehingga dalam sastra bisa terbentuk sebuah ideologi atupun pemikiran. Menurut Rene Wellek sastra ialah sebuah bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus.
Naskah drama merupakan hal yang melekat dalam unsur sastra, bukan hanya sekadar melekat naskah drama menjadi bagian dalam karya sastra. menurut Waluyo naskah drama Terdapat dialog dan berbagai persoalan yang ditimbulkan atas konflik batin dan memiliki kemungkinan untuk dipentaskan. Disimpulkan bahwa naskah drama berlatar belakang manusia atau struktur sosial yang berusaha mengungkapkan eksistensinya sebagai bentuk ungkapan nyata kehidupan.
Karena mengandung representasi dari masyarakat, paradigma demikianlah yang kerap disebut sebagai sosiologi sastra. Mengkaji karya sastra menggunakan sosiologi sastra dengan mengulik permasalahan kemanusian hingga ketimpangan ekonomi dan sosialnya merupakan hal yang perlu dilakukan ditengah hegemoni negara yang begitu kuat dan pelbagai dalil kemajuan yang begitu kuat sebagai tameng.
Dalam ilmu sosiologi, kehidupan masyarakat yang terus bebarengan dalam sebuah sistem pasti terdapat sebuah gesekan yang disebut konflik. Konflik yang terjadi dalam masyarakat biasanya hubungan sebab-akibat dari individu sosial ke struktur sosial. Yang menurut Marx adanya sekat pembatas terhadap perbedaan kelas yang umumnya pada kekuatan ekonomi. Kalau dibayangkan pembatas kelas sosial sebagai suatu struktur sosial sama saja dengan individu yang berhubungan secara struktural.
Karena ikatan sosial yang istimewa ini, Marx membagi kelas ekonomi menjadi dua yakni borjuis dan proletar. Borjuis merupakan seorang pemilik modal yang menjalankan roda ekonomi sebagai kepentingan personal, biasanya pemilik modal lebih mendominasi dalam perebutan struktur sosial kelas. Dan kelas yang kedua yakni proletar, kebalikan dari borjuis.
Proletar lebih menggantungkan tingkat ekonominya terhadap pemodal yakni borjuis. “kaum” proletar lebih sering bergesekan dengan borjuis karena dalam sistem struktur sosial kelas proletar tidak memiliki kepemilikan hak-hak pribadi tidak seperti borjuis yang bahkan mampu memonopoli roda perekonomian.
Begitupun dengan naskah drama Orang Kasar karya Anton P. Chekov yang disadur oleh W.S Rendra, mengangkat suatu problematika sosiologi klasik yang mendasar yakni kelas sosial.
Bercerita tentang nyonya Martopo yang ditagih karena beban pinjaman almarhum suaminya bernama pak Martopo oleh penagih hutang bernama Bilal, yang berakhir tentang pengujian kesetiaan nyonya Martopo terhadap suaminya pak Martopo. Permasalahan kelas sosial bukan terlihat pada tokoh nyonya Martopo, pak Martopo, bahkan Bilal. Masalah yang nampak pada perbedaan kelas sosial terdapat pada pak Mandor bernama Darmo, Darmo merupakan tangan kanan dari nyonya Martopo.
Darmo tidak begitu jelas digambarkan seperti apa sifatnya, asalnya, hingga bentuknya. Darmo hanyalah seorang yang menemani nyonya Martopo yang dirundung kesedihan akibat kematian suaminya dan hidup dari upah nyonya Martopo. Penindasan terhadap Darmo terlihat ketika penagih hutang yakni Bilal mulai mengetuk pintu rumah “latar tempat” nyonya Martopo dan berteriak ke Darmo “Orang goblog! Engkau terlalu banyak omong! Engkau keledai!”. kenapa bisa disebut penindasan?
Marx membagi lagi kelompok masyarakat menjadi tiga, kaum yang menerima upah (kaum buruh), kaum yang hidup berasal dari upah (kaum pemilik modal), dan kaum yang hidup dari rente tanah (kaum tuan tanah). Yang berakhir pemilik modal dengan tuan tanah menjadi satu satu dilawan kaum buruh atas dasar ketimpangan.
Bilal yang merupakan seorang pemodal merasa memiliki hak untuk berkata terhadap Darmo, Bilal yang bertindak untuk kepentingannya sendiri merasa berhak untuk membentak Darmo yang merupakan representasi kaum buruh “tangan kanan nyonya Martopo” dan itu merupakan suatu bentuk penindasan terhadap kelas sosial yang berbeda. Diperkuat lagi ketika sikap Bilal terhadap nyonya Martopo yang berbanding terbalik dengan sikap ketika dengan Darmo, Bilal lebih sopan. Sikap yang tidak adil untuk Darmo.
Ketika cerita berlanjut, Bilal yang terlihat sopan terhadap nyonya Martopo kemudian memanggil Darmo kembali “Saya minta minum!” penggunaan tanda seru dalam kalimat tersebut berupa perintah, yang memiliki konotasi tinggi. Posisi Darmo merupakan salah satu bentuk ketimpangan ataupun penindasan sebagai representasi kaum buruh, karena Bilal merasa apa yang dilakukan terasa netral dan tidak berpihak sebelah. Penindasan yang dilakukan oleh Bilal tehdapa Darmo merupakan penindasan berbentuk verbal. Dan merupakan salah satu bentuk pertentangan kelas, bukan perlawanan kelas. Dan tetap sama saja, yaitu MENINDAS.