Dalam linimasa media sosial Instagram, beredar video sekelompok masyarakat menghadang gerbang gereja di Medan, Sumatera Utara. Kasus ini menguap semenjak video yang diunggah oleh akun netcitizen merekam adegan adu teriak dan hampir saling mendorong satu sama lain.
Pekikan nama Tuhan yang berlainan pun terdengar jelas. Selain itu juga dari pakaian yang dikenakan dapat dipastikan menunjukkan antara dua entitas agama-mana yang sedang berhadapan di dalamnya.
Tidak berhenti disitu. Video balasan muncul dari akun pribadi kelompok lain mengenai kejelasan kasus tersebut. Video yang diunggah pertama diyakini oleh sebagian khalayak tidak menjelaskan konteks permasalahan. Namun, justru mengundang banyak pertanyaan dan tidak sedikit juga terpancing emosi. Video kedua ada perangkat masyarakat yang tengah menjelaskan duduk permasalahan. Masyarakat tampak lebih tenang dan kondusif.
Pemindahan rumah ibadah gereja bethel dari satu titik ke titik yang lain, kemudian masalah birokrasi yang lain, sehingga rumah ibadah tersebut “ilegal-partially”, dengan itu kegiatan di dalamnya juga dianggap dilarang dan ilegal. Anggapan ilegal tersebut akhirnya melahirkan tindakan anarkis prematur.
Belum lagi tidak terhitung asumsi-asumsi liar yang lahir dari khalayak medsos yang menonton video pendek. Siapa yang hendak bertanggungjawab atas interpretasi tidak kontekstual?
Ruang Publik Negara Demokrasi
Ruang publik secara ringkas menurut pandangan Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman yang sangat berpengaruh sampai hari ini, adalah arena diskursus yang terbebas dari kepentingan politik dan ekonomi kapitalis sehingga masyarakat di dalamnya dapat saling bertukar pikiran.
Konsep ini sangat berbeda dengan sejarah lahirnya ruang publik. Yang lahir di kafe dan salon tempat para borjuis membicarakan politik dan modal ekonomi untuk mempromosikan kepentingan masing-masing. Sehingga menurut Habermas, makna dan fungsi ruang publik harus dikembalikan kepada hakikatnya.
Di dalam ruang publik yang ideal, akan berlangsung pedebatan publik, opini dan aspirasi diskursif yang dilakukan oleh masyarakat. Dan yang lebih penting, ruang publik harus terlepas dari segala bentuk intervensi. Tidak boleh ada satu budaya dan atau tradisi agama, kelompok, dan kepentingan tertentu yang dapat mengklaim dan mengubah struktur norma diskursus. Karena ruang publik itu otonom, hidup dari civil society.
Ruang publik harus bisa menjadi ruang tamu yang menyenangkan, menyatukan dan mendamaikan konflik-konflik dari seluruh lapisan masyarakat hingga bisa terselesaikan. Bahkan menurut Habermas lagi, hasil komunikasi masyarakat dalam ruang publik harus bisa ditransformasikan dalam undang-undang untuk menjawab permasalahan yang ada. Itu sebabnya di dalam ruang publik, tempat masyarakat memecahkan masalah, tidak boleh ada komunitarian yang mendominasi pembentukan opini publik.
Oleh karena itu dapat disimpulkan, ruang diskusi yang berisi orang-orang dengan ambisi bersama menyerang dan atau membangun sesuatu karena kepentingan kelompok tersebut terhadap kelompok lain, maka tidak dapat disebut sebagai ruang publik. Karena kesepakatan yang lahir, tidak berasal dari sperma kebebasan berkeadilan dan tumbuh di rahim demokrasi, melainkan komunitarianisme yang hendak berkuasa.
Masyarakat Postsekuler
Dalam tesis Gusti Menoh yang dibukukan dengan judul Agama dalam Ruang Publik, sejarah kondisi masyarakat Indonesia dengan Amerika-Eropa memiliki kemiripan. Amerika dan Eropa sempat mengalami privatisasi agama dari ruang publik. Bahkan yang lebih ekstrim, liberalisme sekular mengambil tindakan yang sangat melawan agama. Namun, hal tersebut tidak menyurutkan spirit masyarakat untuk beragama dan beraspirasi relijius. Revitalisasi keagamaan terus berlangsung, sampai pada titik bahwa makin hadir dan menguat di beberapa negara.
Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Meski memiliki perbedaah sejarah politik, namun kondisi mental dan pandangan yang sama. Pada masa Orde Baru, represi dari pemerintah yang membuat agama cenderung diprivatisasi. Keberadaan kelompok-kelompok agama tidak memiliki pengaruh dalam pembuatan keputusan, meski dalam seharian masyarakat agama masih sangat erat. Artinya, ada pemisahan agama dengan pemerintahan pada saat itu.
Namun setelah orba runtuh, pandangan agama memenuhi seluruh ruang hukum dan politik Indonesia. Bahkan tidak tanggung-tanggung, presiden yang keempat terpilih dari kelompok agama. Kondisi bangkitnya kembali agama dalam bentuk aspirasi di ruang publik, khususnya ranah politik, disebut oleh Habermas sebagai postsekuler.
Penutup
Indonesia sebagai negara demokrasi permusyawaratan, sebenarnya telah mengambil jalan tengah dalam mengawinkan hukum agama dan hukum rasional. Namun, realitas masyarakat yang fanatisme terhadap keyakinan bahwa keputusan sosial harus diselesaikan menggunakan ajaran agama tertentu dalam ruang publik, sangat salah. Sampai hari ini, masyarakat postsekuler yang tengah dimabuk asmara oleh janji surgawi tidak sedikit menghadapi konflik antar agama.
Padahal, rasio dan kemanusiaan bisa jauh lebih diutamakan dalam setiap tindakan bermasyarakat. Tindakan yang mudah menghakimi menggunakan pandangan yang sempit, hanya akan melahirkan perpecahan bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Gusti A.B Menoh. 2015. Agama dalam Ruang Publik. Penerbit Kanisius : Yogyakarta
Jurgen Habermas. 2012. Ruang Publik. Kreasi Wacana : Yogyakarta.