Minggu, November 24, 2024

NU dan Gerakan Kultural Membasmi Korupsi

Muwaffiq Jufri
Muwaffiq Jufri
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura; Kader Penggerak NU Kabupaten Bangkalan
- Advertisement -

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan yang memiliki visi untuk menebar dan menggerakkan Islam yang rahmah, yakni ajaran Islam yang menitikberatkan pada semangat kehidupan yang damai, harmonis, menghargai perbedaan, dan mencintai keberagaman sebagaimana lazimnya karakter masyaraat Nusantara.

Selain itu, yang menarik dari jami’iyah ini ialah komitmennya terhadap keutuhan dan kemajuan bangsa Indonesia. NU meyakini bahwa Indonesia adalah model negara kesepakatan (darus syahadah) dalam konteks ke-Indonesiaan, sehingga bentuk dan sistem kenegaraannya bersifat final dengan kewajiban bagi segenap warganya untuk tunduk pada aturan hukumnya.

Sejak awal kelahirannya, peran penting NU dalam usaha mewujudkan keutuhan dan kemajuan bangsa telah banyak disumbangkan, baik dengan aksi-aksi jihad membela bangsa, penumpasan pemberontak, serta aksi-aksi penanaman mental dan karakter kebangsaan melalui sarana pendidikan khas kepesantrenan.

Intinya NU akan selalu siap dan bersedia membantu menyelesaikan permasalahan kenegaraan dan kebangsaan. Sebab bagi NU, sampai kapanpun NKRI tetaplah harga mati.

Salah-satu persoalan kenegaraan yang kini sedang melanda negara adalah wabah korupsi yang kian melebarkan paparannya. Korupsi merambah ke segala lini lembaga negara, mulai pusat hingga daerah, bahkan hingga ke desa. Permasalahan korupsi inilah yang semestinya dijadikan sebagai ‘panggilan jiwa’ bagi NU untuk kembali berjihad demi kejayaan Indonesia.

Fatwa NU tentang Korupsi

Dalam beberapa dokumen hukum organisasinya, NU memang telah mengatur rumusan fatwa tentang perlawanannya (jihad) terhadap korupsi, bahkan dalam beberapa Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama, NU menjadikan korupsi sebagai bahan utama kajian, baik dari sisi rujukan dalil, larangan, hingga rumusan sanksi bagi para pelaku korupsi.

Bahkan dalam Munas tahun 2002 NU telah menfatwakan hukuman mati bagi koruptor. Menurut NU, korupsi bukan saja merusak sendi-sendi bernegara, tetapi meruntuhkan martabat kemanusiaan yang berakibat pada semakin menjamurnya tingkat kemiskinan, kemelaratan, dan keterbelakangan mental.

Fatwa ini kemudian dipertegas kembali dalam Munas tahun 2012 dengan fatwa berupa larangan shalat janazah bagi koruptor (NU Online, 25/09/12). Bagi NU, koruptor adalah antitesis dari orang beragama, khususnya Islam. Sebab orang beragama tidak mungkin melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai kemanusiaan, apalagi menjerumuskan banyak orang dalam kubangan kesengsaraan.

Selain fatwa, usaha yang telah dilakukan NU untuk melawan korupsi ialah melalui ragam mimbar diskusi dan kerjasama, termasuk kerjasamanya dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Wujud dari kegiatan tersebut ada yang berupa pelatihan antikorupsi bagi kader muda, menghasilkan beberapa buku dan modul bertemakan korupsi.

Memaksimalkan Gerakan Kultural

NU memiliki modal penting dalam upaya pemberantasan korupsi, sebab ia memiliki jumlah anggota yang sangat melimpah. Survei terakhir yang dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tahun 2019 menyebutkan bahwa 49% dari keseluruhan Muslim di Indonesia terafiliasi dengan NU. Modal jamaah yang cukup besar inilah yang menyebabkan keberadaannya sangat strategis dalam upaya membasmi korupsi.

- Advertisement -

Selain soal massa, hal strategis lainnya yang menyebabkan posisi NU dinilai memiliki andil besar dalam upaya memerangi korupsi adalah jejaring pondok pesantren (Ponpes) yang bernaung di bawah panji NU. Tercatat ada 90 persen dari total 28.000 Ponpes yang tersebar di seluruh Indonesia berafiliasi kepada NU (Kompas, 27/1/20).

Keberadaan Ponpes yang hampir 100 persen tergabung dengan NU tentu menjadi modal penting bagi NU dalam perannya melawan korupsi, khususnya berkaitan dengan upaya memasyarakatkan nilai-nilai antikorupsi di kalangan masyarakat.

Pemasyarakatan nilai-nilai antikorupsi ini dapat dengan mudah diperankan oleh Ponpes mengingat keberadaanya memiliki pengaruh besar di tengah kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, Ponpes dapat memainkan perannya melalui penanaman karakter antikorupsi kepada santri-santrinya, ataupun bisa juga kepada masyarakat yang masih memiliki ikatan emosional dengannya (masyarakat umum).

Dua modal besar yang dimiliki NU ini adalah modal kultural yang memang bersumber dari tradisi keagamaan di Indonesia, khususnya bagi para penganut ajaran Islam Tradisionalis seperti NU yang memandang figur kiai sebagai sosok sentral dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan beberapa kalangan memposisikan kiai sebagai figur pemimpin informal yang memiliki peran yang relatif sama dengan pemimpin formal kenegaraan.

Besarnya modal kultural yang dimiliki NU ini sudah selayaknya dioptimalkan dengan baik dalam rangka membasmi korupsi hingga ke akarnya. Caranya ialah dengan menggerakkan modal kultural tersebut untuk aktif bergerilya melawan korupsi.

Tentu bukan sesuatu yang sulit bagi NU untuk sekedar menginstruksikan kepada Ponpes yang terafiliasi padanya agar memainkan peran pentingnya bagi usaha pemberantasan korupsi. Sudah saatnya para santri dibekali modal pemahaman yang cukup untuk menangkis wabah korupsi, serta mentausiyahkannya kepada masyarakat umum demi terwujudnya gerakan kultural membasmi korupsi.

Muwaffiq Jufri
Muwaffiq Jufri
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura; Kader Penggerak NU Kabupaten Bangkalan
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.