Minggu, Mei 5, 2024

OJK Lebih Tepat dan Siap Menjadi Pengawas KSP

Bitra Suyatno
Bitra Suyatno
Dr. Bitra Suyatno, SE, MM adalah analis kebijakan sektor keuangan. Tulisan merupakan pendapat pribadi tidak mencerminkan pandangan instansi tempat penulis bekerja.

Akhir-akhir ini masyarakat kembali dikejutkan oleh maraknya kasus gagal bayar di beberapa koperasi simpan pinjam (KSP) skala besar. Seperti diberitakan diberbagai media, potensi jumlah kerugian akibat gagal bayar delapan KSP jumlahnya cukup fantastis yaitu sekitar Rp26 triliun. Bayangkan hanya dari delapan KSP, jumlah kerugian sudah mencapai lebih dari 10% dari seluruh aset koperasi (Rp251 triliun) yang jumlahnya lebih dari 127 ribu unit.

Akibat permasalahan tersebut berbagai pihak saling menyalahkan. Ada yang bilang kelemahan pengawasan dan ketiaadaan kapasitas pengawasan oleh Kementerian Koperasi dan UKM (KUKM) menjadi sebab terjadinya maslah gagal bayar di KSP yang sering terjadi. Sementara itu, terdapat pihak yang menyalahkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atas terjadinya kasus gagal bayar anggota, khususnya dalam kasus KSP Indosurya Cipa.

Pihak KUKM berkilah bahwa wewenang mereka terbatas untuk tangani koperasi bermasalah. Jika mengacu pada Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian, memang fungsi Pemerintah lebih ditekankan pada pembinaan dan dalam menjalankan fungsi pembinaannya sesuai dengan prinsip kemandirian, dengan tanpa mencampuri urusan internal organisasi Koperasi.

Disisi lain OJK tegas menyatakan KSP bukan diwewenang mereka. Juru Bicara OJK, menegaskan bahwa KSP merupakan lembaga yang berada diluar pengawasan dan perizinan dari OJK.

Siapa yang lebih tepat dan siap untuk menjadi pengawas KSP? Untuk menguji hal ini dapat dilihat dari berbagai aspek, misalnya perbandingan antara lain dari sisi (1) aktivitas bisnis; (2) anggaran dan take home pay (THP); (3) jumlah SDM dan obyek yang diawasi, (4) kualitas pengawas; dan (4) fleksibilitas mengalokasikan budget dan melakukan perekrutan tenaga pengawas.

Aktivitas Bisnis

Sejatinya aktivitas KSP tidak berbeda dengan bank dan lembaga keuangan mikro (LKM) sehingga perlu dimasukkan dalam ekosistem lembaga keuangan yang diawasi terintegrasi oleh OJK (same activities, same risks, same regulations). Masukan Bank Dunia dari berbagai focus group discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Pusat Kebijakan Sektor Keuangan antara tahun 2021-2022 menyebutkan bahwa contoh international best practice diberbagai negara menunjukkan entitas yang bergerak di sektor jasa keuangan terlepas apapun badan hukumnya seharusnya diawasi oleh lembaga pengawas jasa keuangan atau bank sentral.

Anggaran dan THP

Jumlah anggaran OJK tahun 2020 adalah Rp6,2Triliun. Sedangkan anggaran KUKM pada tahun yang sama dari semula Rp972,337 miliar dipotong menjadi Rp743,245 miliar.

THP rata-rata pegawai OJK sekitar Rp74 juta per orang per bulan. Jika dibandingkan perkiraan THP jabatan fungsional pengawas koperasi menurut Perpres 26 Tahun 2021 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Pengawas Koperasi beserta gajinya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) berkisar antara Rp 5juta sampai Rp10 juta per orang per bulan tergantung level keahliannya.

Dapat dilihat ketimpangan baik dari sisi jumlah anggaran maupun THP antara pengawas OJK dan pengawas koperasi di KUKM dan dinas-dinas koperasi.

Perbandingan jumlah Pengawas dan Entitas yang Diawasi

Perbandingan jumlah pengawas industri keuangan non-bank (IKNB) dengan jumlah entitas yang diawasi (Asuransi, Lembaga Pembiayaan, dana pension, lembaga keuangan khusus, jasa penunjang IKNB, lembaga keuangan mikro dan fintech) adalah 396 pengawas dengan 1.329 entitas yang diawasi atau rata-rata sekitar sekitar 1:3.

Sedangkan jika dilihat seluruh pengawas koperasi baik di KUKM dan dinas-dinas koperasi dengan jumlah pihak yang diawasi (seluruh koperasi termasuk KSP/USP) menurut data yang dikumpulkan oleh USAID EGSA (2022) adalah di tingkat nasional 57 pegawas mengawasi 5.161 koperasi atau rata-rata sekitar 1:90, ditingkat provinsi 283 pengawas mengawasi sekitar 8.078 koperasi atau rata-rata sekitar 1:29, dan dtingkat kabupaten/kota adalah 1.493 pengawas mengawasi 113.885 koperasi atau sekitar rata-rata 1:77.

Kembali lagi dari sisi jumlah pengawas dan entitas yang diawasi terlihat sangat timpang antara OJK dengan KUKM dan dinas-dinas koperasi.

Kualitas SDM Pengawas

Dari sisi kemampuan mengawasi, jelas OJK lebih matang dan unggul dibandingkan KUKM. Hal inipun diakui oleh Deputi Bidang Pengawasan Kemenkop dan UKM pada tahun 2019. Lebih lanjut jika ditelisik lebih jauh maka terlihat bahwa OJK dapat melihat keterkaitan antar produk dan jasa keuangan.

Hal ini sesuai tujuan pembentukan OJK agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel sehingga mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Jadi OJK dibentuk untuk mengatur dan mengawasi “keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan” bukan mengawasi kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara parsial. Bahkan ketika terdapat produk atau jenis jasa keuangan baru yang muncul secara dinamis, OJK akan lebih cepat mengidentifikasikannya dibanding KUKM.

Sebagai contoh mengacu pada surat aduan anggota KSP SB kepada Presiden RI No. 01/21062021/Jakarta tanggal 9 Agustus 2021 (kasus KSP Sejahtera Bersama) dan Surat Kemenkop No. 1473/Dep.3.5//2012 tanggal 24 Oktober 2012 kepada Kepala Biro Pemeriksaan dan Penyidikan Bapepam-LK (kasus koperasi Cipaganti), terdapat indikasi KUKM dan Dinas-Dinas Koperasi tidak mampu mendeteksi potensi gagal bayar yang mungkin dialami kedua KSP tersebut padahal informasi bahwa koperasi tersebut akan dan telah gagal bayar sudah mulai mengemuka. Bahkan untuk kasus Cipaganti, sejak awal Bapepam-LK telah mengidentifikasi kemungkinan koperasi tersebut menjalankan skema Ponzi.

Flexibilitas Mengelola Anggaran dan Merekrut SDM Pengawas

OJK lebih otonom dan fleksible mengelola anggaran dan merekrut pegawai dibandingkan KUKM yang sangat tergantung alokasi dana dari APBN. Perekrutan ASN juga harus melalui birokrasi kepegawaian nasional. Sumber operasional OJK dapat pula diperoleh dari pungutan pihak yang diawasi.

Berdasarkan data yang disampaikan USAID EGSA (2022) dari kelompok klasifikasi usaha koperasi (KUK) 3 dan 4 yang asetnya lebih dari Rp100 miliar sampai sekitar Rp10 triliun berjumlah sekitar 779 KSP.

Ditambah jumlah KSP/USP skala kecil yaitu KUK 1 dan 3 sebanyak sekitar 56 ribu maka total levy yang dapat diperoleh dapat mencapai ratusan miliar rupiah. Jumlah tersebut dapat digunakan untuk membiayai pengawasan khususnya untuk KSP KUK 3 dan 4 (skala menengah-besar) yang menurut Agus Santoso (2022) selaku Ketua Penanganan Koperasi Bermasalah,  KSP skala dimaksud memiliki anggota ratusan ribu, dan memiliki cabang di berbagai kota, serta berperilaku seperti bank. Oleh karena itu, KSP memiliki risiko sama dengan bank yaitu terdapat potensi mismatch liquidity.

Jika pilihannya pengawasan KSP dilakukan melalui penguatan KUKM maka akan sangat membebani APBN yang artinya menjadi beban para pembayar pajak di Indonesia.

Kesimpulannya, seharusnya wewenang pengawasan KSP dialihkan dari KUKM kepada OJK. Pengalihan kewenangan tersebut dapat dimasukkan pada Rancangan Undang-Undang untuk Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang saat ini merupakan inisiatif dari DPR.

Bitra Suyatno
Bitra Suyatno
Dr. Bitra Suyatno, SE, MM adalah analis kebijakan sektor keuangan. Tulisan merupakan pendapat pribadi tidak mencerminkan pandangan instansi tempat penulis bekerja.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.