Sebenarnya tulisan ini membuat penulis ragu untuk menjadikannya sebagai bahan pembicaraan. Akan tetapi, kalau ide tak dikeluarkan maka pada akhirnya akan hilang begitu saja. Dan jika tidak hilang, maka akan jadi beban yang membusuk di kepala sang penulis.
Berangkat dari pendidikan, penulis merasa nasionalisme itu hanya diletakkan pada sekolah umum atau negeri saja. Namun, kenyataannya berlain pihak. Dilihat dari kenyataannya memang bermakna ironi. Pengangguran semakin meningkat tiap tahunnya, sedangkan negara hanya diam melihat hal itu.
Yang paling parah malah terjadi. Seperti kekerasan yang terjadi dalam sekolah-sekolah negeri. Guru melawan muridnya. Muridnya melawan guru. Bahkan, perang antar sekolah negeri.
Industri makin lama makin sulit dibendung. Negara seharusnya bisa membangkitkan semangat nasionalisme kita dengan mengajarkan dan memfasilitas rakyatnya secara bertahap. Namun, lagi-lagi ironi semakin buruk saja. Industri malah merenggut rakyat kaya saja karena itu merupakan lahan barang dagangannya.
Alhasil, macet di mana-mana karena kendaraan pribadi sulit untuk dihitung. Belum lagi nasib para sopir angkutan umum kembali direnggut dengan hadirnya transportasi berbasis online.
Politik juga makin lama makin ke arah keuntungan pribadi. Agama pun kadang kala kita temukan sebagai alatnya. Penulis meyakini agama tak seharusnya dipakai sebagai alat politik. Di dalam Islam, sulit untuk dibedakan antara agama dan politik. Pada akhirnya, agama mampu berdiri sendiri.
Buktinya, Islam semakin banyak penganutnya. Namun juga, mungkin ini adalah sebuah pertanyaan aneh bagi setiap kaum beragama: mengapa ketika kita hidup yang di mana semua mayoritas beragama yang sama justru muncul masalah? Dan juga, apakah agama sekarang sudah menjadi pemicu pemecah nasionalisme?
Nasionalisme itu sendiri memang tak bisa dipungkiri berbau kepentingan. Tapi kepentingan apa yang dibawa oleh nasionalisme itu mestinya bukanlah kepentingan yang menguntungkan diri sendiri. Kepentingan sosiallah yang harus dibawa di dalam nasionalisme. Kepentingan yang tidak hanya memperuntukkan diri sendiri.
Namun, ada juga yang memakai panji-panji nasionalisme agar bisa meraih keuntungan sendiri dan bukan sebuah identitas sosial. Di sinilah letak kepentingan itu. Jabatan seharusnya menanggung sebuah amanah yang bersifat sosial. Banyak yang memandang ketika kita memiliki jabatan tertinggi pada suatu organisasi maupun dalam sebuah lembaga, jabatan itu bisa menghasilkan banyak keuntungan terlebih lagi itu “masalah duit”.
Nasionalisme dalam dunia pendidikan
Nasionalisme dalam dunia pendidikan memang patut diperhatikan. Pertama-tama marilah kita melihatnya secara keseluruhan. Dana pendidikan gratis mungkin bisa dikatakan gagal, karena pada akhirnya banyak yang berhenti belajar di sekolah-sekolah umum. Sedangkan sekolah-sekolah swasta, mereka yang mampu dalam segi materi bisa merangkul pendidikan yang layak.
Bakunin pernah mengungkapkan bahwa kita tak boleh terlalu idealis dalam menjalankan sebuah tindakan. Maksudnya apa pun yang berlangsung dengan idealisme pada akhirnya bakalan sulit untuk menjalankan suatu tindakan yang tak dibantu oleh materi. Dana pendidikan gratis memang patut dijalankan namun jangan mengabaikan pekerjaan orang tua dari peserta didik tersebut.
Kita tak bisa mengabaikan fakta ini. Mereka yang tak mampu kadang kali harus mau tak mau ikut membantu orang tuanya sehingga itu menjadi penyebab mereka berhenti sekolah. Negara tak seharusnya melepaskan realitas ini. Di sisi lain, negara juga harus menjaga sekolah-sekolah umum dari kepentingan industri. Boleh memasukkan industri ke dunia pendidikan, asalkan melalui tahapan.
Nasionalisme dalam dunia politik
Politik kerap kali disamakan dengan kerakusan pribadi akan keuntungan. Seperti tak ada hal yang lain selain hal buruk dari politik. Yang pada akhirnya kita menemukan kesulitan untuk menyatukan yang politik kepada nasionalisme.
Jika memang ingin menyatukannya, ada baiknya melakukan proses doktrin yang di mana para politikus benar-benar mengejar jabatan karena kepentingan sosial. Faktor utama yang bisa memperbaiki hal ini adalah melalui pendidikan. Pendidikan dini terutama agar nasionalisme menjadi budaya.
Industri, agama, dan nasionalisme
Industri pada akhirnya sulit untuk dibendung. Industri memang perlu menganut pemahaman nasionalisme agar hasil dari industri ini bukan hanya diperuntukkan untuk orang-orang yang memiliki duit saja melainkan pada orang-orang yang tak mampu.
Maksudnya, industri yang mengajarkan nasionalisme kepada orang-orang yang mampu akan berdampak tentunya pada orang yang mampu, tapi orang yang mampu ini sebagai hasilnya apa yang ia dapatkan dari industri tersebut, dia bisa terapkan kepada masyarakat yang tak memandang kelas.
Nah, agama dan nasionalisme merupakan dua identitas yang berbeda. Nasionalisme sifatnya secara geografis bersejarah dan agama sifatnya merujuk kepada kemanusiaan dan keilahian. Namun, saat ini agama sudah menjadi sesuatu yang sangat mendasar kita peluk, sehingga mudah diadukan. Nasionalisme seharusnya bisa menjadi solusi untuk mengatasi hal ini. Boleh berbeda agama tapi semangat nasionalisme tetap satu.
Sebagai kesimpulan, tulisan ini hanya mengingatkan kita pentingnya nasionalisme sebagai jiwa sosial kita. Kita masih bisa menyelamatkan nasionalisme dengan beragam cara entah itu melalui politik, agama, atau bahkan dalam pendidikan itu sendiri.
Industri pun semakin lama semakin membuat kita terpecah, tapi bagaimanakah jika industri itu berbasis nasionalis? Jika itu berbasis nasionalis, mungkin nasionalisme masih bisa diselamatkan. Semoga nyinyiran tentang nasionalisme ini bisa menjadi bahan pembelajaran kita. Semoga.