Selasa, April 16, 2024

Oposisi Tak Bernyali

Rahmad Arif Rivaldi
Rahmad Arif Rivaldi
Sarjana hukum yang selalu ingin merawat akal sehat dan merayakan kebebasan berpikir.

Alam demokrasi tidak hanya menghendaki kebebasan berekspresi dan kebebasan beropini, tapi juga mengharuskan adanya oposisi. Reformasi menjadi momentum adanya pihak yang dapat berseberangan dengan pemerintah yang sedang berkuasa tanpa takut kena subversi. Oposisi menjadi penyeimbang penguasa agar tidak bertindak semena-mena. Oposisi kadang juga dapat menjadi acuan dan representasi bagi rakyat yang terlena dan tak acuh dengan keadaan penyelenggaraan pemerintahan yang tidak selalu baik-baik saja.

Pemilihan legislatif 2019 yang lalu menghasilkan 26% partai yang berseberangan dengan pemerintah di parlemen yang terdiri atas partai Demokrat, PKS, dan PAN dengan jumlah total 148 kursi. Sedangkan partai koalisi pemerintah  terdiri atas 74% partai di parlemen atau memiliki 427 kursi, terdiri atas partai PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, dan PPP. Hal ini berarti mayoritas partai politik yang ada di parlemen adalah pendukung pemerintah.

Lalu dinamika perpolitikan yang selalu dinamis dari hari ke hari, saat ini menyisakan hanya 18% partai di parlemen yang tetap oposisi, atau sekitar 104 kursi yang terdiri dari partai Demokrat dan partai PKS. Jumlah yang sedikit. Menyusutnya jumlah oposisi ini ditandai dengan bergabungnya partai PAN dengan pemerintah beberapa waktu yang lalu.

Komposisi jumlah oposisi ini berbeda dengan periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi. Momentum yang paling membedakan dengan periode sebelumnya adalah bergabungnya gerindra dengan pemerintah setelah pemilihan presiden usai, padahal sebelumnya Prabowo dan Jokowi head to head, namun malah bergabung setelah pemilu usai. Peristiwa yang membuat cebong dan kampret kecewa.

Hal itu tidak membuat gerindra sepenuhnya pro terhadap pemerintah. Gerindra seolah memainkan politik dua kaki. Satu sisi Prabowo menjadi menteri, tapi disisi lain kadernya tetap berseberangan dengan pemerintah, sebut saja Fadli Zon. Beliau terus menerus setia mengkritik seperti pada periode sebelumnya walaupun kehilangan partnernya Fahri Hamzah yang memilih mendekat dengan pemerintah melalui partai barunya. Tapi belakangan terdengar, Fadli Zon ditegur partainya usai menyindir Jokowi perihal bajir yang terjadi di Sintang.

Selain jumlah oposisi yang kecil di parlemen, narasi yang dibangun juga seolah tidak berarti. Politisi-politisi dari partai oposisi memang sering terlihat garang di hadapan publik, tapi seolah tidak terdengar dari dalam parlemen sana. Terakhir yang sempat ramai dibahas adalah perihal salah satu anggota DPR RI dari partai oposisi yang mencoba menginterupsi ketika rapat paripurna pengesahan panglima TNI yang baru. Interupsi baru diajukan ketika rapat sudah akan ditutup. Pertanyaanya adalah, kemana saja mereka sebelumnya? Mengapa tidak garang semenjak rapat komisi?

Oposisi itu penting agar publik dan negara tetap waras. Tapi narasi yang dibangun pun harus berkualitas, bukan hanya sekedar mencari sensasi tanpa ada esensi. Memang tidak hanya oposisi saja yang dapat menkritik, partai koalisi pun kadang-kadang terdengar berseberangan dengan pemerintah, tapi tetap saja itu tidak mengubah arah utama dukungan partainya.

Ruang publik tidak terasa diramaikan dengan kritik-kritik berarti terhadap pemerintah periode ini. Cukup berbeda dengan periode sebelumnya. Entah karena sudah masuk koalisi atau memang tak lagi bernyali, yang jelas kritik sangat diperlukan untuk menjaga demorasi agar tetap sehat. Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu juga sempat menyampaikan bahwa boleh kritik asalkan sopan. Namun malah menimbulkan reaksi beberapa netizen di sosial media yang malah memilih tidak berkomentar agar tetap aman dari jeratan hukum, seperti kejadian-kejadian yang sering diberitakan

Kelemahan narasi yang dibangun oleh oposisi memang tidak sepenuhnya menutup kritik terhadap penguasa. Kalangan akademisi, jurnalis, LSM, mahasiswa, tokoh masyarakat dan masyarakat umum kerap mengisi ruang-ruang publik dengan berbagai kritik yang tidak jarang membuat pemerintah gerah. Nilai plusnya adalah berbagai kalangan masyarakat ini kebanyakan benar-benar murni menyampaikan kritiknya tanpa ada kepentingan politis tertentu, atau kritik yang benar-benar objektif.

Tapi efek dari kritik yang disampaikan jarang mampu mengubah keadaan karena mereka bukan pihak yang memiliki wewenang untuk mengambil kebijakan, bahkan dari kalangan partai oposisi yang minoritas di parlemen pun sebenarnya tidak bisa berbuat banyak walaupun punya kekuasaan. Buruknya lagi beberapa kali terdengar isu miring bahwa narasi yang disampaikan salah satu golongan masyarakat tadi adalah hasil pesanan pihak tertentu.

Rakyat butuh penyambung lidah. Siapapun yang punya nama dan masa, hendaknya memanfaatkan kelebihannya itu untuk benar-benar berani bersuara merepresentasikan rakyat yang diwakili olehnya, bukan hanya menyuarakan kepentingan suara segelintir kelompok tertentu atau malah mempelintir isu untuk sekedar mecari atensi tanpa memberikan solusi.

Rahmad Arif Rivaldi
Rahmad Arif Rivaldi
Sarjana hukum yang selalu ingin merawat akal sehat dan merayakan kebebasan berpikir.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.