Rabu, Oktober 16, 2024

Omnibus Law dan Ancaman Korupsi Legislasi

Helmi Chandra SY
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang / Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

Dalam pidato pelantikannya tanggal 20 oktober 2019 di MPR, presiden Jokowi menyampaikan 5 (lima) program utama pemerintahannya, mulai dari pembangunan sumber daya manusia (SDM), pembangunan infrastruktur, penyederhanaan birokrasi, transformasi ekonomi hingga penyederhanaan segala bentuk kendala regulasi.

Khusus bagi upaya penyederhanaan regulasi ini akan dilakukan oleh pemerintah dengan metode omnibus law atau sapu jagat. Setidaknya pemerintah merencanakan omnibus law terhadap 3 (tiga) rancangan undang-undang (RUU) yaitu RUU cipta lapangan kerja, RUU ketentuan umum dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian dan RUU ibu kota baru.

Secara defenisi omnibus law berasal dari bahasa latin omnis yang berarti untuk semua atau banyak sedangkan kata law yang berarti hukum, maka omnibus law dapat didefenisikan sebagai hukum untuk semua.

Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition karya Bryan A Garner disebutkan bahwa omnibus adalah relating to or dealing with numerous object or item at once, including many thing or having varius purposes (berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus, termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan). Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa omnibus law merupakan metode yang digunakan untuk mengganti atau mencabut ketentuan dalam UU atau mengatur ulang beberapa ketentuan UU ke dalam satu UU saja.

Sejatinya rencana pemerintah untuk mengatasi tumpang tindih dan gemuknya regulasi di Indonesia dengan kebijakan berupa omnibus law perlu diapresiasi. Ibarat pepatah “sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui” tentu ini tengah dicoba oleh pemerintah, dimana dengan memangkas sengkarut regulasi sekaligus akan mampu menciptakan iklim investasi yang baik tanpa tersandera oleh regulasi dan birokrasi yang sembraut di Indonesia.

Di samping itu, secara terbatas sebenarnya omnibus law pernah dilakukan pada UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang mencabut 3 (tiga) UU yaitu UU Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, UU 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan UU Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun demikian, menurut penulis perlu mempertimbangkan beberapa hal terkait omnibus law ini.

Pertama, masalah pembentukan regulasi, perlu mempertimbangkan untuk merubah UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan agar ada keseragaman pola dalam penerapan omnibus law baik di pusat maupun di daerah.

Hal ini berhubungan langsung dengan masalah yang akan muncul akibat omnibus law yaitu masalah vertikal dimana, peraturan pelaksana dari UU yang dicabut seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden hingga Peraturan Daerah juga harus dicabut. Belum lagi banyaknya regulasi pelaksana yang harus diharmonisasi, sebagai gambaran setidaknya menurut data Kemenkumham hingga 23 Januari 2020 terdapat setidaknya 8.451 peraturan pusat dan 15.965 peraturan daerah yang menggambar kompleksitas regulasi di Indonesia.

Selain itu, dengan sifat pembahasan yang cepat dan merambah banyak sektor omnibus law dikhawatirkan akan mengenyampingkan pedoman tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang demokratis yaitu memungkinkan mempersempit keterbukaan dan partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang.

Ditambah waktu pembuatan omnibus law yang singkat rentan mengalami uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi karena sifatnya yang cendrung tidak memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam proses pembentukan.

Kedua, masalah partisipasi masyarakat, partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bentuk pelibatan diskursus. Melalui pelibatan diskursus dengan masyarakat maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat memperoleh legitimasi yang lebih kuat.

Peraturan perundang-undangan tidak hanya memperoleh legitimasi elit dalam sistem politik. Setiap kepentingan tentunya perlu didengar dan dipertimbangkan. Jika proses pembentukan peraturan perundang-undangan hanya terpaku pada proses-proses di parlemen tentunya kepentingan yang plural tersebut tidak dapat didengar. (Victor Imanuel W. Nalle: 2017)

Hal inilah yang kurang diperhatikan dalam rencana pembentukan omnibus law saat ini. Padahal partisipasi akan memberi ruang bagi masyarakat untuk melakukan negosiasi berupa masukan dalam proses perumusan kebijakan terutama yang berdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat.

Adanya kesempatan atau ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan UU merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem pemerintahan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam negara.

Partisipasi masyarakat yang merupakan amanat Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi peran masyarakat di dalam partisipasi pembentukan UU bukanlah basa-basi. Karenanya harus dihormati oleh pemerintah.

Ancaman Korupsi Legislasi

Omnibus law sebagai strategi reformasi regulasi agar penataan dilakukan secara sekaligus terhadap banyak peraturan perundang-undangan dengan tujuan menghilangkan tumpang tindih antar UU, efisiensi proses perubahan atau pencabutan UU hingga menghilangkan ego sektoral menjadi sekian banyak sisi positif omnibus law.

Apalagi rencana Omnibus law telah banyak diterapkan di berbagai negara diantaranya Inggris, Australia, Jerman, Turki, Filipina, Kamboja, Vietnam, Malaysia dan Singapura dengan tujuan untuk memperbiki regulasi di negaranya masing-masing dalam rangka penciptaan lapangan kerja (job creation) serta meningkatkan iklim dan daya saing investasi. Namun jika tidak hati-hati omnibus law juga membawa dampak negatif serta membuka peluang terjadinya korupsi di sektor legislasi.

Korupsi legislasi merupakan bentuk korupsi dengan memperdagangkan kewenangan dalam menyusun sebuah norma peraturan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya dalam suatu studi mengenai korupsi di DPR menengarai bahwa korupsi di DPR tidak hanya terjadi pada fungsi anggaran dan pengawasan, namun terjadi pula dalam fungsi legislasi.

Kenyataan tersebut mengejutkan banyak orang karena selama ini locus korupsi lebih sering terjadi pada fungsi anggaran. Kondisi inilah yang harus diwaspadai agar jangan sampai ada pasal-pasal selundupan yang akan menguntungkan sebagian orang atau kelompok hingga berujung korupsi. Ada upaya dari pihak tertentu agar produk hukum sesuai dengan kepentingan tertentu.

Akibatnya, produk hukum yang didesain secara koruptif menimbulkan korupsi berkelanjutan karena hilangnya pendapatan negara. Untuk itulah perlu sekiranya melihat omnibus law dari perspektif pencegahan korupsi, sebab tentu mencegah akan jauh lebih baik dari pada mengobati.

Helmi Chandra SY
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Padang / Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.