Bagi kalangan akademisi, menghasilkan karya ilmiah merupakan hal yang biasa dan suatu keharusan. Karya ilmiah adalah produk pemikiran dari ilmuan yang menekuni bidang tertentu agar ilmuwan tersebut mampu memposisikan dirinya sebagai pusat rujukan atas berbagai masalah yang terjadi.
Singkatnya, para ilmuwan adalah agen problem solving. Selain untuk kebutuhan diri sendiri, para ilmuwan tersebut dituntut untuk menyebarluaskan hasil riset maupun pemikirannya kepada khalayak umum. Diseminasi pengetahuan bertujuan untuk memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri dan juga tentunya untuk kemajuan peradaban manusia melalui produk karya ilmiah yang sering kita kenal yakni jurnal.
Jurnal di masa sekarang menjadi sebuah tuntutan yang wajib dipenuhi. Bagaimana tidak ? jurnal menjadi syarat dipenuhinya tunjangan bagi dosen untuk jabatan fungsional tertentu. Regulasi Permenristekdikti No. 20 Tahun 2017 menjelaskan bahwa seorang profesor harus memiliki jumlah publikasi jurnal sejumlah x selama tahun tertentu.
Bukannya suatu kewajaran jika profesor harus rajin publikasi? menurut penulis wajar karena seorang profesor memiliki segudang pemikiran dan pengalaman di bidang ilmunya yang sangat lumrah untuk bisa publikasi secara mandiri.
Tunjangan profesi tersebut bukan hanya bagi profesor saja namun jabatan lektor kepala juga masuk kriteria. Bahkan syarat untuk menjadi guru besar harus memiliki publikasi jurnal internasional bereputasi. Dengan dipublikasikannnya sebuah jurnal oleh lembaga pengindek jurnal internasional bereputasi maka reputasi seorang dosen tersebut baru diakui secara internasional. Sangat logis karena tulisan kita melalui proses uji yang ketat dari riviewer ilmuwan kelas dunia.
Sayangnya, kita perlu mengakui bahwa pemikiran-pemikiran cemerlang kita seketika dibungkam dengan paksaan harus mempublikasikan di jurnal internasional bereputasi semacam sc*pus dan web of sci*nce. Lebih konyol lagi para cendikiawan diharuskan membayar sejumlah uang yang dibilang cukup wow agar kepakarannya diakui secara internasional.
Penulis menelusuri sendiri daftar jurnal internasional bereputasi di salah satu web jurnal tersohor yaitu www.scimago.com, negara paling banter mengisi list tersebut adalah negara inggris dan amerika serikat. Sementara negara-negara asia, afrika, amerika latin, eropa timur sangat sedikit yang masuk kualifiasi Q1 dan Q2 (kuartil 1 dan kuartil 2).
Paling aneh lagi ternyata lembaga pengindek jurnal tersebut bukan universitas ataupun lembaga penelitian yang membidangi ilmu tertentu, hanya saja lembaga tersebut memiliki tautan ke universitas yang berhak memproses jurnal. Namun, penulis juga menemukan website universitas yang tidak melalui “makelar” jurnal tapi jumlahnya tidaklah banyak.
Salah satu jurnal internasional bereputasi Q1 di negara eropa timur tidak memungut biaya dari proses submit naskah hingga publikasi dengan beberapa syarat yang menurut hemat penulis tidak begitu memberatkan. Ongkos bagi reviewer kelas dunia memang perlu, wong kampus swasta kecil saja penguji skripsi dapat duit kok.
Namun tidak lah etis jika ilmuwan kelas dunia yang paham etika doyan duit dengan konsep maksimalisasi persis paham kapital. Cuma, alat yang digunakan untuk mengkapitalisasi adalah jurnal dengan klaim agar bisa diakui secara internasional.
Bayangan jika kita membeli barang dari produsen dengan harga murah, apakah kita tidak mau memaksimalkannya dengan menjual harga tinggi kepada konsumen agar untung berlipat-lipat ? konsumen disini adalah masyarakat akademis dan dosen yang membutuhkan jurnal internasional bereputasi dan produsennya adalah reviewer kelas dunia. Nah, siapa yang menjadi brokernya?
Dalih peningkatan publikasi internasional sangat gencar dilakukan sebagai konsekuensi mengejar ketertinggalan produktifitas publikasi dengan negara-negara lain. Alhasil, pertama dalam 20 tahun terakhir karena Indonesia mengungguli Thailand dan Singapura. Publikasi internasional meningkat dua kali lipat per Mei 2018, sebanyak 8.269 jurnal bandingkan dengan pada 2014 hanya 4.200 jurnal.
Sangat ironi sekali jika kita mengejar produktifitas publikasi internasional semu artinya kita medewakan publikasi untuk internasional daripada publikasi untuk nasional. Dampaknya , kita ekspor jurnal ke negara lain tapi sedikit mendatangkan penulis asing untuk menerbitkan jurnalnya ke jurnal lokal di Indonesia.
Padahal salah satu syarat lembaga pengelola jurnal bisa mendapat pengakuan secara internasional antara lain penulisnya sebagian besar diisi oleh penulis mancanegara. Sayangnya kita sendiri tidak mengakui kalau lembaga jurnal nasional kita berkualitas. Sangat miris!
Pertanyaan paling penting untuk dijawab adalah pengetahuan atau hasil temuan di jurnal tersebut untuk siapa? Sangat mengkhawatirkan karena temuan penelitian ibarat pisau bermata dua yang sama-sama tajam. Ringkasnya temuan penelitian bisa dimanfaatkan untuk kepentingan tersembunyi.
Temuan yang berguna bagi publik semisal temuan empiris untuk rekomendasi perbaikan kebijakan, temuan yang merugikan publik bisa berasal dari pihak yang ingin memanfaatkan hasil temuan tersebut untuk kepentingan individu maupun kelompok.
Dalam ilmu antropologi budaya, sebaran ilmu pengetahuan yang digali dari negara-negara selatan adalah untuk kepentingan kolonialisasi pada jaman dahulu. Oleh karena itu, bukankah lebih baik memperbaiki kualitas jurnal-jurnal di Indonesia agar bisa bersaing secara internasional terutama bagi jurnal yang sudah terakreditasi? Bukan malah eksodus besar-besaran tulisan terbaik dari penulis Indonesia ke luar negeri dan menjadikan jurnal-jurnal di Indonesia sebagai sisa-sisa tulisan dari akademisi di negeri sendiri.